Konten dari Pengguna

Membangun Reputasi Pemerintah di Tengah Tantangan Komunikasi

Arini Eka Putri
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP UNAND dan Public Relation of Government
9 Mei 2025 13:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arini Eka Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: freepik
zoom-in-whitePerbesar
sumber: freepik
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa waktu terakhir, komunikasi pemerintah menjadi sorotan karena dinilai kurang baik. Hal ini berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan dan reputasi pemerintah di mata publik. Padahal, reputasi yang baik menjadi kunci untuk mempertahankan legitimasi dan memastikan kebijakan pemerintah berjalan efektif. Oleh karena itu, persepsi masyarakat harus dikelola melalui strategi komunikasi yang terencana, adaptif, dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Menyadari kekurangannya, pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo tampaknya mulai melakukan pembenahan. Salah satu upaya ini terlihat dari penerapan model komunikasi dua arah simetris (two-way symmetric communication) pada pelaksanaan Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden yang digelar di Menara Mandiri, Jakarta pada 8 April 2024 lalu. Acara ini mengundang para ahli di bidang ekonomi, pelaku usaha, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya untuk berdialog secara terbuka mengenai kondisi ekonomi nasional khususnya terkait dampak kebijakan Tarif Trump terhadap Indonesia.
Patut diapresiasi, forum ini disiarkan langsung oleh berbagai media. Ini adalah bentuk komunikasi yang lebih transparan di mana publik dapat menyaksikan jalannya diskusi tanpa penyaringan informasi. Keterbukaan seperti ini sangat penting untuk memulihkan kembali kepercayaan publik. Namun, di tengah langkah positif ini, menayangkan forum diskusi secara langsung akan menimbulkan risiko baru. Salah satu pernyataan Presiden Prabowo yang cukup disoroti dalam sarasehan tersebut adalah deregulasi terkait penghapusan kuota impor.
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo menilai bahwa penerapan kuota impor selama ini sering menimbulkan ketimpangan dan mempersempit akses pelaku usaha dalam rantai pasok nasional. Ia mengkritik bahwa sistem kuota yang diterapkan kerap menjadi ajang praktik rente, di mana terjadi kolusi antara pemilik otoritas dan pengusaha kroni. Sebagai respons, pemerintah mengusulkan penghapusan kuota impor dengan tujuan merampingkan birokrasi, memberantas praktik rente, dan mempermudah pelaku usaha untuk berpartisipasi dalam perekonomian nasional. Namun demikian, usulan kebijakan ini memunculkan kekhawatiran di tengah masyarakat.
Potongan video pernyataan Presiden Prabowo dengan cepat tersebar di media sosial. Beragam komentar muncul ada yang merespon baik namun banyak pula yang mengkritik keras kebijakan ini. Kekhawatiran utama masyarakat adalah kemungkinan membanjirnya produk asing di pasar domestik yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan produk lokal. Selain itu, banyak pihak mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap agenda swasembada pangan sehingga kebijakan ini dianggap tidak konsisten dengan janji politik sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini sesungguhnya dapat dipahami. Dalam konteks komunikasi, informasi yang tidak dikemas secara hati-hati rentan menimbulkan bias interpretasi di publik. Menayangkan diskusi strategis secara langsung tanpa strategi komunikasi yang matang memperbesar risiko misinterpretasi. Jika pemerintah tidak piawai menjelaskan konteks dan maksud pernyataan Presiden Prabowo maka kerancuan informasi akan memperburuk ketidakpastian dan melemahkan kredibilitas pemerintahan. Ini adalah contoh klasik dari communication failure dalam manajemen reputasi.
Tentunya, pemerintah harus menyadari konsekuensi yang sudah dan akan terjadi. Pemerintah bertanggung jawab untuk mengelola pesan secara proaktif dan mengkomunikasikan dengan jelas kebijakan yang dimaksud kepada publik. Pemerintah harus mampu mengantisipasi potensi kesalahpahaman dan mengelola narasi secara konsisten dan berkelanjutan.

Pentingnya Konsistensi dan Pelibatan Publik

Reputasi adalah apa yang orang lain pikirkan tentang suatu organisasi. Doorley dan Garcia, dalam buku “Reputation Management: The Key to Successful Public Relations and Corporate Communication”, menyatakan bahwa persepsi merupakan kombinasi antara kinerja organisasi, perilaku organisasi, dan cara organisasi berkomunikasi. Reputasi merupakan aset tak berwujud yang sangat berharga. Dalam konteks pemerintahan, reputasi menentukan sejauh mana masyarakat percaya dan mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Reputasi ini bersifat dinamis–bisa berubah berdasarkan tindakan dan komunikasi yang dijalankan organsiasi tersebut. Dalam edisi terbarunya, Doorley dan Garcia juga menambahkan aspek Authenticity Factor (Af), yaitu ukuran sejauh mana organisasi tetap setia pada identitas intinya. Tentunya, jika pemerintah ingin membangun komunikasi yang baik dan terpercaya maka konsistensi menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Komunikasi pemerintah harus senantiasa mengacu pada jati diri bangsa indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Terkait usulan penghapusan kuota impor, pemerintah perlu belajar dari dinamika komunikasi seputar rencana revisi Undang-Undang TNI yang sempat menjadi isu hangat beberapa waktu lalu. Salah satu kritik utama dalam proses revisi tersebut adalah kurangnya pelibatan publik dan lemahnya komunikasi terbuka dari pihak pemerintah. Situasi ini diperparah oleh respon Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan terhadap teror berupa pengiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo yang menuai sorotan. Saran yang disampaikannya agar kepala babi tersebut dimasak saja dinilai blunder dan justru memperkeruh suasana. Alih-alih meredam ketegangan, pernyataan tersebut malah semakin memperburuk citra dan kredibilitas pemerintah di mata publik.
ADVERTISEMENT
Belajar dari situasi tersebut, perumusan kebijakan penghapusan kuota impor harus dilakukan dengan pendekatan yang transparan dan partisipatif. Pemerintah perlu mengadakan forum-forum dialog terbuka, melibatkan pelaku usaha lokal, asosiasi perdagangan, akademisi, serta masyarakat luas. Tujuannya adalah untuk menyerap aspirasi dan mengkaji secara mendalam berbagai implikasi dari kebijakan tersebut. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi solusi yang adil, berkelanjutan, dan selaras dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lebih jauh, komunikasi pemerintah tentang kebijakan ini perlu didasarkan pada pada narasi nasionalisme ekonomi, yakni memperkuat daya saing domestik tanpa harus mengorbankan pelaku usaha kecil. Hal ini penting untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan publik sekaligus menjaga kesinambungan reputasi pemerintahan ke depannya. Komunikasi publik yang jelas, terbuka, dan berlandaskan nilai-nilai luhur bangsa akan menjadi dasar yang kuat untuk membangun reputasi pemerintah di tengah derasnya arus informasi saat ini.
ADVERTISEMENT