Konten dari Pengguna

Serentak Bergerak Lawan Kekerasan di Lingkungan Pendidikan

Arif Yudistira
Peminat Dunia Pendidikan dan Anak. Penulis Buku Momong (2022). Pengasuh SD Muhammadiyah MBS Prambanan
22 Oktober 2023 9:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Yudistira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak jadi korban bully. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak jadi korban bully. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Indonesia saat ini sedang mengalami darurat kekerasan di lingkungan pendidikan. Pendidikan menjadi ruang aman dan rumah bagi guru dan siswa, tiba-tiba berubah menjadi ruang yang menakutkan bagi warga sekolah. Kekerasan di lingkungan pendidikan adalah ironi.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2022, pengaduan di KPAI tentang perlindungan anak masuk kategori tertinggi di antara pengaduan yang lainnya. Tercatat sebanyak 2.133 kasus (KPAI,2022). Kasus-kasus itu terdiri dari kasus anak korban kejahatan seksual, anak korban kekerasan fisik, dan anak korban pornografi dan cyber.
Hasil Asesmen Kemendikbudristek di tahun 2022 juga menunjukkan bahwa 34,51% peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual. Sementara itu, data yang ditunjukkan dari KPPA 2021, 20% anak laki-laki dan 25,4% anak perempuan usia 13-17 tahun mengaku pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih dalam 12 bulan terakhir.
Hasil Asesmen Kemendikbudristek di tahun 2022 juga menunjukkan data yang memprihatinkan, 26,9% peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik. Di tahun yang sama, 36,31% (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan.
ADVERTISEMENT
Pencegahan dan perlindungan satuan pendidikan dari kekerasan adalah tanggungjawab bersama. Kita sering lupa bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tri pusat pendidikan (keluarga, masyarakat dan sekolah). Ketiga elemen ini berperan penting dalam penguatan karakter dan juga pencegahan terjadinya kekerasan baik di masyarakat maupun sekolah (lingkungan pendidikan).
Ilustrasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Foto: Shutterstock
Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi, kekerasan di lingkungan pendidikan menjadi semakin marak. Dilihat dari berbagai kasus yang ada di lingkungan pendidikan, banyak pelaku dari kepala sekolah, guru sampai dengan murid. Kekecewaan, prustasi, emosi yang berlebihan kepada guru sampai pada kekerasan seksual kepada murid yang dilakukan oleh guru maupun kepala sekolah.
Kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan terjadi karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, kurangnya pengawasan dari semua elemen warga. Lengahnya atau kurangnya saling mengawasi antara warga sekolah membuat kekerasan menjadi begitu mudah terjadi.
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan yang dilakukan kakak kelas kepada adik kelas yang terjadi di Gresik (September 2023) menunjukkan lemahnya pengawasan semua warga sekolah sehingga pelaku belum bisa ditemukan.
Kedua, lemah atau hilangnya pendidikan karakter. Kasus kekerasan seperti perundungan, kekerasan fisik maupun kekerasan verbal terjadi karena rendahnya pendidikan karakter. Hilangnya pendidikan karakter menyebabkan siswa mengesampingkan efek, akibat dari kekerasan yang dilakukan. Siswa menjadi abai, tidak peduli dan cuek terhadap penyelesaian lain selain dengan kekerasan.
Guru, Kepala Sekolah juga runtuh muruah dan harga dirinya saat ia mengedepankan nafsu bejatnya dan menyingkirkan nilai-nilai pendidikan karakter.
Ketiga, lemahnya aturan dan kampanye anti kekerasan. Aturan yang lemah di satuan pendidikan dan juga lemahnya kampanye atau pendidikan anti kekerasan mengakibatkan pada mudahnya orang melakukan kekerasan. Orang jadi gampang melakukan kekerasan karena merasa tidak ada hukuman atau aturan yang menjeratnya.
ADVERTISEMENT

Urgensi PPKSP

Sumber Frepick.com
Kekerasan di lingkungan pendidikan telah menimbulkan dampak dan kerugian baik secara materiil maupun immateriil. Anak-anak korban kekerasan tidak bisa langsung sembuh seperti luka lecet. Mereka memerlukan waktu yang cukup panjang untuk hadir kembali di lingkungan yang tidak nyaman. Trauma akibat kekerasan fisik maupun mental tidak bisa langsung disembuhkan.
Pemerintah Kemendikbudristek telah menerbitkan Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023. Peraturan itu merinci, mengantisipasi dan juga mencegah terjadinya kekerasan di satuan pendidikan dengan gerakan gotong royong. Pembentukan tim satgas di satuan pendidikan memiliki peran sentral dalam mencegah kekerasan terjadi di satuan pendidikan.
Sampai saat ini, sekolah merasa tenang karena belum terjadinya kekerasan. Pembentukan satgas anti kekerasan ini tidak hanya mencegah, tetapi juga mengedukasi warga sekolah untuk terus mengkampanyekan pendidikan yang ramah, damai dan anti kekerasan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Kemendikbudristek (13/10/2023) dari 436.526 satuan pendidikan baru sekitar 20.157 (4.7%) yang memiliki Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Sementara itu, yang benar-benar valid baru 6.710 satuan pendidikan (1.54%). Satgas ternyata belum dibentuk di 38 Provinsi dan 514 Kabupaten/Kota.
Data kekerasan di satuan pendidikan yang memprihatinkan ternyata belum mampu menggerakkan pemerintah daerah dan provinsi untuk membentuk satgas dan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).
Kekerasan di satuan pendidikan memerlukan tindakan dan kerja bersama untuk bersama terus melakukan edukasi, pencegahan dan perlawanan terhadap terjadinya kekerasan di satuan pendidikan. Usaha bersama itu tidak hanya komitmen, tetapi juga langkah awal dan kepedulian kita terhadap terciptanya lingkungan belajar yang nyaman, aman dan damai.
ADVERTISEMENT
Pemerintah wilayah (Provinsi) maupun pemerintah daerah harus segera bergerak bersama satuan pendidikan untuk terus melakukan pendidikan, pencegahan dan penanganan terhadap kekerasan yang dilakukan di satuan pendidikan. Komitmen ini penting untuk bersama-sama mencegah kekerasan berulang kembali.