Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Krisis Kemanusiaan Palestina dan Peran Organisasi Antar Pemerintah Internasional
30 Oktober 2023 6:11 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Arif Wicaksa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasca serangan yang dilakukan Hamas terhadap Israel beberapa waktu lalu, perpolitikan dunia kembali dihebohkan dengan serangan yang dilakukan oleh Israel ke wilayah Palestina. Serangan yang dilakukan Israel ke jalur Gaza diperkirakan memakan korban yang sangat banyak hingga lebih dari 7.000 nyawa masyarakat Palestina menjadi korban. Jauh lebih banyak dibandingkan angka korban serangan yang dilakukan oleh Hamas terhadap Israel.
ADVERTISEMENT
Israel saat ini telah menyatakan perang terhadap Hamas. Pernyataan tersebut jelas memberikan dampak yang signifikan terutama bagi masyarakat Palestina. Masyarakat Palestina adalah kelompok masyarakat paling rentan dari konflik yang terjadi.
Blokade wilayah hingga serangan demi serangan yang dilakukan Israel ke wilayah Palestina dengan alasan perang terhadap Hamas pada akhirnya hanya memakan korban masyarakat Palestina yang rentan.
Pada sisi lain, Pemerintah Israel menyatakan bahwa mereka memutuskan pasokan air, listrik hingga aliran komunikasi ke wilayah Gaza membuat semakin memburuknya keadaan masyarakat Palestina. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Palestina merupakan salah satu tempat terjadinya krisis kemanusiaan paling parah di dunia.
Sementara itu, pada belahan dunia lainnya, perbincangan seputar isu Palestina-Israel menjadi topik yang demikian panas untuk dibicarakan. Berbagai tokoh-tokoh politik dunia menyatakan keprihatinannya atas kejahatan yang dilakukan Israel melalui serangan-serangannya yang menyebabkan sangat banyaknya korban masyarakat Palestina berjatuhan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, termasuk menjadi pihak yang menyatakan keprihatinan atas kondisi yang terjadi di Palestina dan mendesak pihak yang terlibat untuk segera menghentikan kekerasan di sana.
Meskipun demikian, dukungan terhadap tindakan Israel juga bermunculan dari tokoh-tokoh politik dunia lainnya. Seperti dukungan dari Presiden Amerika Serikat, Joe Biden maupun Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak.
Bisa dikatakan saat ini terdapat dua pendapat terkait perlakuan Israel terhadap Palestina. Satu pendapat mengecam tindakan Israel sebagai bentuk pelanggaran kemanusiaan dan genosida terhadap Bangsa Palestina, sementara ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina adalah sesuatu yang harus dibenarkan karena pada dasarnya Israel melakukan pembelaan diri dari kelompok Hamas yang menurut Pemerintah Israel merupakan kelompok teroris.
ADVERTISEMENT
Perbedaan pandangan terkait tindakan Israel ternyata termanifestasikan kembali dalam ruang sidang PBB. Tepatnya pada 27 Oktober 2023 lalu, Majelis Umum PBB (UN General Assembly) mengeluarkan resolusi untuk menghentikan kekerasan yang meningkat sangat drastis dan memakan korban sangat banyak dari masyarakat Palestina sekaligus mendesak Israel untuk memberikan ruang bagi bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan masyarakat Palestina saat ini.
Resolusi ini dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB setelah dilakukan voting. Diketahui sebanyak 120 negara mendukung resolusi ini, termasuk Indonesia di dalamnya. Sedangkan 14 negara, termasuk Israel dan Amerika Serikat menolak resolusi. Sedangkan sisa 45 negara lainnya mengambil sikap abstain untuk resolusi tersebut.
Meskipun resolusi yang dikeluarkan Majelis Umum PBB ini adalah untuk Palestina, namun menariknya, Palestina tidak memiliki hak suara dalam PBB karena status Palestina sebagai negara pengamat dalam struktur PBB. Palestina bukan anggota penuh PBB.
