Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Voorijder, Sirene, dan Kekuasaan di Jalan Raya
14 September 2018 14:06 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Ario Tamat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya rasa hampir semua orang pernah mengalami. Sedang dalam keadaan macet atau menunggu lampu lalu lintas, tiba-tiba timbul bunyi-bunyi sirene dari belakang beserta lampu berkilauan, menandakan ada sebuah rombongan yang mau lewat. Harus lewat. Lebih utama dari kita. Saya sendiri seringnya melihat dulu itu siapa. Ambulans, damkar, atau kendaraan darurat lain, saya segera mengupayakan memberi jalan.
ADVERTISEMENT
Tapi kalau konvoi pejabat, apalagi kalau mobil yang diantar bahkan tidak menggunakan plat mobil pemerintah, oh nanti saja ya. Biarlah, perlawanan saya terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak saya setujui, diwakili dengan tindakan saya yang tidak segera memberi jalan ke pejabat. Biar tahu rasa! Biar pemerintah tahu bahwa rakyatnya protes! Rakyat yang pasif agresif, iya, tapi ada.
Ya mungkin saja rombongan pejabat tidak peduli, mungkin tidak merasakan bahwa ada yang protes. Permasalahannya, konvoi dan voorijder yang kini sudah menjadi rahasia umum bisa dibayar untuk mengantarkan siapa saja, ini merupakan duri dalam daging yang adalah budaya kita. Permasalahan yang merupakan gejala dari sesuatu yang lebih besar.
Saya sering mendengar bahwa perilaku rakyat sebuah negeri di jalan raya adalah cerminan dari karakter rakyat itu sendiri. Kalau pemikiran ini diaplikasikan pada keadaan lalu lintas dan jalanan Indonesia, kira-kira bagaimana? Ada beberapa hal yang saya perhatikan.
ADVERTISEMENT
Lalu lintas cenderung semrawut, dengan pengemudi mengikuti aturan seperlunya saja. Marka jalan, rambu-rambu memiliki sifat kondisional, tidak pasti. Padahal aturan jelas. Dan secara bawah sadar ada mentalitas “kalau orang lain boleh kenapa saya enggak”, yang sayangnya menularkan perilaku buruk berkendara ke orang lain.
Mungkin yang tidak suka pakai helm beralasan, lha kalau sampai celaka, kan saya yang mati, bukan orang lain? Tidak. Sikap tidak menghiraukan terhadap helm ini dilihat orang lain yang kemudian menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Begitu pun aturan lalu lintas yang lain, seperti belok kiri yang seharusnya tidak boleh langsung lagi, tergantung rambu-rambu.
Lemahnya kesadaran dan pertahanan aturan lalu lintas ini digerogoti oleh, antara lain, voorrijder, konvoi, dan kawan-kawan. Di tengah anarki jalan raya yang pada akhirnya tunduk oleh lampu merah/lampu hijau, adanya petugas, atau mengalah pada aliran kendaraan yang lebih besar atau cepat, muncul segelintir pihak yang tak tunduk pada rambu-rambu, bahkan arus kendaraan sekalipun.
ADVERTISEMENT
Hak istimewa yang seharusnya hanya diperuntukkan untuk keadaan darurat, dimanfaatkan oleh pejabat yang merasa harus diistimewakan juga, dengan alasan protokolnya begitu. Kalau ada sebuah keadaan darurat atau kenegaraan yang membutuhkan, oke lah.
Tapi keadaan darurat apa yang muncul tiap hari? Terlebih lagi, konon ada yang bisa membayar voorijder untuk keperluan sendiri--bukan pejabat atau tamu negara--atau sekedar membeli lampu kelap-kelip dan sirene yang terdengar seperti mobil polisi.
Yang terjadi adalah sebuah persepsi yang menjadi bagian dari masalah yang lebih besar di Indonesia: pejabat yang berkuasa, bahkan atas hukum. Lebih parah lagi, yang memiliki uang yang berkuasa, bahkan atas hukum.
Aturan lalu lintas jalan raya yang relatif sederhana dan hitam putih pun, dapat dilanggar, pengguna jalan lain diperlakukan dengan seenaknya; menafikan konsep sama rata sama rata dalam sebuah demokrasi. Kalau saya punya kuasa/uang lebih, hak saya lebih dari kamu, bahkan di jalan raya.
ADVERTISEMENT
Mentalitas yang lebih berbahaya menyebar sampai ke alam bawah sadar pengguna jalan: kalau mobil saya lebih mahal, saya lebih “di atas” ketimbang yang memiliki mobil lebih murah.
Ini belum bicara soal kecenderungan mentalitas kelompok, yang memberi reputasi buruk pada klub-klub otomotif karena ada yang jika berkendara dalam jumlah besar, juga cenderung sewenang-wenang terhadap pengguna jalan lain maupun aturan jalan raya.
Memang kalau kita melihat semua komponen dan kasus satu per satu, pasti ada penjelasan, ada pembolehan, dan sebagainya. Tapi kalau dilihat secara makro sebagai tren, bayangkan saja, pada benak seorang anak kecil yang setiap hari melihat perilaku orang-orang yang lebih tua dan seharusnya lebih bertanggung jawab, dia akan menyimpulkan sendiri bahwa memang normalnya begini.
ADVERTISEMENT
Memang berkendara seenaknya tanpa menghiraukan keamanan diri sendiri dan orang lain itu boleh. Memang kalau punya uang atau punya jabatan, segala boleh. Karena jangan lupa, kita sendiri aja selain di rumah maupun di kantor/tempat berkegiatan, kita melewatkan banyak waktu kita di jalan, dan pasti ada dampak bawah sadar terhadap kita melihat pola perilaku orang lain.
Salah siapa semua ini? Menurut saya ini sudah menjadi bagian budaya Indonesia paska Orde Baru, sebuah gejala yang mengikuti keinginan bawah sadar, “akhirnya saya bebas dan bisa berbuat apa saja”. Tidak ada gunanya mencari kambing hitam karena ini gejala sosial, bukan kebijakan pemerintah.
Bukan sebuah konspirasi swasta. Namun tidak berarti ini tidak bisa diubah. Kalau saja perilaku kita di jalan raya dapat diubah dari kompetitif menjadi kooperatif dan bertenggang rasa, mungkin saja, mungkin, ini dapat menular ke perilaku kita di area-area lain.
ADVERTISEMENT