Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tantangan Xi Jinping pada Periode ke-3 sebagai Presiden China
21 Maret 2023 5:54 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Arif Wicaksa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 10 Maret 2023 yang lalu, Kongres Nasional Rakyat China-sebuah badan legislatif formal tertinggi dalam pemerintahan China-resmi menyetujui kembali Xi Jinping sebagai presiden untuk masa jabatan ketiganya.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini sebenarnya tidak begitu mengejutkan, mengingat bahwa Xi sebelumnya telah mengambil langkah-langkah untuk memperpanjang masa kekuasaannya-sebagai presiden China khususnya-di luar batas dua periode yang telah berlaku sebelumnya.
Sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2018 terjadi perubahan pada konstitusi China untuk menghapuskan jumlah batas masa jabatan presiden. Artinya, jabatan Presiden China boleh dipegang berkali-kali oleh orang yang sama.
Setelah berhasil mengubah konstitusi China di bawah kepemimpinannya, pada bulan Oktober 2022, Xi Jinping kembali terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis China dan pemimpin tertinggi People’s Liberation Army (PLA) yang merupakan angkatan bersenjata China.
Dua posisi ini justru jauh lebih strategis ketimbang posisi presiden yang cenderung lebih bersifat administratif dan seremonial dalam sistem politik dan pemerintahan China. Dengan posisi Xi Jinping sebagai pemimpin Partai Komunis China, Pemimpin PLA dan Presiden China, tentu saja Xi Jinping menjadi orang paling berkuasa dalam pemerintahan China.
ADVERTISEMENT
Meskipun dari segi politik Xi Jinping memiliki kekuasaan yang bisa dikatakan absolut, namun tantangan yang harus dihadapi China di masa depan, khususnya pascapenunjukan kembali dirinya sebagai Presiden China tentu tidak mudah.
Sebagai negara dengan status adidaya perekonomian, kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh Pemerintah China tentunya sangat berdampak signifikan terhadap situasi politik dunia. Beberapa persoalan besar yang dihadapi China pada saat ini terbagi menjadi dua aspek yang saling berkaitan erat, yaitu aspek politik internasional dan aspek politik domestik.
Dari aspek politik internasional, sikap China terhadap konflik Rusia–Ukraina merupakan tantangan besar yang harus diselesaikan Xi Jinping. Sedangkan pada aspek politik domestik, Xi Jinping dihadapkan pada tantangan pemulihan ekonomi China pascaserangan Pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
Presiden Xi Jinping dijadwalkan untuk mengunjungi Rusia pada hari Senin 20 Maret 2023 ini. Kehadiran Xi di Rusia merupakan hal yang sangat dinantikan oleh Rusia, khususnya Presiden Vladimir Putin yang baru-baru ini ditetapkan oleh Mahkamah Kriminal Internasional sebagai penjahat perang karena kebijakannya dalam menginvasi Ukraina.
Pertanyaan besar muncul seiring dengan kehadiran Xi ke Rusia. Apakah China pada akhirnya akan melibatkan negaranya secara langsung pada konflik Rusia dan Ukraina? Kira-kira, sikap apa yang akan diambil oleh Presiden Xi Jinping dalam menanggapi konflik tersebut?
Sebenarnya, sebelum kehadiran Xi Jinping di Rusia, Pemerintah China secara resmi telah mengeluarkan sikap terkait penyelesaian konflik Rusia-Ukraina pada bulan Februari lalu. Pernyataan tersebut tertuang dalam 12 Poin yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri China. Ke 12 Poin itu adalah:
ADVERTISEMENT
1. Hormati kedaulatan semua negara
2. Tinggalkan mentalitas Perang Dingin
3. Hentikan permusuhan
4. Lanjutkan perundingan damai
5. Selesaikan krisis kemanusiaan
6. Lindungi warga sipil dan tahanan perang
7. Jaga keamanan pembangkit energi tenaga nuklir
8. Kurangi risiko strategis
9. Fasilitasi ekspor biji-bijian
10. Hentikan sanksi unilateral
11. Jaga kestabilan industri dan rantai pasok
12. Promosikan rekonsiliasi pascakonflik
Dengan mengamati pernyataan sikap yang dikeluarkan China, dapat diketahui bahwa keterlibatan China dalam konflik Rusia–Ukraina sejauh ini tidak atau belum akan menjadi keterlibatan secara langsung.
