Konten dari Pengguna

Antisipasi Gagalnya Tujuan Pemekaran Daerah

Aris Ahmad Risadi
Individual Konsultan Bidang Keahlian Kebijakan Publik, Pembangunan Daerah dan Desa, serta Pemberdayaan Masyarakat. Bermitra dengan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
20 Mei 2024 16:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aris Ahmad Risadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pembangunan di Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembangunan di Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru (DOB) dinilai sebagai solusi atas ketertinggalan suatu wilayah dan masih belum optimalnya pelayanan publik. Saat ini masih moratorium, tetapi antrean calon daerah otonom baru sudah panjang.
ADVERTISEMENT
Secara idealis dan normatif seperti tertuang dalam peraturan perundangan, pembentukan DOB diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, baik secara sosio-kultural, politik maupun ekonomi. Para penggagas (baca: pejuang) pemekaran suatu daerah menggunakan argumen itu juga.
Hanya saja untuk daerah yang dikatagorikan daerah tertinggal, pemekaran daerah seringkali dituding menjadi penyebab bertambahnya jumlah daerah tertinggal. Malah ada yang menilai pemekaran daerah sebagai penyebab ketertinggalan itu sendiri. Benarkah?
Kalau dinilai sebagai penyebab ketertinggalan barangkali tidak tepat. Tapi kalau dikatakan pemekaran daerah dapat menyebabkan bertambahnya jumlah kabupaten tertinggal, itu ada benarnya. Lihat misalnya, satu daerah tertinggal dimekarkan menjadi tiga daerah otonom, maka secara administratif, jumlah daerah tertinggal menjadi tiga, yaitu satu daerah induk yang dari awalnya memang sudah tertinggal dan tambahan dua lagi dari daerah otonom baru.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, dimekarkan ataupun tidak, dua wilayah yang menjadi daerah otonom baru tersebut tetap saja tertinggal. Hanya yang pasti, dengan pemekaran ini, kedua wilayah tersebut mempunyai peluang untuk lebih diperhatikan dan keluar dari ketertinggalan. Biar bagaimana pun kebijakan alokasi anggaran masih dominan berdasarkan satuan daerah otonom.
Dengan menjadi daerah otonom maka pelayanan masyarakat menjadi lebih dekat dan memiliki anggaran yang dikelola sendiri yang dapat digunakan untuk membangun wilayah tersebut. Sewaktu bergabung dengan daerah induk, boleh jadi alokasi anggaran ke wilayah tersebut sangat kecil.
Penghentian kebijakan pemekaran daerah oleh pemerintah (moratorium) sementara ini bukanlah masalah daerah. Tapi masalah pusat, karena pusat tidak memiliki cukup dana. Jumlah daerah merupakan angka pembagi dalam formula penentuan Dana Alokasi Umum (DAU). Yang dirugikan sebetulnya daerah induk, karena alokasi APBN untuk daerah menjadi terbagi kepada daerah otonom baru. Namun biasanya, jumlah DAU yang diterima daerah induk setelah pemekaran minimal sama dengan sebelum terjadinya pemekaran, maka kebutuhan dana akibat pemekaran ini menjadi beban tambahan bagi pusat.
ADVERTISEMENT
Kendati pemekaran daerah membuka peluang untuk menjadi sarana keluar dari ketertinggalan, namun dalam faktanya sekarang masih sulit diwujudkan karena berbagai persoalan yang menyelimuti daerah otonom baru.
Sejatinya, pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Namun harus diantisipasi dampak negatif dari pemekaran daerah. Terutama di masa transisi. Terjadinya berbagai konflik di masa transisi pasca pemekaran telah menjauhkan atau paling tidak memperlambat tujuan pemekaran daerah. Dari hasil studi yang dilakukan penulis bersama Tim BAPPENAS (2004) ditemukan bahwa belum meningkatnya pelayanan kepada masyarakat di beberapa daerah otonom baru di samping karena persoalan konflik tadi di antaranya diakibatkan juga oleh persoalan kelembagaan, infrastruktur, dan sumber daya manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam aspek kelembagaan, ditemui bahwa beberapa daerah otonom baru saat membentuk unit-unit organisasi pemerintah daerah tidak sepenuhnya mempertimbangkan kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat. Pembentukan daerah otonom baru sepertinya menjadi sarana bagi-bagi jabatan. Terlihat juga adanya kelambatan pembentukan instansi vertikal, serta kurangnya kesiapan institusi legislatif sebagai partner pemerintah daerah.
Untuk infrastruktur, sebagian besar daerah otonom baru belum didukung oleh prasarana dan sarana pemerintahan yang memadai. Banyak kantor pemerintahan menempati gedung-gedung sangat sederhana yang jauh dari layak.
Dalam hal sumber daya manusia, secara kuantitatif relatif tidak ada masalah. Secara kualitatif yang menonjol adalah penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, misalnya ditemui ada Kepala Dinas Perhubungan berlatar belakang Sarjana Sastra.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang juga penting adalah persoalan leadership dan kejuangan dari Pimpinan Daerah beserta staf untuk berani hidup “menderita” di daerah otonom baru yang sangat minim fasilitas. Hal ini penting untuk digarisbawahi karena dalam beberapa kasus yang pernah terjadi banyak Kepala Daerah dan pejabat lainnya dari daerah otonom baru masih lebih banyak tinggal dan berkantor di ibu kota daerah induk. Kalau begitu, kapan melayani masyarakatnya?
Pemekaran daerah sebagai solusi atas permasalahan ketertinggalan atau belum optimalnya pelayanan publik tampaknya akan gagal jika kita gagal menangani kelembagaan, infrastruktur, dan sumber daya manusia. Nah!