Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mungkinkah Kehadiran BRICS Akan Membentuk Tatanan Dunia Baru?
28 Juli 2023 6:13 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Arif Wicaksa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah Perang Dingin berakhir dengan pecahnya Uni Soviet pada tahun 1991, politik dunia bisa dikatakan di dominasi oleh kekuatan barat yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa beserta sekutunya. Pengaruh negara barat ini terasa sangat besar khususnya dari segi politik, ekonomi hingga sosial-budaya dalam tatanan dunia.
ADVERTISEMENT
Organisasi internasional seperti PBB dan lembaga turunannya pun secara ideologi dan politik sangat merepresentasikan perspektif barat dalam banyak aspek seperti perdagangan bebas, promosi demokrasi elektoral, dan lain sebagainya. Sepertinya bisa disimpulkan bahwa wacana barat secara umum menjadi wacana arus utama dalam politik dunia sejak berakhirnya Perang Dingin.
Walaupun Amerika Serikat dan Uni Eropa mendominasi wacana politik global selama bertahun-tahun, bahkan mungkin hingga saat ini, bukan berarti tidak terdapat suara dan gerakan yang perlahan mulai memberikan tantangan dan alternatif terhadap dominasi barat dalam wacana politik global tersebut.
Sebut saja negara-negara yang perekonomiannya digadang-gadang akan menyamai bahkan melebihi negara barat seperti China atau Tiongkok, India, dan tak lupa pula, Russia. Negara-negara ini termasuk negara yang pertumbuhan ekonominya sangat pesat di dunia, terutama Tiongkok. Berawal dari perkembangan perekonomian yang demikian pesat, lambat laun kekuatan ekonomi dari negara-negara industri baru ini ternyata bertransformasi menjadi kekuatan politik baru.
ADVERTISEMENT
BRICS, yang merupakan singkatan dari Brasil, Rusia , China (Tiongkok), South Africa (Afrika Selatan) adalah forum kerja sama antar negara-negara tersebut. Sebenarnya istilah BRICS sendiri bukanlah nama organisasi resmi sebagaimana layaknya PBB atau ASEAN yang memiliki piagam pendirian serta badan-badan turunannya yang formal.
Secara sejarah, istilah BRIC pertama kali dikenalkan oleh seorang ekonom bernama Jim O’Neill pada tahun 2001 yang memprediksi negara-negara BRIC akan menjadi kekuatan adidaya ekonomi dunia pada tahun 2050 dengan melihat pada pesatnya laju perkembangan perekonomian negara-negara tersebut.
Negara BRIC mengadakan pertemuan khusus mereka pada tahun 2009 dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan di Russia. Dengan masuknya Afrika Selatan pada tahun 2010, nama BRIC berubah menjadi BRICS, seperti yang banyak dikenal saat ini.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan latar belakang ini, bisa diketahui bahwa BRICS hingga saat ini masih merupakan forum kerja sama negara-negara yang tergabung di dalamnya, bukan berupa organisasi antar negara yang formal. Namun tidak menutup kemungkinan, forum BRICS bisa bertransformasi menjadi organisasi yang lebih formal di masa depan nanti.
Sebuah gebrakan inovasi yang dikeluarkan oleh BRICS adalah dengan mendirikan New Development Bank (NDB) atau Bank Pembangunan Baru yang bermarkas di Shanghai, Tiongkok. NDB diharapkan akan menjadi basis utama kekuatan perekonomian khususnya bagi negara BRICS.
Secara tidak langsung, NDB bisa menjadi alternatif kekuatan finansial dan perbankan dunia selain Bank Dunia dan IMF. Dari sudut pandang ini, yang memposisikan NDB sebagai alternatif dari dua lembaga keuangan dunia tersebut, menjadikan BRICS sebagai peluang bagi negara yang ingin mendapatkan bantuan keuangan dan ekonomi namun tidak berkenan untuk tergantung pada kebijakan Bank Dunia dan IMF.
ADVERTISEMENT
Sementara di sisi lain, NDB milik BRICS tampak cukup diminati karena fokusnya pada pembangunan infrastruktur bagi negara-negara yang berinteraksi dengannya.
Sifat BRICS yang kooperatif berorientasi ekonomi dan tidak mengikat, serta peluang bantuan keuangan yang sangat besar ini tentu saja menjadikan BRICS sebagai wahana yang sangat menarik bagi negara lain untuk bergabung ke dalam forum tersebut.
Sebut saja negara seperti Iran, Arab Saudi, Aljazair, hingga Indonesia menunjukkan sikap tertarik untuk bergabung dengan BRICS. Konon hingga saat ini, diketahui kurang lebih 40 negara telah mengajukan diri untuk bergabung dengan BRICS.
Meskipun BRICS merupakan forum yang berisi negara-negara dunia ketiga, atau negara berkembang, potensi perekonomiannya tidak bisa dipandang enteng. Dengan hanya beranggotakan anggota awal saja yaitu Brasil, Rusia, India, Tiongkok dan Afrika Selatan, luas wilayah BRICS sudah mencapai hampir 27 persen permukaan bumi, lebih dari seperempat wilayah bumi sudah dikuasai oleh BRICS.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya wilayah saja yang besar, dari segi perekonomian BRICS menguasai kurang lebih 32 persen PDB dunia dan dari segi jumlah penduduk, negara BRICS memiliki kurang lebih 42 persen populasi dunia.
