Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Horor di Malam Minggu: Nonton The Curse
8 Mei 2017 16:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Ariston Harianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kecewa. Begitulah perasaan saya ketika film The Curse (tiba-tiba) selesai dan muncul credits. Bukan karena filmnya jelek, tapi karena saya merasa banyak unsur-unsur menarik di dalam film ini yang bisa digali lebih jauh.
ADVERTISEMENT
The good:
- Lokasi shooting di Melbourne, Australia memang sangat membantu film ini dari segi gambar. Banyak sekali pemandangan alam yang indah disajikan dalam film. Saya yakin banyak penonton yang menjadi tertarik untuk mengunjungi Melbourne karena melihat keindahan alamnya dari film ini.
- Musik komposisi dari Izzal Peterson sangat membantu dalam membentuk suasana yang mencekam dan menegangkan selama film. Musik tersebut dapat membuat sebuah shot kota Melbourne yang normal dan biasa-biasa saja menjadi menyeramkan.
- Unsur mistis dari Thailand yang ditampilkan di akhir film sangat menarik dan unik. Sayangnya hanya sedikit yang ditampilkan dan tidak dijelaskan lebih lanjut.
- Shot refleksi pada pigura foto dilakukan dengan sangat baik (ketika Shelina mengunjungi adik si pembunuh). Bagian favorit saya dari film ini.
ADVERTISEMENT
The bad:
- Ending film. Sangat disayangkan sepertinya film ini terlalu ingin untuk set-up sequel sehingga film ini terkesan seperti selesai di tengah-tengah tanpa menyelesaikan persoalan filmnya. Tidak dijelaskan apakah kutukan pada Shelina sudah hilang atau dia masih dikutuk. Begitu juga dengan kasus persidangan yang harusnya dipegang Shelina di awal film. Hampir setengah bagian awal film didekasikan untuk masalah persidangan ini, namun kita tidak mendapatkan penjelasannya di akhir. Jika memang tidak penting, kenapa dimasukkan ke film?
- Berkaitan dengan poin di atas, film ini terkesan seperti 2 film digabung menjadi 1. Bagian pertama adalah bagian persidangan, kemudian tiba-tiba berubah menjadi masalah persidangan David dan Channarong. Menurut saya, harusnya dari awal langsung dimulai dengan persidangan David dan Channarong saja agar filmnya lebih fokus.
ADVERTISEMENT
- Dialog menurut saya terlalu formal sehingga menjadi kaku, terutama pada awal dialog antara Shelina dan mama-nya.
- Cheap jumpscare. Ada beberapa kali adegan yang 'tenang' langsung disambung dengan close-up muka setan dengan tujuan hanya untuk mengagetkan penonton. Menurut saya hal ini merupakan trik di genre film horor yang sudah sangat sering digunakan dan terkesan 'murahan'. Bandingkan dengan adegan pada film Conjuring 2 ketika Valak masuk ke dalam lukisan. Penonton benar-benar dibuat untuk merasakan ketegangan dan tidak nyaman sampai akhirnya klimaks ketika Valak berlari maju.
Beberapa unsur film yang menurut saya bisa di-eksplorasi lebih jauh:
- Di awal film, sempat disebutkan bahwa mungkin saja Shelina melihat setan karena dia stres kerjaan. Hal ini bisa dieksplorasi lebih jauh, misalnya memang cuma khayalan (seperti A Beautiful Mind) atau memang ada setan tetapi tidak ada yang percaya dengan dia dan bagaimana cara dia mengatasinya (seperti Rosemary's Baby).
ADVERTISEMENT
- Penjelasan dan efek tentang voodoo dari Thailand. Bagaimana cara kerjanya, cara melawannya, dll.
Ini hanya pendapat saya sebagai seorang pecinta film. Saya kecewa karena saya merasa film ini bisa jauh lebih bagus dan menarik dengan menggunakan unsur-unsur yang sudah ada. Semoga Muhammad Yusuf dan tim bisa terus berkarya dan membuat film horor yang lebih baik lagi agar film Indonesia bisa bersaing dengan film dari negara lain. Sukses!