Narasi Sunyi Perempuan Migran

Arista Devi
A Purple Lover. I am not perfect, but unique.
Konten dari Pengguna
21 Mei 2018 22:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arista Devi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Narasi Sunyi Perempuan Migran
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
(Acara peluncuran buku Afterwork dok.pri)
"Jika mereka tidak memberimu tempat duduk,
ADVERTISEMENT
bawalah kursi lipatmu sendiri."
~ Shirley Chisholm ~
Hujan badai di hari Minggu. Basah dan dingin seakan bekerjasama membekukan keinginan siapapun untuk keluar rumah. Jalanan di kawasan Central Pier yang biasanya padat nampak lengang. Hanya terlihat satu dua orang yang berjalan tergesa-gesa sembari merapatkan mantelnya atau memegang erat payungnya untuk melindungi diri dari percikan hujan.
"Arista, bajumu basah tertampu hujan. Aku khawatir kamu masuk angin."
"Ah, baju kalian juga. Kalaupun masuk angin, kita nggak akan masuk angin sendirian kan?"
Kami berlima tertawa bersama-sama sambil meneguk air putih dan menyantap sepotong roti yang kami beli di 7-Eleven untuk mengganjal perut yang berteriak-teriak menagih jatah makan siang yang tertunda. Cuaca sedang buruk, sementara tempat makan lumayan jauh. Kami tidak ingin membuang-buang waktu.
ADVERTISEMENT
Hari ini adalah satu hari dalam seminggu di mana seharusnya aku bisa melepaskan semua kepenatan. Menguapkan segala kejenuhan akibat rutinitas sehari-hari. Pekerjaan rumah tangga yang memang tidak dinamis sama sekali ditambah kelindan emosi yang kerap melingkupi hari-hariku cenderung menimbulkan keajegan yang membosankan dan bisa dibilang rentan depresi. Namun, tidak adanya ruang pribadi di rumah majikan berarti juga tidak adanya kesempatan untukku sekadar bermalas-malasan di atas ranjang. Mau tidak mau, pada hari libur aku harus keluar rumah pada jam yang sudah disepakati sampai dengan batas jam pulang yang sudah ditentukan oleh majikan.
"Pengambilan gambar di sini sudah selesai, Arista. Setelah ini kita akan pindah ke daerah Tsuen Wan. Ada temanku yang meminjamkan apartemen-nya kepada kita untuk sesi pengambilan adegan bersih-bersih rumah dan memasak."
ADVERTISEMENT
"Oke," aku menautkan jari ibu dan jari telunjukku, membentuk huruf 'O' sebagai isyarat 'tidak ada masalah bagiku'.
Dari bangku kayu tempatku duduk, kuperhatikan Peter dan Alan, keduanya sibuk mengemasi alat-alat perekam gambar dan suara. Aku baru tahu kalau ternyata untuk pembuatan sebuah video yang bagus, diperlukan alat yang berbeda-beda untuk pengambilan gambar dan perekaman suara. Tidak sesederhana saat aku merekam sesuatu dengan hapeku.
Di sudut lain, Fang dan Celine kulihat sedang terlibat diskusi serius sambil sesekali mencatat serta mencoret sesuatu di buku tulis masing-masing. Fang adalah public relations Para Site, NGO yang menggagas serangkaian proyek pekerja migran sektor domestik (Migrant Domestic Workers Project) di Hong Kong, sedangkan Celine adalah reporter Cable TV News yang meliput kegiatanku dan teman-temanku di Klub Baca Selepas Kerja untuk program acara mereka.
ADVERTISEMENT
Mereka berempat mengaku padaku kalau hari ini libur tugas. Tapi mereka sengaja merelakan hari liburnya untuk bekerja karena sudah memahami kondisi kerjaku sebagai seorang pekerja rumah tangga yang tidak memungkinkan untuk membuat janji pengambilan rekaman di hari biasa. Selain itu mereka memang sedang kejar tayang untuk program televisi di mana kisahku menjadi salah satu bagiannya.
Dalam beberapa minggu terakhir, berita dan fotoku banyak menghiasi berbagai media lokal di Hong Kong. Media cetak dan daring ramai bercerita tentang pengalaman seorang pekerja rumah tangga asing yang memanfaatkan hari liburnya untuk membaca buku, diskusi literasi bersama teman-temannya dan menulis. Selain keberhasilan Fang sebagai PR dalam mempromosikan proyek kami, perhatian media tertuju kepadaku dan teman-teman karena memang kegiatan literasi oleh buruh migran masih dianggap langka dan belum diketahui oleh masyarakat luas di Hong Kong. Warga lokal mengira kegiatan libur para pekerja rumah tangga mereka, hanya seperti yang sering mereka saksikan: duduk-duduk santai di taman, jalan-jalan, belanja dan pergi rekreasi bersama teman-teman sekampung halaman.