Pasca dikeluarkannya resolusi Majelis Umum tersebut, Israel menyatakan penolakannya seperti yang dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen. Selaras dengan pernyataan Cohen, perwakilan permanen Israel untuk PBB yakni Gilad Erdan menyatakan bahwa Israel akan terus “mempertahankan dirinya”.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, resolusi Majelis Umum PBB tidak memberikan tekanan cukup kuat bagi Israel untuk menghentikan kekerasan yang dilakukannya terhadap masyarakat dan negara Palestina.
Pada akhirnya, Resolusi Majelis Umum PBB menjadi semacam imbauan tanpa memberikan kekuatan yang mengikat. Di sisi lain, Israel telah dan terus melakukan kejahatan kemanusiaan dengan melakukan serangan terhadap rumah sakit, pemukiman masyarakat sipil, hingga memblokade bantuan kemanusiaan bagi masyarakat Palestina.
Namun perlu digarisbawahi bahwa meskipun resolusi Majelis Umum PBB tidak memiliki kekuatan yang mengikat, tetap adalah sesuatu yang patut diapresiasi sebagai bentuk kepedulian mayoritas negara-negara di dunia terhadap pelanggaran kemanusiaan yang terjadi di Palestina.
Namun tetap saja, PBB sebagai organisasi internasional tidak bisa memberikan sanksi tegas bagi Israel atas pelanggaran dan kejahatan yang telah dilakukannya dan melindungi masyarakat Palestina dari kekerasan dan kejahatan kemanusiaan.
Lemahnya posisi PBB dalam usaha untuk memberikan sanksi terhadap Israel tidak bisa dipisahkan dari karakteristik PBB itu sendiri sebagai organisasi internasional.
ADVERTISEMENT
Sebagai organisasi internasional antar pemerintah terbesar di dunia saat ini, PBB memiliki 5 badan utama yakni Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Sekretariat, dan Mahkamah Internasional.
Dalam dinamika politik PBB, Dewan Keamanan PBB adalah badan PBB yang memiliki kewenangan yang paling mutlak, khususnya dalam persoalan keamanan dunia. Anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Tiongkok, dan Rusia memiliki Hak Veto, yaitu hak istimewa dan eksklusif untuk menolak ajuan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB. Hak ini bersifat mutlak. Artinya jika salah satu dari anggota tetap Dewan Keamanan menolak, maka suatu ajuan resolusi tidak bisa dikeluarkan.
Keberadaan Dewan Keamanan PBB dengan Hak Veto-nya merupakan persoalan kontroversial yang menghiasi sejarah perjalanan PBB. Dalam kasus Israel-Palestina misalnya, pada tahun 2018 lalu Amerika Serikat menggunakan hak veto-nya untuk menolak pengajuan resolusi Dewan Keamanan PBB terkait perlindungan masyarakat Palestina di tengah peningkatan kekerasan yang terjadi kepada masyarakat Palestina.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks persoalan Palestina, keberadaan Hak Veto yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari PBB justru menjadi penghalang dilakukannya langkah-langkah transformatif bagi perdamaian di Palestina, termasuk sanksi bagi Israel atas kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan.
Struktur dan cara kerja PBB pada akhirnya hanya menguntungkan negara adikuasa saja terkhusus bagi negara pemegang Hak Veto. Kondisi ini tidak berbanding lurus dengan prinsip perdamaian dan hak asasi manusia yang dijadikan dasar bagi pendirian PBB.
Melihat keadaan Palestina dengan krisis kemanusiaan yang terjadi di sana, cukup jelas bahwa PBB sebagai organisasi internasional dunia ternyata belum mampu melindungi hak asasi manusia masyarakat Palestina.
