Ketika Profesi Aktor Hollywood Terancam Kehadiran Artificial Intelligence

Arif Wicaksa
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
23 Juli 2023 16:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Wicaksa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar: SAG-AFTRA (https://www.sagaftra.org/).
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar: SAG-AFTRA (https://www.sagaftra.org/).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bulan Juli ini, Hollywood kembali dihebohkan dengan aksi protes yang dilakukan oleh SAG-AFTRA yang adalah singkatan dari Screen Actors Guild-American Federation of Television and Radio Artist yang merupakan semacam serikat pekerja seni di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Aksi protes yang dilakukan SAG-AFTRA juga didukung banyak aktor dan aktris Hollywood diantaranya seperti Rami Malek, Jennifer Lawrence, hingga Matt Damon.
SAG-AFTRA mengajukan protes pada industri hiburan dan perfilman Hollywood yang diwakili oleh AMPTP yang merupakan singkatan dari Alliance of Motion Picture and Television Producer. AMPTP pada sisi lain merupakan serikat persatuan produser televisi dan perfilman di Amerika Serikat.
Aksi protes yang dilakukan SAG-AFTRA ini konon merupakan aksi protes besar kedua setelah aksi pada tahun 1980 dulu. Tidak main-main, aksi protes ini mengakibatkan tertundanya berbagai proyek-proyek film Hollywood yang sedang digarap. Sebut saja proyek film seperti sekuel Spiderman: No Way Home, Deadpool 3, hingga serial The Last of Us harus tertunda karena aksi protes yang dilakukan ini.
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Protes ini menjadi menarik karena salah satu isu besar yang melatarbelakanginya adalah penggunaan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dalam industri hiburan dan produksi film. Pasalnya, AI dikhawatirkan akan menggantikan peran aktor Hollywood dalam industri film dan hiburan secara umum.
ADVERTISEMENT
Diketahui bahwa perusahaan perfilman Hollywood mengajukan ide untuk meningkatkan penggunaan AI secara lebih jauh dengan melakukan pindai atau scan terhadap fisik para aktor dan aktris Hollywood.
Kemudian hasil pemindaian tersebut akan digunakan untuk keperluan pembuatan film tanpa harus melibatkan aktor yang sudah dipindai. Lebih jauh lagi, hasil pindai yang dimiliki perusahaan film itu menjadi hak milik dari perusahaan dan bisa digunakan oleh perusahaan tersebut untuk mendapatkan keuntungan tanpa harus membuka kontrak, memperkerjakan aktor yang bersangkutan.
Tentu saja persoalan tersebut menjadi permasalahan yang menghebohkan dunia Hollywood. Jika hal tersebut dibiarkan berlanjut, diperkirakan perusahaan film tidak perlu lagi mengeluarkan uang yang besar untuk menyewa aktor-aktor Hollywood untuk proyek film mereka.
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Perusahaan film cukup menyewa aktor yang bersedia dibayar dengan upah lebih murah, lalu dengan berbekal hasil pindai fisik aktor terkenal tersebut dan bantuan AI, maka film tersebut bisa seolah-olah diperankan oleh aktor terkenal. Tidak menutup kemungkinan bahkan bisa seolah diperankan oleh aktor-aktor yang sebenarnya bahkan telah meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang perusahaan film, tentu saja kehadiran AI dan teknologi hiburan lainnya menjadi sebuah peluang untuk memaksimalkan keuntungan dengan memotong biaya produksi film, terutama pada biaya aktor.
Namun dari sudut pandang para aktor, tentu saja permasalahan perkembangan teknologi perfilman ini bisa berdampak merugikan bagi mereka. Para aktor tidak lagi dibutuhkan untuk memainkan peran dan berakting. Yang dibutuhkan dari para aktor itu hanya pindai fisiknya saja. Setelah itu, para aktor tidak dibutuhkan lagi.
Permasalahan serbuan AI kepada industri perfilman ini menjadi semacam refleksi wacana-wacana yang sebenarnya sudah lama berada di tengah-tengah masyarakat. Wacana seperti manusia versus mesin, eksploitasi pekerja, dan persoalan hak cipta, terasa sangat kental menghiasi kontroversi penggunaan AI dalam industri Hollywood ini.
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Wacana manusia versus mesin misalnya, bukanlah merupakan isu baru. Dalam sejarah Eropa, ketika terjadi revolusi industri misalnya, begitu banyak pekerjaan manusia yang terancam dengan kehadiran mesin uap yang menggantikan banyak pekerjaan buruh.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, permintaan buruh oleh industri semakin berkurang yang berdampak pada berkurangnya lapangan pekerjaan bagi para buruh, yang pekerjaannya secara langsung digantikan oleh mesin uap. Para buruh yang tenaganya tidak terserap oleh industri pada akhirnya menimbulkan masalah lainnya yaitu kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.
Keadaan miskin dan senjang yang menghasilkan golongan masyarakat yang rentan kemudian menghasilkan permasalahan lainnya yaitu eksploitasi tenaga manusia hingga kriminalitas.
Gambaran fenomena masyarakat revolusi industri Eropa sepertinya cukup menjadi pelajaran bagi masyarakat dunia saat ini. Apakah sejarah kembali berulang meskipun dengan latar yang berbeda?
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Pada sisi lain, kontroversi penggunaan AI di Hollywood memunculkan kembali wacana tentang polemik hak cipta. Siapakah pemilik hak cipta dari suatu karya? Baik itu karya seni maupun karya akademik. Apakah pemilik hak cipta itu adalah para pencipta karya tersebut?
ADVERTISEMENT
Atau pemilik hak cipta itu adalah perusahaan yang menerbitkan suatu karya? Seberapa jauh pemilik hak cipta, baik perusahaan atau pencipta karya itu sendiri boleh menggunakan hak nya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu seiring dengan perkembangan teknologi jelas menjadi pemantik usaha-usaha pendefinisian ulang mengenai konsep hak cipta.
Bagaimanapun juga, fenomena serbuan AI kepada industri perfilman Hollywood menjadi pengingat bahwa perkembangan teknologi harus dibarengi dengan perkembangan dan transformasi struktur politik, ekonomi dan masyarakat.
Tujuannya tentu agar perkembangan teknologi tersebut memberikan pengaruh positif dan bermanfaat bagi masyarakat. Tentu saja yang menjadi persoalannya bukan pada usaha-usaha menghalangi perkembangan teknologi, namun yang menjadi persoalan sebenarnya ada pada langkah-langkah apa yang harus diambil agar perkembangan teknologi ini tidak menghasilkan kesenjangan dan eksploitasi di tengah-tengah masyarakat baik dari segi politik maupun ekonomi.
ADVERTISEMENT