ADVERTISEMENT
Di Hong Kong para pekerja migran sektor domestic seperti aku dan teman-temanku mewakili salah satu komponen yang paling tampak dari masyarakat yang status hukum serta simboliknya pernah, masih dan akan selalu menjadi topik dan bahan negosiasi serta perdebatan. Terutama ketika membicarakan tentang siapa orang Hong Kong dan siapa yang berhak untuk berbicara dengan mengatasnamakan Hong Kong. Suara minoritas seperti kami ini jarang didengar. Meskipun pengacuhan tersebut sudah kami balas dengan sangat jelas dengan pengambilalihan ruang publik untuk berbagai kegiatan di hari libur kami. Victoria Park, Mei Foo, Yuen Long dan berbagai titik tempat umum menjadi pusat kami berkumpul dan berkreasi menunjukkan eksistensi keberadaan kami.
"Arista, apa majikanmu tahu kalau kamu sekarang ini sudah menjadi orang terkenal?" Fang bertanya kepadaku dengan ekspresi menggoda.
ADVERTISEMENT
"Nggak. Mereka nggak pernah mau tahu tentang kegiatanku dan aku juga tidak merasa perlu memberi tahu mereka, Fang."
"Wah, sayang banget ya, padahal seharusnya kalau mereka membaca koran atau menonton televisi, bisa bangga pada prestasi pembantunya."
"Belum tentu Fang. Aku pernah pulang libur membawa piala hasil menjuarai lomba, bukannya dikasih ucapan selamat, aku malah diomelin dituduh membuang-buang uang untuk membeli barang-barang yang hanya akan memenuhi rumah mereka. Pun setelah aku jelaskan tentang bagaimana aku mendapatkan piala itu, mereka tetap tidak mau percaya. But it's oke, Fang, tujuan utamaku bergabung dalam proyek kalian bukan untuk terkenal atau membuat majikanku bangga, tapi lebih dari itu aku berharap bisa mewakili teman-temanku, menyampaikan suara para perempuan migran di Hong Kong."
ADVERTISEMENT
Serangkain proyek Para Site, salah satu NGO berbasis seni yang mempercayai potensi seni selalu bisa menjadi alat untuk menilik kembali makna bermasyarakat dan mengimajinasikan ulang batas-batas simbolik yang membentuk ruang tersendiri, merupakan harapan bagiku dan teman-temanku untuk membantu melantangkan suara kelompok minoritas dan menyampaikan kisah kami sebagai narasi penting yang semestinya didengar dan diperhatikan dengan mempertimbangkan representasi pekerja migran sektor domestik dari berbagai perspektif untuk memberikan cerminan kritis mengenai isu perempuan dan migran.
"Keren! Jujur saja, aku bangga mengenalmu dan iri pada semangatmu," Fang merangkul dan menepuk-nepuk bahuku pelan.
Untuk sampai di titik dalam hidupku sekarang ini, mungkin bagi orang lain bisa dianggap sebagai sebuah prestasi yang cukup membanggakan. Berhasil menerbitkan buku antologi dalam 4 bahasa yang menjadi bagian dari sebuah pameran besar yang sanggup mengetuk pintu banyak media untuk mengutip buah pemikiran dan cuilan cerita perempuan migran di halamannya, dari media lokal yang berbahasa China sampai dengan media asing yang berbahasa Inggris seperti Jurnal Street, Voice Of American, Asia Times dan lain-lainnya tentunya bukan hal yang mudah. Bagiku pribadi hal ini bukan lagi sekadar prestasi untuk dibanggakan, tapi lebih semacam mimpi yang menjadi kenyataan. Dreams be come true, yang selain butuh proses panjang, juga butuh sebentuk keajaiban dari manisfestasi usaha dan doa-doa yang dilangitkan.
ADVERTISEMENT
Keseharian tugasku adalah menjadi penjaga manula, yang kelihatannya seperti ringan dan santai dalam soal jumlah kapasitas kerjaan. Berbeda dengan kesibukan menjaga anak-anak atau bayi, yang dianggap orang-orang lebih berat sekaligus lebih besar tanggung jawabnya. Tapi sebenarnya di balik pekerjaan yang kerap dinilai ringan dan santai tersebut, tersembunyi pergulatan batin sehari-hari yang mesti kulalui. Dari perasaan tertekan karena omelan yang tiada habisnya, sampai dengan amarah karena tuduhan-tuduhan tidak beralasan yang kerap dilemparkan hanya untuk mencari-cari kesalahan.
