Pasang Surut Hubungan Negara dan Desa

Aris Ahmad Risadi
Individual Konsultan Bidang Keahlian Kebijakan Publik, Pembangunan Daerah dan Desa, serta Pemberdayaan Masyarakat. Bermitra dengan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Konten dari Pengguna
20 Mei 2024 16:26 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aris Ahmad Risadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi desa wisata di Indonesia. Foto: Dok. Kemenparekraf
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi desa wisata di Indonesia. Foto: Dok. Kemenparekraf
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika dua insan sedang menjalin kasih tetapi tinggal berjauhan, apakah yang dirasakan keduanya? Akankah berlaku peribahasa jauh di mata dekat di hati. Biarpun tidak tinggal berdekatan, tetapi hati akan selalu merasa dekat. Komunikasi selalu tetap dilakoni, bertegur sapa dan saling menjaga perasaan. Bahkan, kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan itu dilakukannya setiap saat.
ADVERTISEMENT
Ibarat dua kekasih, bagaimana perjalanan hubungan negara dengan desa? Negara yang direfresentasikan pemerintah pusat, bagaimana kualitas hubungannya dengan desa-desa yang jauh dari pusat? Dari segi jarak, pastilah jauhnya. Desa-desa tersebar di seluruh pelosok negeri, bahkan ada juga di pulau-pula terpencil berbatasan dengan negara lain. Hubungan negara dan desa jauh di mata. Bagaimana “hubungan hati” di antara keduanya?
Dalam perjalanan sejarah, hubungan negara dengan desa tak selalu mulus. Dalam satu fase, negara hadir dengan memaksa desa. Tata negara memaksa cara-cara desa. Kisah hubungan negara dengan desa banyak bicara tentang penindasan yang selalu berulang. Sesekali ada angin surga meninabobokan desa. Tetapi, perilaku rezim pemerintah pusat, atas nama kepentingan negara selalu memiliki kekuatan legal untuk kembali memaksa desa. Memenuhi birahi kekuasaan elite politik pusat.
ADVERTISEMENT
Kita kilas balik pada praktik pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dijalankan Orde Baru (Orba). Paradigma pembangunan yang dikedepankan Orba memperkenalkan konsep Pembangunan Masyarakat Desa (PMD). Melalui PMD ini, Orba memasukkan desa ke dalam negara. Masyarakat desa didorong untuk terlibat dalam masyarakat yang lebih luas. Hal ini dilakukan dengan cara memaksa desain kelembagaan desa yang baru dan memperkenalkan gagasan-gagasan yang dianggap modern. Kelembagaan desa yang terbangun dari sejarah desa-desa diberangus. Kelembagaan dibuat seragam sesuai kepentingan pusat. Nilai-nilai impor menjadi ukuran keberhasilan dan dianggap sebagai sebuah kemodernan.
Bukan itu saja, Orba pun memasukkan negara ke dalam desa. Melalui proses ini, kekuasaan dan hegemoni negara masuk ke dalam kehidupan masyarakat desa. Skema-skema pendanaan desa dibarengi eksploitasi terhadap sumber daya desa. Celakanya hal ini membuat meningkatnya ketergantungan desa kepada negera.
ADVERTISEMENT
Kita tahu cerita berikutnya. Krisis ekonomi dan jatuhnya rezim Orba membuat negara bangkrut. Dada tidak bisa dibusungkan lagi, negara menyerah. Anehnya, desa menjadi andalan. Negara kembali menengok dan berharap kepada desa. Bagaimana tidak, sumber daya nasional terbesar (pertanian) yang berada di desa menjadi penyangga ekonomi yang bisa diandalkan. Bahkan, ketika krisis, desa-desa produsen hasil bumi mengalami surplus ekonomi karena harga jual komoditas perkebunan meroket.
Dalam situasi krisis itu, desakan untuk adanya revolusi (baca: reformasi) tak bisa dibendung. Era reformasi mengoreksi hubungan buruk negara dengan desa yang selama itu dipraktikkan negara. Di awal reformasi sejatinya belum mengoreksi hubungan negara dengan desa secara langsung. Masih berkutat pada upaya mengakomodasi tarik menarik negara dengan daerah (provinsi/kabupaten/kota).
ADVERTISEMENT
Sebagian daerah kaya menuntut keadilan. Mereka menuntut merdeka. Paling minim mereka menuntut bentuk negara kesatuan diubah menjadi federal. Tetapi akhirnya ditemukan solusi.