Fenomena-fenomena seperti: Status Palestina sebagai negara pengamat PBB yang tidak memiliki hak suara, keputusan veto oleh Amerika Serikat terkait perlindungan masyarakat Palestina pada tahun 2018, hingga penolakan Israel terhadap resolusi Majelis Umum tahun 2023 ini cukup menjadi bukti bahwa secara organisasi, PBB belum mampu membawa perdamaian dunia, dan melindungi hak asasi manusia seperti yang dicita-citakan pada awal pendiriannya.
Ketidakmampuan PBB dalam membawa keadilan dan kedamaian bagi masyarakat Palestina sebenarnya bukanlah permasalahan pertama yang dialami oleh Palestina dalam hubungannya dengan organisasi antar pemerintah internasional.
ADVERTISEMENT
Sebelum dinamika hubungan Palestina dengan PBB, Palestina juga memiliki pengalaman yang tidak mengenakkan dengan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang merupakan pendahulu PBB.
Setelah Perang Dunia I berakhir, wilayah Palestina yang awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Usmani diambil alih oleh LBB yang kemudian memberikan mandat kepada Inggris untuk mengurus Palestina setelah keruntuhan Kesultanan Usmani.
Pada periode ini, Inggris kemudian memfasilitasi migrasi besar-besaran bangsa Yahudi ke wilayah Palestina khususnya dari wilayah Eropa. Masuknya bangsa Yahudi migran ke wilayah Palestina ini kemudian menimbulkan reaksi keras dari masyarakat Palestina dan Negara Arab sekitar Palestina.
Masuknya migran Yahudi ke wilayah Palestina tidak bisa dipisahkan dari cita-cita bangsa Yahudi untuk mendirikan negara Israel sebagai tanah bagi bangsa Yahudi. Cita-cita mendirikan negara bagi bangsa Yahudi di tanah Palestina ini kemudian menjadi cikal bakal Zionisme.
ADVERTISEMENT
Meskipun mendapat penolakan dan menimbulkan konflik masyarakat, arus migrasi Yahudi ke wilayah Palestina di bawah administrasi Inggris yang dimandati LBB tidak berhenti. Pada titik ini, bisa dikatakan bahwa kehadiran LBB sebagai organisasi internasional kala itu, justru menjadi awal penderitaan bagi masyarakat Palestina.
LBB dengan Inggris selaku pemegang mandat menjadi pintu masuk bagi ideologi Zionisme di tanah Palestina yang pada akhirnya berujung pada proklamasi berdirinya negara Israel pada tahun 1948 yang dengan cepat memperluas wilayahnya hingga nyaris menguasai seluruh wilayah yang dulunya dikenal sebagai wilayah Palestina. Perluasan wilayah Israel tentu dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pengalaman Palestina berurusan dengan organisasi internasional semacam LBB dan PBB, mengindikasikan bahwa organisasi-organisasi internasional tersebut belum bisa hadir untuk membawa perdamaian dan melindungi masyarakat Palestina.
ADVERTISEMENT
Justru sebaliknya, pada suatu titik waktu dalam sejarah, kehadiran organisasi internasional tersebut justru menjadi pintu masuknya penderitaan masyarakat Palestina. Permasalahan krisis kemanusiaan yang terjadi di Palestina harus menjadi perhatian yang sangat serius bagi PBB, terkhusus bagi Dewan Keamanan PBB sebagai badan yang memiliki keistimewaan wewenang.
Apabila permasalahan krisis kemanusiaan Palestina dibiarkan berlarut-larut. Pada sisi lain, Israel juga dibiarkan melakukan pelanggaran kemanusiaan dengan tanpa sanksi yang tegas dan jelas, maka akan berdampak pada pengikisan kepercayaan masyarakat global terhadap norma dan hukum internasional yang selama ini selalu didengungkan dalam percaturan politik dunia.
Pertanyaannya kini, apakah PBB akan mengambil langkah transformatif dalam menyelesaikan masalah Palestina? Atau apakah permasalahan Palestina harus diselesaikan dengan cara-cara diluar pengaturan organisasi antar pemerintah internasional?
ADVERTISEMENT