Aku pernah dituduh Bobo ingin meracuninya hanya karena ia menemukan sebuah kentang yang mulai ditumbuhi kecambah di dapur ketika aku sedang libur. Entah siapa yang bilang kalau sabar itu ada batasnya, pastinya aku setuju. Kalau sedang berada di titik batas kesabaran, ingin rasanya aku menjawab semua omelan Bobo dan menyangkal semua tuduhannya yang tidak masuk akal. Tapi ketika mengingat hitungan usia yang puluhan tahun lebih tua dan keadaan kesehatannya yang sudah naik-turun, diam-diam aku menahan diri dan berusaha menelan kembali semua kata-kataku.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya diakui atau tidak, para lansia yang memiliki pekerja asing yang menjaga, merawat dan membantu kegiatannya sehari-hari adalah golongan orang-orang yang kesepian. Di satu sisi keluarga mereka sudah merasa memberikan cukup perhatian yang dibutuhkan para lansia tersebut dengan kesanggupan mengambil dan menggaji pekerja rumah tangga untuk menggantikan kehadiran fisik mereka. Sementara di sisi lainnya lagi, sebenarnya para lansia tersebut tidak menyukai keberadaan pembantunya yang asing dan dianggap hanya menjadi alasan anak cucunya agar tidak lagi bisa meluangkan waktu yang cukup untuk membersamai mereka.
Bobo kerap mengadu kepada anak cucunya kalau aku sudah berusaha meracuninya dengan memasak kentang yang sudah berkecambah, meski kenyataannya seusai memakan menu yang memang sudah kukupas bersih kulitnya, ia masih sehat wal afiat. Bukan sekali dua kali aku sempat terpancing untuk berdebat ketika mendengar tuduhannya. Tapi setelahnya aku justru jatuh kasihan, karena usaha Bobo menarik perhatian anak cucunya ternyata berujung kesia-siaan. Mereka malah memarahi Bobo dan melarangnya mengarang cerita yang terlalu mengada-ada. Kemudian karena tingkah lakunya yang menjengkelkan, anak cucunya untuk beberapa minggu sengaja tidak menelepon ataupun mengunjunginya, membuat Bobo bertambah kesepian dan nelangsa.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali berganti majikan untuk menjaga manula dengan karakter yang berbeda-beda, membuatku bisa berbagi sedikit pengalaman kepada teman-teman yang kerap mengeluhkan ulah para lansia yang dijaganya. Aku berusaha memberi tips agar ketika lansia yang dijaganya mengomel atau mengatai dengan kata-kata yang menyakitkan hati serta memancing emosi, teman-temanku kiranya cukup istighfar saja dan mengingatkan diri bahwa tidak ada ruginya untuk pura-pura tuli atau membiarkan kata-kata menyakitkan itu hanya masuk telinga kanan kemudian keluar telinga kiri. Aku menyarankan mereka untuk mencari kesempatan membangun komunikasi atau merayu untuk mengambil hati lansia seperti yang kerap kulakukan. Tapi jika tidak ketemu juga caranya, jalan 'kasihan' bisa dipilih sebagai opsi. Secara para manula itu sebenarnya sudah kembali menjadi bocah manja yang lebih manja dari bocah yang sebenarnya. Selain itu bila perlu sesekali aku sarankan agar mereka bisa mencari teman yang dipercaya untuk curhat dan membuang beban seperti yang kulakukan. Tapi sesi curhat ini jangan sampai terlalu sering dilakukan. Sebab, kebanyakan curhat dan mengeluh tidak akan makin menguatkan, tapi malah bisa membuat seseorang menjadi lemah, seolah-olah merasa menjadi orang paling malang di dunia.
ADVERTISEMENT
"Arista, ternyata kita masih harus menambah satu adegan lagi. Aku akan bertanya kapan waktu dan bagaimana caramu menulis cerita pendek dan puisi karyamu di tengah-tengah kesibukan pekerjaanmu. Dan tolong ceritakan juga kenapa kamu cenderung menulis tentang sisi kesedihanmu dan teman-temanmu?"
"Tidak masalah, Celine."
Sebelum pindah area shooting untuk adegan di dalam ruangan. Kami menambah satu adegan untuk pertanyaan yang sempat diminta Fang agar dicoret. Secara Fang khawatir dan tidak ingin aku keceplosan menjelek-jelekkan kaum majikan jika dipancing dengan pertanyaan tersebut. Tapi karena durasi rekaman masih kurang panjang, maka Celine meminta agar pertanyaan itu aku jawab secara spontan tanpa arahan. Urusan nanti akan ditayangkan atau tidak itu terserah bagian editorial.
