Membangun Kembali Sebuah Kelas Menengah di Industri Musik

Ario Tamat
Failed Musician, Reformed Gadget Freak and Eating Extraordinaire. Previously Wooz.in and Ohdio.FM, now working on karyakarsa.com
Konten dari Pengguna
29 Mei 2019 10:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ario Tamat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Krayola
zoom-in-whitePerbesar
Krayola
ADVERTISEMENT
Dalam pola ekonomi global sekarang, biasanya sebuah negara dianggap makmur saat jumlah orang yang mampu masuk ke dalam kelas menengahnya bertambah banyak. Biasanya ini terjadi dengan meningkatnya penghasilan orang-orang yang sebelumnya berada di strata ekonomi bawah dan juga ditandai dengan pengeluaran yang bisa dibilang proporsional.
ADVERTISEMENT
Sehingga, akan tercapai sebuah titik saat tumbuhnya kelas menengah akan terus mengangkat dan membesarkan kelas menengah baru. Murni dari pengeluaran konsumsi yang akhirnya menjadi kenaikan penghasilan orang lain. Hal ini juga yang telah menguatkan ekonomi Indonesia (dan juga menjadi alasan mengapa kita selalu dianjurkan berbelanja di dalam negeri).
Namun, kalau kita melihat lebih dekat ke masing-masing industri, mungkin keadaannya bisa berbeda-beda. Tentu saja umpan balik antara penghasilan dan konsumsi tidak bisa sepenuhnya seimbang, karena misalnya orang yang memproduksi dan menjual jasa atau produk di seputar industri musik, belum tentu akan mengeluarkan uang yang proporsional untuk membeli produk musik juga.
Beda dengan, misalnya, industri-industri fast-moving consumer goods, yang memang menjual keperluan sehari-hari (makanya pegawai pabrik ada jatah gratisan, karena toh uangnya akan kembali ke perusahaan). Lantas, keadaan “kelas menengah industri musik” seperti apa?
Ilustrasi bermain musik di tempat umum Foto: dok: Pixabay
Dalam pola industri musik sebelumnya dan skala yang relatif kecil dibandingkan industri lain, terdapat sebuah “kelas menengah”.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai pekerjaan, jasa dan produk yang ada di industri musik yang mungkin tak segera tampak pada konsumen yang awam. Ada sebuah “kelas menengah industri musik” yang isinya adalah pegawai perusahaan rekaman, atau penyiar radio, atau kru sound system, atau jurnalis musik, dan sebagainya.
Karena struktur industrinya cukup matang dan linear, kebutuhan akan orang dan keahlian sudah ada jenjang dan kaderisasinya. Sebuah kelas menengah terjadi, dan seseorang dapat saja bergerak dari bawah sampai mencapai level manajemen atau pemilik, tanpa harus menjadi pemain musik.
Sebelum disrupsi teknologi, dan kesadaran konsumen musik bahwa mereka ternyata memiliki kebutuhan dan keinginan yang beragam atas produk dan jasa musik, pola industrinya cukup linear.
ADVERTISEMENT
Berawal dari penciptaan, lalu produksi musik, yang kemudian dirilis, dipromosikan dan dijual dalam berbagai bentuk, semua dalam panah waktu yang rapi. Tentunya pola ini sudah tidak selalu berlaku (walau masih dapat digunakan), karena bisa jadi dari proses penciptaan pun, penonton sudah dilibatkan.
Ilustrasi bermain alat musik. Foto: Pixabay
Di ujung yang lain, penjualan produk musik dalam berbagai bentuk pun mengalami disrupsi dan pergeseran, yang mau tidak mau mengganggu struktur industri yang sudah berlaku sekian puluh tahun.
Proses disrupsi ini bukan tidak ada korban, bahkan kita masih belum bisa mengatakan apakah disrupsi itu sesuatu yang baik atau buruk, hanya sesuatu yang sudah terjadi. Terjadi penutupan perusahaan, terjadi penyesuaian organisasi, terjadi pemecatan dan pengunduran diri, dan berbagai pekerjaan yang semula ada bisa seperti hilang dalam semalam, seperti halnya jejak sentuhan teknologi di berbagai industri lain.
ADVERTISEMENT
Kelas menengah menipis, karena tulang punggung industri sebelumnya, yaitu industri rekaman, perlu memangkas biaya sambil memutakhirkan dirinya supaya tetap relevan.
Yang besar tentunya tetap bertahan, dan dengan cerdik tetap tumbuh. Tetap saja, ada setidaknya satu generasi musisi dan artis lahir tanpa sebuah struktur industri, dan akhirnya terpaksa menjelajah hal-hal yang sama dengan para pelaku industri masa sebelumnya. Di sini kita bisa melihat bahwa disrupsi teknologi bisa berlaku sebagai penggerogot oligopoli, menyamakan semua pemain kembali pada tingkat dasar pembelajaran.
Menjelajahi metode pengembangan bisnis ini cukup sulit, apalagi kalau digunakan tanpa modal, atau dengan sisa-sisa napas tabungan dari masa sebelumnya. Harapan terbesar adalah membuat sesuatu yang menarik minat (dan uang) konsumen umum, karena investasi jangka panjang dari pihak dari luar industri musik sepertinya masih menjadi sesuatu yang belum diminati.
ADVERTISEMENT
Tentunya skenario ini akan sukses dalam beberapa kasus, namun sama sekali gagal dalam banyak kasus, karena mau tidak mau harus berpikir secara media massa, padahal konsumennya sendiri sudah terpecah-belah menjadi berbagai sub-genre minat yang saling beririsan dan saling tumpang tindih atau malah tidak bersinggungan sama sekali.
Pendek kata, pendekatan massa bukan satu-satunya cara, terbukti oleh geliatnya industri musik independen di Indonesia (dan cerminannya di dunia). Yang lihai memanfaatkan kesempatan, konten baik, dan kemampuan berbisnis yang cukup, dapat terus berkembang, walaupun belum tentu dapat menyandarkan diri sepenuhnya pada musik sebagai penghasilan.
Tidak adil juga sepertinya kalau mengharapkan semua artis dan musisi harus berlaku sebagai wiraswastawan, karena motif bermusik, minat dan kemampuan belum tentu ke sana.
ADVERTISEMENT
Saya melihat ada beberapa hal yang perlu terjadi supaya sebuah kelas menengah industri musik terbentuk
Akhir kata, saya menunggu masukan-masukan dari Anda sekalian, apa aja nih yang bisa kita lakukan?
ADVERTISEMENT
Ario Tamat adalah CEO dari Wooz.in, sebuah perusahaan software event tech. Sebelumnya, Ario sempat bekerja di Soundbuzz, Universal Music Indonesia dan Detik.com sebelum masuk ke dunia tech startup. Ario juga mengajarkan Music Business di SAE Jakarta, dan artikel ini merupakan bagian dari rangkaian buku-el dan nawala Musik, Teknologi dan Bisnis di Indonesia, yang dapat diunduh di https://books.dailysocial.id/bantumikir.