UU Desa Mati Bujang (?)

Aris Ahmad Risadi
Individual Konsultan Bidang Keahlian Kebijakan Publik, Pembangunan Daerah dan Desa, serta Pemberdayaan Masyarakat. Bermitra dengan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Konten dari Pengguna
20 Mei 2024 16:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aris Ahmad Risadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Desa hadir sebelum Indonesia merdeka, namun sentralisasi dalam sistem pemerintahan telah menjadikan desa sebagai obyek. Eksploitasi desa atas nama pembangunan di era Orde Baru (ORBA) berujung pada tertinggalnya kemajuan perdesaan dibandingkan perkotaan. Semangat reformasi dan hadirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) membawa harapan baru. Sudahkah harapan itu tercapai?
ADVERTISEMENT
Sumberdaya pembangunan nasional sebagian besar ada di perdesaan. Namun ironis, masyarakat miskin sebagian besar ada di perdesaan. Kesenjangan antara kemajuan perkotaan dan perdesaan sangat mencolok. Tampaknya ada yang salah dalam pengelolaan negeri ini.
Sejarah Desa
Sejarah hubungan negara dengan desa sudah terbangun sejak kerajaan-kerajaan nusantara dan jaman kolonial (Belanda, Portugis, Jepang). Pada awal kemerdekaan telah diletakkan dasar-dasar baru pengaturan hubungan negara dengan desa sesuai konstruksi kepentingan Negara Kesaatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kelahiran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU PA) menjadi anti thesis pengaturan hubungan negara (penjajah) dengan desa. Diketahui bahwa kolonialis banyak mengeksploitasi desa untuk kepentingan negara penjajah. Sistem tanam paksa telah banyak memakan korban masyarakat desa. Sebagai contoh, masyarakat desa di Pulau Banda dibantai dalam pemaksaan penanaman pohon pala.
ADVERTISEMENT
UU PA dalam Pasal 2 ayat (1) mengatur bahwa “…bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Di dalam ayat (4) ditegaskan bahwa “Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”. Ayat ini menjadi dasar bahwa desa memiliki akses untuk menguasai sumberdaya yang ada di wilayahnya.
Kehadiran ORBA diharapkan dapat memperkuat posisi desa. Tetapi lacur. Tiga puluh dua tahun berkuasa, ORBA telah mengeliminasi desa. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menjadi tonggak diberlakukannya sentralisasi dalam pemerintahan. Dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah menggusur eksistensi nagari, gampong, dan desa adat. Semua disamaratakan. Secara keselurahan desa diposisikan hanya sebagai objek.
ADVERTISEMENT
Kekecewaan masyarakat terhadap ORBA telah berujung tuntutan reformasi. Salah satu yang dikoreksi adalah berubahnya sistem sentralisasi pemerintahan ke desentralisasi. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah beberapa kali dan terakhir kalinya menjadi Undang-undang 23 Nomor Tahun 2014.
Dengan desentralisasi, daerah diberikan kewenangan besar dalam menangani berbagai urusan pemerintahan. Ini menjadi solusi atas tuntutan merdeka atau berubah jadi federasi (negara federal) dari daerah-daerah kaya seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur.
Angin segar desentralisasi tampaknya belum memuaskan desa. Desentralisasi yang terletak sampai kabupaten/kota kurang menghargai desa dan tidak menjawab kebutuhan desa. Itulah kemudian muncul tuntutan yang berujung disepakatinya UU Desa. Isu desa dikeluarkan dari materi pengaturan pemerintahan daerah.
ADVERTISEMENT
Pada Tahun 2022 UU Desa genap berusia 8 (delapan) tahun. Satu windu UU Desa tampaknya telah memberikan banyak perubahan, tetapi harapannya jauh lebih besar dibandingkan kenyataannya. Sehingga banyak penilaian implementasi UU Desa belum berhasil.