Ke 12 poin tersebut cenderung normatif dan bersifat umum. Belum secara spesifik memberikan tawaran konkret untuk menyelesaikan konflik dan juga belum menegaskan posisi China apakah mendukung atau tidak mendukung salah satu negara yang berkonflik.
ADVERTISEMENT
Tampaknya China dan Xi Jinping masih akan mempertahankan sikap ini. China masih menahan diri untuk tidak terlibat secara langsung dalam konflik tersebut, sebagaimana layaknya negara-negara Eropa sekutu Ukraina, dan juga Amerika Serikat yang juga masih menahan diri untuk tidak terlibat secara langsung dalam konflik Rusia–Ukraina.
Keadaan ini tentu saja bisa berubah tergantung dinamika konflik itu sendiri. Misalnya apabila permohonan Ukraina untuk menjadi anggota NATO dikabulkan, maka keterlibatan langsung dari negara lain dalam konflik tersebut bisa menjadi sebuah keniscayaan.
Pertemuan Xi Jinping dan Vladimir Putin pada bulan maret ini meskipun menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh Rusia, namun tampaknya sejauh ini tidak akan menjadi tanda keterlibatan langsung China dalam konflik yang melibatkan Rusia.
ADVERTISEMENT
Artinya, keengganan China untuk terlibat secara langsung dalam konflik Rusia-Ukraina sangat dipengaruhi oleh situasi dan keadaan politik internasional di sekitar China. Jika Xi Jinping mengambil langkah untuk melibatkan China secara langsung maka kebijakan ini akan menjadi semacam “undangan” bagi sekutu Ukraina, khususnya Amerika Serikat untuk menekan China.
Selain kondisi eksternal politik internasional, kondisi politik domestik juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan Xi Jinping dan para pengambil kebijakan China dalam menentukan kebijakan politik luar negerinya.
Pandemi Covid-19 merupakan salah satu penyebab dari terganggunya situasi ekonomi domestik China. Menurut Biro Statistik Nasional China, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2022 lalu tidak mencapai target peningkatan 5,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) China melainkan hanya sekitar 3,3% dari PDB China.
ADVERTISEMENT
Hal ini disebabkan karena kebijakan penanganan Covid-19 yang sangat ketat dari Pemerintah China melalui kebijakan “Zero Covid Policy” nya. Kebijakan ini cukup berat memukul aktivitas perekonomian China.
Pemerintah China, khususnya Xi Jinping sangat tergantung pada perekonomian sebagai pilar utama legitimasi politiknya. Program pengentasan kemiskinan merupakan program pokok dan unggulan dari Xi Jinping ketika menjabat sebagai Presiden China pada tahun 2012 lalu.
Pada sisi lain, di tahun 2021 Xi Jinping mengumumkan bahwa China telah berhasil keluar dari jeratan kemiskinan ekstrem. Bisa dikatakan bahwa pandemi cukup mengganggu program perbaikan ekonomi dan pengentasan kemiskinan oleh Pemerintah China, khususnya Xi Jinping. Dengan penunjukan kembali Xi Jinping sebagai Presiden China, tentu saja hal menjadi perhatian dan prioritas dari Xi Jinping.
Dengan melihat keadaan politik internasional dan politik domestik China, maka Xi Jinping sebagai pemimpin China tentu harus sangat berhati-hati dalam mengerahkan sumber daya politik dan ekonominya dalam menyusun kebijakan.
ADVERTISEMENT
Pada satu sisi, Rusia yang merupakan sekutu dekat dari China mengharapkan bantuan optimal dari China dalam menghadapi konflik dengan Ukraina. Di sisi lain, China juga tidak boleh terlalu nekat dengan melakukan tindakan yang bisa memprovokasi sekutu Ukraina, khususnya Amerika Serikat.
Xi Jinping sejauh ini tampak masih belum mau atau bahkan tidak mau mengorbankan perkembangan ekonomi nasional China untuk kebijakan luar negeri yang ekspansionis.
Sikap paling rasional yang mungkin diambil oleh Xi Jinping adalah fokus pada perbaikan kondisi ekonomi dan pembangunan domestik China sembari menjaga hubungan baik dengan Rusia dan menghindari konfrontasi langsung dengan negara barat khususnya Amerika Serikat.