Blockchain Bukan Obat Segala Penyakit, Apalagi untuk Industri Musik

Ario Tamat
Failed Musician, Reformed Gadget Freak and Eating Extraordinaire. Previously Wooz.in and Ohdio.FM, now working on karyakarsa.com
Konten dari Pengguna
12 Agustus 2019 17:42 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ario Tamat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Stephen Hickman on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Stephen Hickman on Unsplash
ADVERTISEMENT
Industri musik telah mengalami perubahan mahadahsyat dalam 20 tahun terakhir. Sebuah pola industri yang bertahan selama kurang lebih 50 tahun, ambruk seketika saat ketersediaan internet hadir bersamaan dengan teknologi kompresi MP3.
ADVERTISEMENT
Industri musik (rekaman) secara umum membutuhkan 15 tahun berikutnya untuk menemukan pola bisnis yang dapat berkembang, yang paling banyak disokong oleh tumbuhnya music streaming. Berbagai pergeseran-pergeseran dalam industri musik pun sudah terjadi selama periode itu, dari peningkatan porsi pemasukan musisi dari live show dan sponsor endorsement, sampai berubahnya apa yang dipahami sebagai budaya mainstream menjadi jutaan panggung kecil.
Tentunya, perkembangan teknologi juga memberikan kesempatan-kesempatan transparansi yang tak segera didukung oleh komponen-komponen industri--laporan penjualan tak tampak, laporan royalti hanya terjadi sesekali, biaya-biaya tak jelas.
Memang, kalau dilihat dari kacamata perusahaan rekaman, permasalahan laporan ini bukan melulu soal transparansi, tapi memang pengolahan datanya dulu pun masih manual. Sekalipun kita sudah hidup di masa digital, format laporan yang tak seragam dari rekan-rekan penjual, sehingga mencarikan laporan-laporan ini menjadi laporan komprehensif pun butuh waktu.
ADVERTISEMENT
Timbullah blockchain sebagai “penyelamat”--tergiur karena sifatnya yang terdesentralisasi dan transparan. Kata blockchain sering kali disebut sebagai opsi untuk industri musik masa depan. Adanya blockchain akan mengirimkan royalti pada pemegang hak begitu sebuah transaksi terjadi, tanpa harus lewat pihak ketiga.
Adanya blockchain akan mengembalikan kendali balik kepada para musisi, bukan perusahaan rekaman atau distributor, karena bisa seketika melihat aliran royalti berasal dari mana saja, terbagi ke siapa saja, setiap saat. Mungkin juga dapat memastikan porsi penghasilan musisi lebih besar juga.
Secara sekilas, memang teknologi yang diusung oleh blockchain tampak menarik, apalagi untuk musisi. Kejelasan aliran royalti semenjak terjadi transaksi atau stream tentu menarik. Transparansi laporan, tentu juga sangat menarik. Data tak dapat diubah pun menjadi menarik. Tapi sayangnya, mimpi ini terbangun karena percaya pada janji blockchain, tanpa tahu kebutuhan teknisnya.
ADVERTISEMENT
Oke, saya akan berusaha menjelaskan blockchain itu apa dalam satu paragraf. Doakan saya.
Ilustrasi Blockchain Foto: Pixabay
Pada intinya, blockchain adalah rantai informasi, yang memiliki mata-mata rantai yang yang saling tersambung dengan sebuah kode terenkripsi di tiap ujungnya. Informasi teks alfanumerik apapun dapat dimasukkan dalam mata rantai ini, dan isinya akan terenkripsi berbarengan dengan ujung mata rantai.
Hanya kode terenkripsi yang saling cocok dapat dikonfirmasikan untuk masuk sebagai mata rantai, yang setelah itu terkunci, tak dapat diubah lagi, hanya dibaca. Dan, supaya sebuah mata rantai dapat digabungkan ke rantai, membutuhkan konfirmasi dari jaringan komputer yang menjalankan transaksi tersebut. Jaringan komputer ini tidak terpusat (terdesentralisasi) dan terbuka, sehingga transparan untuk semua orang.
