Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Warisan Paus Fransiskus bagi Asia: Ketika Injil Bertemu Tanah Tropis
27 April 2025 18:20 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Aris Kurniyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Paus Fransiskus dan Asia yang Terbuka
ADVERTISEMENT
Dalam hiruk pikuk berita terkini Paus Fransiskus wafat dan diskusi hangat soal berita hari ini konklaf, saya berhenti sejenak—bukan hanya untuk ikut mendoakan arwah beliau, tetapi juga untuk merenung: apa sebenarnya yang telah ditanamkan Paus asal Amerika Latin ini dalam kehidupan umat Katolik di Asia, terutama saya yang hidup di Indonesia? Melalui gaya hidupnya yang sederhana, ajaran-ajarannya yang kontekstual, dan keberaniannya untuk bicara tentang pinggiran, Paus Fransiskus seolah memperkenalkan wajah baru Gereja Katolik. Wajah yang penuh belas kasih, tidak takut untuk berbeda, dan terus-menerus mengundang dunia untuk kembali ke Injil.
ADVERTISEMENT
1. Iman Katolik yang Membumi: Menggandeng Kearifan Lokal
Saya masih ingat bagaimana, beberapa tahun lalu, saat mengajar anak-anak SMP di pinggiran Tangerang Selatan, saya ditanya: “Pak, kenapa sih kita mesti ke Gereja kalau yang penting itu punya hati baik?” Saya tak langsung menjawab. Tapi saya teringat pada semangat Paus Fransiskus—yang selalu mengajarkan bahwa Iman Katolik bukan hanya soal liturgi dan doktrin, tapi tentang hidup yang sungguh menjadi garam dan terang. Di tengah budaya lokal, Iman Katolik tak harus terasa asing. Paus mengajarkan kita untuk berakar—dalam budaya, bahasa, tanah, bahkan dalam irama hidup orang biasa. Refleksi Katolik ini jadi bekal saya, supaya iman itu tak cuma jadi pelajaran, tapi jadi pengalaman.
2. Laudato Si dan Semangat Ekologi Asia
Saat saya membaca Laudato Si, hati saya seperti dipeluk hangat. Sebagai bapak dari seorang anak kecil yang sedang tumbuh, saya takut melihat hutan yang hilang, udara yang makin berat dihirup, dan laut yang tertutup plastik. Tapi Paus Fransiskus—lewat seruannya untuk merawat bumi—seolah berkata: “Masih ada harapan.” Di tanah Asia yang penuh harmoni dengan alam, ajakan itu sangat mengena. Gereja dipanggil bukan cuma bicara soal surga nanti, tapi juga tentang bumi yang sedang kita tinggali. Gereja Asia punya peluang jadi pelopor spiritualitas ekologi. Saya percaya, ketika kita mengajarkan anak mencintai pohon dan sungai, kita sedang mewariskan iman yang sejati.
ADVERTISEMENT
3. Gereja Miskin bagi Kaum Miskin: Harapan Bagi Asia
Saya terenyuh setiap kali Paus Fransiskus bicara tentang Gereja yang berpihak pada yang lemah. Sebagai guru dan pelayan awam, saya bukan siapa-siapa. Tapi beliau membuat saya merasa: semua orang bisa menjadi bagian dari Harapan Gereja. Di Asia, termasuk Indonesia, begitu banyak umat Katolik yang sederhana tapi penuh semangat. Mereka yang melayani tanpa nama, yang mengajar tanpa upah besar, yang tetap setia meski gereja jauh. Paus tak pernah lelah mengingatkan: di sanalah Gereja sejati hidup. Gereja Katolik bukan bangunan megah atau gelar tinggi, tapi cinta konkret di pinggiran.
4. Asia, Masa Depan Gereja: Dari Pinggiran Menjadi Pusat
Hari ini, saat nama Kardinal Tagle sering disebut dalam berita terkini konklaf dan berita terbaru Conclave, saya merasa harapan itu begitu dekat. Mungkinkah Paus Asia benar-benar lahir dari tanah ini—dari Asia yang selama ini dianggap pinggiran? Paus Fransiskus telah membuka pintu itu lebar-lebar. Ia memberi ruang agar Gereja Asia bersuara. Ia percaya pada semangat anak muda Asia, pada komunitas kecil di Filipina, India, Korea, Indonesia. Jika Gereja Katolik hari ini masih punya daya hidup, maka salah satu denyut terbesarnya ada di sini, di Timur. Tempat saya, dan Anda, berdiri.
ADVERTISEMENT
Refleksi Pribadi: Dari Seorang Bapak Biasa
Sebagai seorang bapak biasa, yang menulis dari dapur rumah dan ruang kelas kecil, saya merasa dituntun oleh Paus Fransiskus. Ia memberi saya keberanian untuk percaya bahwa Gereja tidak ditentukan oleh para elite saja, tapi oleh jutaan umat biasa yang hidup dalam iman, doa, dan kerja keras. Ia membuat saya bangga menjadi bagian dari Gereja Katolik Indonesia, tempat di mana kata-kata sederhana bisa menjadi doa, dan tulisan bisa menjadi pengharapan. Kini, ketika kita menatap masa depan tanpa Paus Fransiskus, saya percaya bahwa semangatnya akan terus hidup—dalam setiap tindakan kecil yang kita lakukan dengan cinta. Karena Injil tidak pernah mati. Injil selalu menemukan jalannya—bahkan dari dapur, dari kelas, dari Asia.