Kendala Implementasi UU Desa
Banyak faktor yang menjadi penyebab belum berhasilnya pelaksanaan UU Desa. Beberapa diantaranya dijelaskan berikut. Masalah pertama muncul ketika pada Tahun 2014 Presiden membentuk 2 (dua) kementerian yang menangani desa. Untuk penanganan urusan penyelenggaraan pemerintahan desa diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Untuk urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa, pembangunan Kawasan perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat desa diserahkan kepada Kementerian Desa, Pembangunan Derah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa). Diperlukan energi tersendiri untuk menyinkronkan kebijakan 2 (dua) kementerian ini. Seringkali kebijakan yang dikeluarkan dua kementerian tidak sinkron. Situasi ini tentu membingungkan daerah dan desa.
ADVERTISEMENT
Dua kementerian ini di DPR RI dikoordinasikan oleh 2 komisi yang berbeda. Kemendagri dikoordinasikan oleh Komisi II DPR RI sementara Kemendesa dikoordinasikan oleh Komisi V. Dengan masuk ke Komisi V seolah isu desa hanya membicarakan persoalan infrastruktur perdesaan. Perbedaan komisi ini dapat mempengaruhi kualitas pengawasan, dan penganggaran pelaksanaan UU Desa.
Proses pelembagaan UU Desa juga belum tuntas sampai ke pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Mengacu ke Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, urusan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa merupakan urusan konkuren. Ditangani secara berbagi oleh seluruh tingkatan pemerintahan (pusat/provinsi/kabupten/kota). Pemerintah daerah belum sepenuhnya mengambil tanggungjanwab yang diamanahkan oleh UU Desa. Pemerintah pusat pun (Kementerian) belum menyelesaikan kewajibannya menyusun NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) yang akan menjadi acuan daerah.
ADVERTISEMENT
Ada gejala kementerian/lembaga dari berbagai sektor tidak taat terhadap ketentuan UU Desa. Terutama dalam hal penggaran program/kegiatan yang sudah bukan lagi kewenangan pusat. UU Desa menghendaki program/kegiatan yang sudah menjadi kewenangan desa tidak lagi dikerjakan oleh supra desa. Apakah ini karena kenakalan kementerian/lembaga sektoral, atau gagalnya Kemendesa dalam memberikan advokasi kepentingan desa? Entahlah. Yang pasti dengan terlibat dalam pengelolaan program/kegiatan, maka memiliki akses terhadap penganggaran (baca : uang). Gejala masuk langsungnya kementerian/lembaga ke desa mengganggu pelaksanaan asas utama UU Desa.
Kehadiran UU Desa sejatinya harus merubah pargadigma seluruh pihak terkait. UU Desa menghendaki adanya perubahan paradigma dalam memandang desa, pemerintahan dan pembangunan yang selama ini telah mengakar di Indonesia. Kedudukan desa dalam tata negara Indonesia, sekaligus relasi antar negara, desa dan warga direkonstruksi UU Desa dengan asas utama, yaitu rekognisi dan subsidiaritas.
ADVERTISEMENT
Menurut penjelasan UU Desa, rekognisi adalah pengakuan terhadap asal-usul, sedangkan subsidiaritas adalah penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.
Sutoro Eko dalam bukunya yang berjudul “Regulasi Baru, Desa Baru : Ide, Misi, dan Semangat UU Desa” menegaskan, rekognisi bukan saja mengakui dan menghormati terhadap keragaman desa, kedudukan, kewenangan dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan, namun UU Desa juga melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN/APBD.
Kalau kementrian/lembaga kembali mengelola anggaran/program/kegiatan yang sejatinya sudah menjadi kewenangan desa atau sepatutnya diserahkan ke desa, maka lonceng kematian UU Desa tinggal menunggu waktu. Rezim sistem pemerintahan akan kembali seperti ORBA.
UU Desa baru seumur jagung. Kesempatan untuk memperbaiki kekurangan dalam implementasinya masih terbuka lebar. Sebuah keniscayaan untuk menata kembali kelembagaan di pusat dan daerah, meningkatkan kualitas SDM kementerian/lembaga dan Pemerindah Daerah yang diamanahi mengawal UU Desa, serta meningkatkan komitmen kementerian/lembaga sektor dalam ketaatannya terhadap perintah UU Desa. Kalau tidak, UU Desa akan tinggal kenangan. Ibarat penyakit tanaman, UU Desa bisa mati bujang. Mati sebelum memberi arti. Semoga tidak terjadi!
ADVERTISEMENT