Konten dari Pengguna

Tafsir Tarbawi: Adab Murid kepada Guru dalam Al-Qur’an

Arivaie Rahman
Akademisi dan Pegiat Tafsir Nusantara
9 Oktober 2020 11:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arivaie Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi murid di India. Foto: AFP/SAM PANTHAKY
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi murid di India. Foto: AFP/SAM PANTHAKY
ADVERTISEMENT
Pembahasan kali ini akan menguraikan penafsiran terhadap surah al-Kahfi [18]: 66-70 tentang adab seorang murid kepada gurunya dalam menuntut ilmu, sebagaimana yang pernah dipraktikkan oleh nabi Musa ketika berguru kepada Khidhir. Perhatikan ayat-ayat berikut:
ADVERTISEMENT
قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلۡ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدٗا (٦٦). قَالَ إِنَّكَ لَن تَسۡتَطِيعَ مَعِيَ صَبۡرٗا (٦٧). وَكَيۡفَ تَصۡبِرُ عَلَىٰ مَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ خُبۡرٗا (٦٨). قَالَ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ صَابِرٗا وَلَآ أَعۡصِي لَكَ أَمۡرٗا (٦٩). قَالَ فَإِنِ ٱتَّبَعۡتَنِي فَلَا تَسۡ‍َٔلۡنِي عَن شَيۡءٍ حَتَّىٰٓ أُحۡدِثَ لَكَ مِنۡهُ ذِكۡرٗا(٧٠).
Musa berkata kepada (Khidhr): "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? (66). Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku (67). Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? (68). Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun" (69). Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu" (70). (QS. al-Kahfi [18]: 66-70).
ADVERTISEMENT
Ayat-ayat ini merupakan bagian dari ayat kisah yang terdapat dalam surah al-Kahfi [18]. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan bahwa kisah Musa dan Khidhir ini merupakan kisah ketiga, setelah kisah Ashab al-Kahfi dan kisah dua orang laki-laki yang memiliki kebun dan harta. Semuanya nyata terjadi di dunia, dan kisahnya membekaskan iman kepada Allah dan iman kepada hari akhirat (Tafsir al-Washith, 1422: 2/1441). Kisah tentang Musa dan Khidhir ini memang panjang, tetapi tidak semuanya akan dijelaskan penafsirannya, yang akan ditekankan pada artikel singkat ini adalah tentang relevansinya dengan Tafsir Pendidikan. Bagaimana seharusnya murid bertata krama kepada guru.
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa, ayat di atas menekankan dua urgensi, Pertama, pentingnya adab yang baik. Kedua, menjadi dalil bahwa seorang penuntut ilmu hendaklah mengikuti atau mempunyai guru (Tafsir al-Qurthubi, 1964: 11/ 17). Sementara itu, menurut Syekh al-Sya’rawi, ayat ini menunjukkan kepada kita tentang adab nabi Musa ketika ber-talaqqi, antara murid kepada guru. Padahal Allah yang memerintahkannya untuk mengikuti Hidhir, tetapi Musa tidak langsung mengatakan “sesungguhnya aku diperintah Allah untuk mengikutimu”, tetapi Musa mengatakannya dengan lembut “bolehkah aku mengikutimu..”. (Tafsir al-Sya’rawi, 1997: 14/ 8955). Adab Musa tergambar jelas pada surah al-Kahfi [18]: 66, bahwa ia meminta untuk mengiringi atau menjadi khadim Khidir, bukan langsung meminta agar Khidhir mengajarnya.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan adab-adab belajar Musa kepada gurunya Khidhir, Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib menuliskan secara detail adab-adab tersebut, yaitu:
Pertama, seorang murid harus mengikuti atau mempunyai guru.
Kedua, meminta izin terlebih dahulu kepada guru untuk mengikutinya, ini bentuk merendahkan hati di hadapan guru.
Ketiga, mengakui bahwa dirinya bodoh, sementara gurunya lebih berilmu.
Keempat, meminta sebagian ilmu dari sekian banyak ilmu gurunya yang telah dianugerahkan Allah, ini juga bagian dari bentuk kerendahan hati, bukan berniat untuk menyaingi gurunya, tetapi hanya meminta sebagian kecil saja, sebagaimana orang miskin yang meminta sedikit harta kepada orang kaya raya.
Kelima, mengakui apapun yang dipelajari bahwa Allah-lah yang memberi pengetahuan itu.
ADVERTISEMENT
Keenam, meminta bimbingan dan petunjuk kepada guru, agar tidak mudah tergoda dan menempuh jalan yang sesat.
Ketujuh, murid harus melakukan apapun yang diperintahkan guru sebagaimana perintah Allah terhadap hambanya, maka sebaliknya bila murid tidak melakukan perintah guru maka sama seperti orang yang durhaka kepada Allah. Maknanya hendaklah seorang murid memposisikan dirinya layaknya seorang budak.
Kedelapan, bila murid telah berguru, kemudian datang lagi ke guru yang lain, hendaknya ia meninggalkan perselisihan dan rasa keberatannya bila terjadi perbedaan pendapatnya dengan gurunya tersebut.
Kesembilan, menyerahkan diri mengikuti guru secara total, tanpa ada alasan-alasan.
Kesepuluh, memiliki keinginan yang kuat meskipun telah mempunyai ilmu, sebab berada di dekat orang yang berilmu akan merasakan kebahagiaan dan sukacita karena bertemu dengen pakar ilmu yang sempurna dan mendalam.
ADVERTISEMENT
Kesebelas, mengawali menuntut ilmu dengan mengabdi kepada guru (khidmah), kemudian baru belajar.
Kedua belas, tidak mengikuti guru karena tujuan-tujuan lain, selain hanya ingin menuntut ilmu semata. Demikian kurang lebih, adab seorang murid kepada gurunya, sebagaimana pernah dipraktekkan nabi Musa kepada Khidir (Tafsir Mafatih al-Ghaib, 1420: 21/483-484).
Selain itu, secara umum bisa pula digambarkan bahwa adab murid kepada guru yang diperoleh dari kisah Musa dan Khidir ini antara lain:
Pertama, murid meminta izin kepada guru untuk belajar, bila diizinkan barulah si murid mengikuti gurunya untuk belajar.
Kedua, menanamkan sikap sabar dalam menuntut ilmu, sebab pengetahuan guru tentu lebih dalam dari murid. Pasti banyak yang tidak diketahui murid, tetapi diketahui oleh gurunya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tidak menentang atau melawan guru, meskipun tindakan guru tersebut terlihat berbeda, tetapi itu semua tentu memiliki alasan yang kuat.
Keempat, tidak terburu-buru bertanya kepada guru, sampai ia menjelaskan semuanya atau hingga guru mempersilahkan si murid untuk bertanya.
Demikian, beberapa adab murid kepada guru, baik secara khusus maupun secara umum yang dapat diambil dari teks al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir, terutama Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Sya’rawi, dan Tafsir al-Washith.