Ya oke, paling tidak ini prinsipnya. Sekarang kita coba bahas mengapa, menurut saya, blockchain tak akan menjadi “penyelamat”, setidaknya dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
Poin pertama: salah satu kunci sulit berkembangnya teknologi blockchain adalah si jaringan komputer tadi. Jaringan komputer ini merupakan bagian tak terpisahkan dari blockchain, karena dibutuhkan untuk memverifikasi setiap transaksi. Alhasil, setiap transaksi akan membutuhkan energi sekian banyak komputer untuk berjalan, ketimbang verifikasi transaksi biasa pada server tersentralisasi. Sehingga, kebutuhan energinya akan meninggi, mengikuti tingginya jumlah transaksi.
Poin kedua: harus ada yang membangun jaringan komputer ini. Bitcoin atau Ethereum membuka pada siapa saja untuk menjadi nodul pada jaringan komputer yang mengonfirmasi setiap transaksi, dan mereka akan dapat bayaran dari biaya pemrosesan transaksi.
Jaringan ini biasanya bersifat publik lewat internet, supaya transparan ke semua orang, dan tidak dapat dikuasai hanya satu pihak. Namun, biaya transaksi ini mengikuti pasar; kalau transaksi banyak, ya biayanya jadi lebih tinggi. Biaya bersihnya tak dapat diprediksi, karena jaringan publik sedemikian besar.
ADVERTISEMENT
Pilihan lainnya adalah membangun jaringan komputer sendiri yang akan memverifikasi tiap transaksi. Ini secara kaidah tidak dapat disebut blockchain, karena tidak dibuka ke umum dan tersentralisasi. Dan tidak ada jaminan bahwa biayanya akan lebih kecil.
Mengapa memikirkan biaya itu penting? Karena sistem apapun harus memiliki daya untuk membiayai operasionalnya sendiri, sebelum dapat bermanfaat untuk orang lain. Pembagian royalti lewat blockchain pun perlu memikirkan biayanya. Belum soal biaya sumber daya manusia untuk menjalankannya.
Poin ketiga: berhubungan dengan penerapan teknologinya sendiri. Andaikan saja ada yang membuat sistem blockchain yang dapat menekan biaya operasionalnya sendiri, dan sudah mendapat solusi mengenai jaringan komputer tadi (idealnya: terbuka, transparan tapi tidak terlalu terganggu harga pasar untuk biaya transaksi), belum tentu industri akan menggunakan.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, ini poin yang paling rapuh untuk wacana blockchain untuk musik. Ibaratnya gini, kita punya format file baru untuk menulis dokumen; tidak menggunakan Microsoft Word lagi, tapi, apa ya, format TulisanKu (disingkat .TLK). Hanya dapat dibuka dengan program khusus, TLKwriter. Sehebat-hebatnya TLK, kalau tidak semua orang menggunakan, sama saja bohong.
Teknologi disruptif seperti blockchain ini membutuhkan semua pelaku industri mengubah dirinya supaya dapat menggunakannya. Apakah Spotify atau Apple Music mau mengubah teknologinya supaya dapat menyalurkan royalti via blockchain? Apakah ada yang dapat membuat program perantara antara aplikasi yang sudah ada dengan sistem blockchain baru ini, supaya semua dapat terintegrasi dengan baik
Wong format laporan aja harus disatukan secara manual. Dan, sayangnya, karena kerumitan blockchain ini sendiri, tidak bisa dilakukan secara perlahan. Semua pelaku industri dari hulu ke hilir harus menggunakannya, sebelum dapat terlihat manfaatnya.
ADVERTISEMENT
Mungkin saja suatu saat di masa depan, blockchain untuk musik dapat menjadi kenyataan. Peredaran uang dari pendengar sampai ke pencipta atau musisi terjadi dalam sekejap, otomatis, dan transparan. Mungkin saja terjadi, kalau memang kita semua sudah bertransaksi dari awal dengan cryptocurrency.
Namun untuk saat ini, lebih baik menanggapi siapapun yang menawarkan blockchain untuk musik dengan pikiran skeptis--ada banyak cara lain untuk mencari jalan keluar masalah ini.
Artikel ini merupakan bagian dari nawala Musik, Teknologi dan Bisnis di Indonesia.