Konten dari Pengguna

Dilema antara “Serangan Fajar” atau Hati Nurani

Harisman
Bekerja disebuah Perusahaan Swasta di Kota Tangerang, Banten, Alumni Magister Hukum Universitas Halu Oleo (UHO), FH. Unilaki - SMA Negeri 1 Wawotobi.
13 Februari 2024 11:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto 2019 : Harisman
zoom-in-whitePerbesar
Foto 2019 : Harisman
ADVERTISEMENT
Pemilihan Umum atau disingkat Pemilu merupakan hajatan atau pesta demokrasi bagi rakyat Indonesaia yang digelar secara serentak disetiap 5 tahun diseluruh Wilayah Indonesia, ini sesuai ketentuan dalam UUD 1945 dalam Pasal 22E ayat 1 sampai 6 di BAB VIIB Pemilihan Umum, adapun dari bunyi pasal tersebut adalah “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
ADVERTISEMENT
Pemilu sebagai wujud demokrasi dan merupakan aspek yang penting untuk memilih Pemimpin dimasa depan yang berkualitas, akuntabilitas,kredibilitas dan berintegritas. Pemilihan Umum dilakukan tiap 5 (lima) tahun sekali bersamaan dengan masa jabatan presiden, wakil presiden hingga anggota legislatif lainnya. Untuk Presiden dan Wakil Presiden dapat mencalonkan diri lagi atau hanya memiliki 2 kali masa jabatan presiden dan wakil presiden. Esok tepatnya pada hari rabu tanggal 14 Februari tahun 2024 warga negara indonesia yang sudah menjadi pemilih tetap akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih Calon Eksekutif maupun calon legislatif secara serentak diseluruh wilayah negara indonesia.
Istilah “serangan fajar” dalam gelaran Pemilu menjelang pencoblosan di TPS (Tempat Pemungutan Suara) sudah menjadi hal yang biasa dikalangan masyarakat dan menjadi hal yang paling ditunggu dan dinantikan oleh kalangan masyarakat (Pemilih tetap). Suka atau tidak suka bahwa “serangan fajar” sudah menjadi budaya atau kebiasaan masyarakat dan juga menjadi faktor penting dalam memenangkan kontestasi perpolitikan di indonesia ketika masa Pemilu digelar, maka jangan heran jika masyarakat sebagian besar enggan untuk pergi ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk melakukan pencoblosan jika tidak mendapatkan uang “serangan fajar” dari pasangan calon tertentu, meskipun ini nyata-nyata bertentangan dengan Konstitusi kita atau melanggar Undang-Undang Pemilu No.7 tahun 2017 dan tentu bertentangan dengan asas penyelenggaraan Pemilu yakni Asas Jurdil (Jujur, Adil).
ADVERTISEMENT
Bahwa untuk bertarung memperebutkan kursi Ekskutif khususnya kursi Legislatif, seseorang harus mengeluarkan ongkos politik yang tidak sedikit, maka tidak heran setelah selesai Pemilu banyak para Caleg yang mencalonkan gagal untuk mendapatkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemudian menjadi bangkrut atau yang paling parahnya menjadi stress dan tidak sedikit masuk dirumah sakit jiwa karena begitu banyaknya biaya politik yang dikeluarkan oleh si calon tersebut. Namun disisi lain menurut hemat penulis “Serangan Fajar” adalah senjata paling ampuh untuk memenangkan Pemilihan langsung Calon Eksekutif maupun khususnya bagi seorang Calon Legislatif (Caleg), dan ini merupakan pernyataan yang masuk akal dan sulit untuk dibantah, karena pada faktanya sebagian besar masyarakat pemilih enggan ketempat Pemungutan Suara (TPS) jika tidak mendapatkan “amplop” dari calon atau pasangan tertentu dan sangat sulit juga untuk menemukan para Pemilih dengan berdasar hati nurani. “serangan fajar” mempunyai efek sangat besar untuk mempengaruhi para pemilih karena sebagian besar para pemilih tidak mengedepankan atau melihat pada rekam jejak para figur calon tersebut tapi justru menggunakan ukuran jumlah nilai “amplop” yang diterima, maka masyarakat jangan perna berharap mempunyai Pemimpin yang punya integritas,kredibilitas dan kapabilitas jika proses terpilihnya para calon masih menggunakan prinsip “ada uang ada suara”.
ADVERTISEMENT
Penulis bukan berarti melegalkan “serangan fajar” yang sebagian besar dilakukan pada tiap team sukses para calon pada gelaran Pemilu, tapi ini hanya pandangan penulis, dan penulis hanya ingin mencurahkan dinamika yang terjadi ditengah masyarakat ketika gelaran Pemilu dilakukan, agar seluruh stockholder para penyelenggara Pemilu bisa menjadi perenungan dan bahan refleksi agar kedepan dengan sistem yang ada bisa secara bertahap diperbaiki. Khususnya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga independen yang berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu harus berperan aktif dan bertindak secara objektif dan netral kepada setiap calon Eksekutif maupun calon legislatif, agar tidak terjadi pelanggaran Pemilu yakni salah satunya “serangan fajar”. Untuk itu penulis menyarankan kepada para pemilih jika memilih Pemimpin terlebih dahulu melihat dari rekam jejak figur calon tersebut, jangan terlena dan terpengaruh dengan isi “amplop” yang diberikan, karena tanpa kita sadari ini akan berdampak pada kehidupan 5 (lima) tahun yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Penulis: Harisman (Legal Staf)