Kondisi geografis, ekonomi dan demografi negara BIRCS menjadi modal awal yang sangat besar yang sudah dimiliki oleh forum ini. Negara-negara berkembang yang pada umumnya memiliki kekayaan sumber daya alam mendominasi tawaran bergabung pada forum ini.
Apabila tawaran bergabung dari negara-negara lain diterima oleh forum BRICS ini, tentu saja kekuatan BRICS akan semakin besar dan tidak menutup kemungkinan BRICS bisa bertransformasi menjadi lembaga yang lebih formal.
Dari sudut pandang Amerika Serikat, Uni Eropa dan sekutunya secara khusus, keberadaan BRICS tidak boleh diabaikan begitu saja, karena keberadaan BRICS dan NDB-nya ternyata secara perlahan mampu menjadi alternatif dari Bank Dunia, IMF dan tentu menjadi alternatif dari dolar Amerika Serikat sebagai mata uang perdagangan internasional baik Amerika Serikat setuju atau tidak setuju dengan hal ini.
ADVERTISEMENT
Berkurangnya permintaan dolar Amerika Serikat sebagai mata uang perdagangan dunia tentu saja berdampak pada perubahan kekuatan mata uang tersebut yang merupakan pilar penting bagi perekonomian Amerika Serikat.
Di sisi lain, secara politik keamanan, negara BRICS menjadi negara yang tidak terlibat dalam memberikan sanksi kepada Russia atas invasinya ke Ukraina. Lebih jauh lagi, dua kekuatan besar BRICS, yaitu Tiongkok dan Russia memiliki sejarah hubungan yang tidak begitu mulus dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Kondisi-kondisi ini cukup menjadi dasar bagi kecurigaan bagi Amerika Serikat dan sekutunya.
Dengan melihat keberadaan BRICS yang secara tidak langsung menantang dominasi Amerika Serikat dan negara barat dalam pentas politik dunia, dapat dipahami bahwa BRICS memang pada satu titik membuat negara barat terusik atas keberadaannya. Sepertinya sinyal perasaan “terusiknya” negara barat dapat ditangkap oleh negara BRICS.
ADVERTISEMENT
Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi pada forum Menteri Luar Negeri BRICS pada tahun 2022 lalu yang juga diikuti oleh perwakilan negara-negara lain, termasuk Indonesia. Wang Yi menyatakan bahwa negara-negara lain akan sangat disambut baik untuk bergabung dengan BRICS untuk mempromosikan demokrasi, membangun ekonomi dunia yang lebih inklusif, dan merasionalisasikan tata kelola dunia.
Sebelumnya, Wang Yi juga menekankan bahwa negara-negara di dunia harus memegang teguh prinsip sistem internasional dengan PBB sebagai pusatnya. Pernyataan sikap ini bisa ditafsirkan sebagai usaha BRICS untuk tidak memprovokasi negara barat sekaligus meredakan ketegangan akibat wacana-wacana seputar BRICS yang dianggap sebagai ancaman dominasi barat.
Meskipun keberadaan BRICS menjadi semacam alternatif bagi tatanan politik dan ekonomi dunia saat ini, BRICS bukan merupakan forum yang bebas masalah. Permasalahan seperti konflik antar negara anggota BRICS masih menjadi batu sandungan besar yang harus diselesaikan oleh para pendiri BRICS khususnya.
ADVERTISEMENT
Sebut saja permasalahan sengketa wilayah antara Tiongkok dan India yang membuat hubungan keduanya memburuk, hingga saat ini. Persoalan sengketa ini tentu akan mengikis kepercayaan antara Tiongkok dan India dalam konteks kerja sama bilateral dan multilateral, termasuk dalam kerangka BRICS sendiri.
Di sisi lain, hubungan antara Rusia dan Afrika Selatan juga berada dalam periode yang tidak harmonis. Pasalnya, pasca putusan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) yang mengeluarkan perintah penahanan bagi Presiden Russia, Vladimir Putin, menjadikan Afrika Selatan sebagai salah satu negara yang menandatangani Statuta Roma yang menjadi pilar ICC, berkewajiban untuk menangkap Putin jika Putin hadir pada pertemuan negara BRICS di Afrika Selatan pada bulan Agustus tahun ini.
Permasalahan konflik dan sengketa antar negara BRICS ini tentu saja menjadi persoalan yang harus segera diselesaikan oleh negara BRICS, terutama negara pendiri forum ini. Sejauh ini, BRICS masih bertumpu pada kerjasama ekonomi dan kepentingan ekonomi sebagai perekat hubungan antar negara anggotanya.
ADVERTISEMENT
Apabila BRICS ingin bertransformasi dan meningkatkan kapabilitasnya sebagai forum kerja sama, dan bahkan mungkin menjadi organisasi formal, maka negara BRICS perlu memperluas kerja sama pada aspek-aspek selain ekonomi untuk meminimalisasi gesekan antar anggotanya.
Apabila negara-negara BRICS berhasil mengentaskan permasalahan antar negara anggotanya, bukan mustahil BRICS bisa berkontribusi mengubah arah tatanan dunia.