Konten dari Pengguna

Mengkritik Praktek "Direct License" Untuk Pertunjukan Musik

Ario Tamat
Failed Musician, Reformed Gadget Freak and Eating Extraordinaire. Previously Wooz.in and Ohdio.FM, now working on karyakarsa.com
7 Mei 2024 11:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ario Tamat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pernah jadi bassis di panggung agak gedean.
zoom-in-whitePerbesar
Pernah jadi bassis di panggung agak gedean.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Industri musik memang rumit, apalagi jika dilihat dari sudut pandang hak cipta. Ada berbagai hak yang didefinisikan dan dilindungi oleh undang-undang, yang bermaksud untuk memastikan pencipta lagu, performer, produser dan sebagainya tetap mendapatkan hak mereka saat ada komersialisasi lagu. Jangan sampai kreator tidak ikut menikmati hasil dari kreasinya, walaupun yang melakukan komersialisasi adalah pihak lain. UU Hak Cipta pun sepanjang sejarahnya semakin detail mendeskripsikan dan melindungi karya, dan menurut saya, malah sangat detail untuk industri musik karena lobi dan pengaruhnya cukup kuat saat pembentukan UU Hak Cipta 2014.
ADVERTISEMENT
Salah satu komponen penting dari UU Hak Cipta 2014 ini adalah pengembangan performing rights, yang sebelumnya hanya diakui untuk pencipta lagu, tapi kini juga diakui untuk penampil, produser, dan berbagai pihak yang lain yang terlibat. Tujuannya adalah saat sebuah lagu "diumumkan" ke publik, dalam bentuk siaran atau pertunjukan, misalnya, para pemegang dan pengelola hak mendapatkan bagian dari keuntungan yang didapat. Dan salah satu bagian paling penting dari UU Hak Cipta 2014 adalah dibentuknya LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional), sebuah lembaga negara yang akan mengelola hal tersebut, termasuk menagihkan performing rights kepada pihak-pihak yang melakukan seperti stasiun TV, radio, sampai area komersil; termasuk pertunjukan live. Penagihan royalti performing rights dan distribusinya dilakukan oleh LMK yang terdaftar resmi di LMKN dengan daftar lagu yang jelas yang mereka wakili. Nilai dan besaran royalti diatur oleh negara via LMKN.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, penegakan performing rights ini masih kurang baik. Sebelum ada LMKN, ada pihak yang lain yang melakukan pengelolaan penagihan dan distribusi, akan tetapi karena tidak didukung oleh negara secara regulasi, tidak ada kekuatan, dan ada kemelut sendiri di dalam industri musik saat itu. Seharusnya memang setelah ada LMKN, tata kelola royalti menjadi lebih rapi, selama pihak-pihak yang terlibat dapat menjalankannya dengan baik.
Tentunya, dari kacamata pencipta lagu, lebih banyak kekecewaan datang. Belum tentu ada royalti masuk, baik sebelum atau sesudah adanya LMKN. Kalau ada, kecil. Semua jadi tanda tanya. Sehingga, dari sudut pandang personal, saya tidak menyalahkan jika beberapa musisi dan pencipta lagu ingin memberlakukan direct license untuk pertunjukan (seperti yang sudah berlaku untuk rekaman suara maupun sinkronisasi). Dalam kasus yang sekarang sedang ramai, saya belum membaca apakah sang publisher - pihak yang biasanya secara efektif menjadi business manager dari pencipta lagu, termasuk mendaftarkan lagu mereka ke LMK - terlibat dalam proses ini.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, semenjak isu direct license ini mulai dipopulerkan, menurut saya ini bukan pendekatan yang tepat. Beberapa sebabnya:
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang membuat pihak ketiga - pengguna lagu - seringnya tidak menaati UU HC 2014 adalah kebingungan soal prosesnya. Saya sering kok ditanya, "Kalau mau pakai lagu A, hubungi siapa?" Kalau pihaknya jelas (misalnya, perusahaan rekaman dan penerbit musiknya pun jelas), mudah. Tapi kan pihak ketiga ini tidak kenal. Belum tentu punya temen di industri musik yang bisa ditanya. Dan, salah satu hal yang dibutuhkan pihak ketiga itu kejelasan biaya. Kalau biaya lisensinya tidak dapat terukur sampai sudah ketemu pihak yang mengelolanya, budgeting bisa buyar. Pada akhirnya, misalnya, perusahaan periklanan yang membuat iklan TV beralih ke membeli lagu dengan lisensi yang jelas dari pihak lain, misalnya, perusahaan penyedia jingle. (Atau, beli di bensounds.com saja).
ADVERTISEMENT
Peningkatan compliance terhadap hak cipta, selain penertiban yang jelas, juga bisa muncul dengan kemudahan proses lisensi, untuk jenis royalti apapun. Bukan dengan metode gebuk somasi milyaran yang mungkin akan membuat jera pengguna dalam jangka yang pendek, tapi tidak akan memperbaiki keadaan jika pengelolaan dan penertibannya juga tidak diperbaiki.
Peralihan pengguna musik Indonesia yang sempat mayoritas melalui bajakan itu bukannya tanpa proses. Situs-situs bajakan terus diserang dan ditutup oleh pemerintah, sambil secara paralel ada berbagai layanan musik resmi muncul mengedukasi masyarakat akan mudahnya berlangganan streaming saja ketimbang mencari-cari lagu gratisan. (Yang pada akhirnya, konsumsi musik lebih banyak melalui YouTube gratis juga). Tapi ada penerbitan sambil menawarkan cara mudah.
Menurut saya, metode direct licensing ini mungkin tampak menarik di awal, tapi pada akhirnya akan sangat merepotkan secara administrasi, apalagi untuk pencipta-pencipta lagu tanpa sumber daya untuk mengelolanya. Padahal, sistem yang sekarang sudah memperbolehkan menggunakan lagu apa saja untuk pertunjukan live tanpa harus meminta izin terlebih dahulu, selama tetap membayar performing rights.
ADVERTISEMENT
(Side note: sebenarnya jika pencipta-pencipta lagu "besar" keberatan lagunya dinyanyikan di pertunjukan live tanpa direct license, ya sudah, bisa stop saja. Dan mulai menyanyikan lagu-lagu dari pencipta lagu baru. Dengan tetap membayar performing rights, ya. Siapa tau ini menjadi kesempatan untuk pencipta-pencipta lagu baru).