Dalam rangka mengoreksi sentralisasi yang telah berjalan puluhan tahun, Pemerintah Pusat mengambil kebijakan untuk memilih desentralisasi dan otonomi daerah. Terbitlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Melalui kehadiran undang-undang Pemerintahan Daerah tuntutan merdeka dari daerah sedikit mereda. Untuk daerah yang masih keras, diberikan perlakuan khusus melalui Undang-Undang Otonomi Khusus yang berlaku untuk Aceh, Papua dan Papua Barat.
Apa lacur. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang diletakkan di kabupaten/kota belum memuaskan desa. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 atau Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ternyata tidak mampu menjawab pertanyaan tentang hakekat, makna, visi, dan kedudukan desa. Dalam desentralisasi, desa diletakkan dalam konstruksi daerah. Hal itu membuat desa hanya mendapatkan sisa-sisa kabupaten/kota. Tentu kondisi ini tidak memuaskan para penggiat desa. Kondisi inilah yang mendorong terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai pecahan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
ADVERTISEMENT
Inilah angin segar untuk desa. Bagaimana praktik negara dalam mengimplementasikan UU Desa? Inilah ujian di antara dua kekasih. Apakah rasa sakit hati desa cukup terobati dengan lahirnya UU Desa?
Ternyata memang watak asli negara tidak bisa hilang. UU Desa dipraktikkan tidak sesuai dengan harapan para perancangnya. Undang-undang yang diperjuangkan dengan darah dan air mata para pejuang desa, dibarengi demonstrasi besar-besaran para Kepala Desa melalui APDESI dan Parade Nusantara pada tahun 2013 berujung anti klimaks.
Coba lihat salah satu buktinya. UU Desa menghendaki desa sebagai subjek. Kewenangan desa yang diwujudkan salah satunya dengan penghormatan terhadap instansi pengambilan keputusan tertinggi di desa berupa Musyawarah Desa (Musdes) dalam praktiknya dimandulkan. Penggunaan Dana Desa (DD) yang sejatinya harus diputuskan melalui proses Musdes, ternyata mudah saja dipatahkan oleh ketentuan-ketentuan pemerintah yang hadir di tengah jalan. Celakanya lagi, bukan saja penghormatan terhadap Musdes yang rendah, tetapi menu kegiatan yang harus dibiayai DD tidak sepenuhnya diperlukan desa. Sebut saja masker. Tidak semua desa membutuhkannya. Tapi belakangan pemerintah mengharuskan DD dialokasikan untuk pengadaan masker.
ADVERTISEMENT
Belum lagi Kementerian lain mulai main mata. Agenda kementerian selain Kemendesa dan Kemendagri (kementerian sektoral) ternyata tidak sepenuhnya mengacu kepada paradigma UU Desa. Kehadiran kementerian sektoral di desa lebih banyak dalam rangka menjalankan tugas pokok dan fungsinya sendiri, menjalankan undang-undang sektornya, serta mengejar target sesuai prioritas nasional sektornya yang tertuang juga di RPJMN.
Hubungan negara dan desa saat ini tampaknya belum juga menguntungkan desa. Betapapun mungkin undang-undangnya sudah sedikit berubah dengan pro desa, tetapi dalam praktiknya selalu ada ruang bagi elite pusat memelintir ketentuan guna memenuhi hasrat diri dan kelompoknya. Khotbah keberpihakan kepada desa hanya apologetika. Permainan kata-kata belaka! Tetapi desa tampaknya tetap tenang. Desa sudah hafal watak negara.
Di akhir tulisan ini, mari kita renungkan penjelasan Mpu Prapanca, dalam kakawin Nagara Kretagama (1365). Mpu Prapanca bermetafora. Hubungan antara negara dan desa ibarat singa dan hutan. Negara (singa) dan desa (hutan) merupakan sebuah kesatuan organik. Hutan merupakan habitat dan tempat hidup sang singa. Namun singa (negara) juga binatang predator, yang memangsa binatang-binatang lain (atau rakyat) yang hidup dalam hutan (desa). Meskipun sangat kuat, singa juga akan mati dan punah, sementara hutan tetap utuh bertahan. Ini berarti bahwa negara demi negara silih berganti, desa tetap bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Betapapun mungkin situasi kini masih kurang menguntungkan bagi desa, tidaklah juga boleh berputus asa. Negara ini bukanlah hanya pemerintah unsurnya, dia memiliki lembaga-lembaga negara lainnya. Lembaga-lembaga itu memiliki hak konstitusional untuk melakukan checks and balances atas keputusan-keputusan pemerintah. Di luar itu yang terpenting, lembaga-lembaga itu aktornya adalah manusia juga yang barang tentu masih punya hati nurani. Desa punya peluang untuk berputar haluan menjadi lebih baik. Betapapun desa jauh di mata, dia akan selalu dekat di hati. Semoga!