ADVERTISEMENT
"Bobo tidak suka melihatku memegang gadget ketika masih jam kerja. Sehingga ketika mendadak ada ide melintas aku menyimpannya dengan menuliskan di kertas terlebih dulu. Baru kemudian malam seusai jam kerja, sekitar jam 11 malam. Aku mengetik cerpen, puisi dan artikel-artikel karyaku dengan gadget, dan itu kulakukan di bawah selimut. Karena Bobo yang tidur satu kamar denganku tidak mengijinkan lampu kamar pun cahaya dari gadget-ku terlihat menyala. Maka sebisa mungkin aku berusaha menjaga agar kamar tetap gelap. Jika aku ingin mengirimkan karyaku untuk lomba atau ke media, maka aku harus menunggu hari libur untuk pergi ke perpustakaan umum dan memakai komputer serta wifi gratis di sana untuk mengirimkannya.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa wartawan yang sudah menanyakan pertanyaan sama kepadaku, kenapa aku memilih menulis cerita sedih tentangku dan teman-temanku. Bahkan ada juga wartawan yang bertanya apakah memang tidak ada kebahagiaan pada pekerjaan domestik yang kami jalani sehingga yang kuingat hanya hal yang sedih-sedih saja. Tentu saja aku menjawab kalau aku juga punya cerita bahagia atau yang mengharukan dalam kehidupanku sebagai perempuan migran. Tapi aku sengaja menuliskan cerita kesedihanku dan teman-temanku untuk menunjukkan kepada pembaca tulisanku, bahwa memang ada cerita seperti ini, benar-benar ada kisah yang kerap diabaikan oleh media dan sengaja disembunyikan di sudut sepi. Penyiksaan badan, pelecehan seksual, diskriminasi dan pemerasan serta perbudakan modern itu ada. Jadi pilihanku untuk menuliskan sisi kesedihan perempuan migran adalah sebagai usahaku untuk menyampaikan narasi sunyi kami kepada masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi karyaku baru dibaca dua atau tiga orang, belum dibaca banyak orang. Tapi dari dua atau tiga orang yang membaca dan mengetahui cerita itu, mereka akan menceritakan kepada orang terdekatnya, keluarga atau teman-temannya, kemudian begitu pula dengan keluarga dan teman-teman mereka akan menceritakan kembali kepada orang terdekat lainnya. Dan dengan begitu, berarti aku sudah menjalankan tugasku untuk menjadi bagian dari perjuangan kaumku. Meski sekecil apapun narasiku itu."
“Satu lagi pertanyaan, Arista. Bagaimana perasaanmu ketika karyamu dan teman-temanmu di Klub Baca Selepas Kerja diterjemahkan ke dalam empat Bahasa? Apakah ke depannya kamu akan terus menulis?”
“Perasaanku tentu saja senang, haru bercampur bahagia, karena apa kuimpi-impikan menjadi nyata. Untuk ke depannya aku ingin konsisten menulis dan terus berkarya dan berharap suatu hari nanti karyaku juga bisa dialih bahasakan lagi sehingga bukan hanya aku dan orang-orang Indonesia yang bisa membacanya tapi orang-orang Hong Kong sebagai tuan rumah juga bisa membaca cerita sebenarnya tentang kami: para pekerjanya.”
ADVERTISEMENT
Jarum jam besar di dinding menara Museum Kelautan yang berada di area Central Pier sudah menunjuk angka 4. Kami yang selesai berkemas dan memasukkan barang-barang ke mobil, segera beranjak menuju Tsuen Wan untuk melanjutkan pengambilan rekaman kegiatanku mengerjakan pekerjaan sehari-hari, dari membersihkan dan merapikan rumah sampai memasak makanan dan mencuci baju.
Sepanjang perjalanan hujan kembali turun, seperti sengaja mengiringiku. Menemaniku yang sibuk mengenang pedihnya perjalanan hidup yang telah kutempuh dengan menjadi perempuan pekerja di negeri asing. Aku mengingat kegiatan membaca dan menulisku sebagai sebuah usaha manusia yang sekuat tenaga menjaga dan merawat mimpi-mimpinya. Semua layaknya perjalanan ulang-alik dari bekerja ke menulis, dari mengetahui ke mencintai, dari meninggalkan rumah ke pulang dan dari bahasa ke kenyataan. Sampai kemudian perlahan tumbuh sebentuk kesadaran yang merupa kekuatan untukku. Seberapa berat jalan kehidupan yang sedang kulalui, seberapa terasing dan terdiskriminasi status pekerjaan yang sedang kujalani, aku tidak perlu menunggu orang lain untuk mengakui dan memberiku panggung untuk berdiri. Sebab dengan menulis dan menulis lagi, aku sudah menemukan dan membangun panggung untuk narasi-narasi sunyi kaumku. Agar kelak mata dunia bisa membacanya.
ADVERTISEMENT