Konten dari Pengguna

Tafsir Tarbawi: Allah Mengajarkan "Nama-nama" kepada Adam dalam al-Qur’an

Arivaie Rahman
Akademisi dan Pegiat Tafsir Nusantara
6 Oktober 2020 5:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arivaie Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Arivaie Rahman (Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Arivaie Rahman (Penulis)
ADVERTISEMENT
Tulisan ini menafsirkan surah al-Baqarah [2]: 31, ayat ini merupakan bagian dari ayat yang mengisahkan hal ihwal penciptaan Nabi Adam. Point penting dalam ayat ini yang dikaitkan dengan Tafsir Tarbawi adalah bahwa Allah menjadi pendidik pertama yang mengajarkan Adam tentang nama-nama segala sesuatu. Ayat tersebut adalah:
ADVERTISEMENT
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" (QS. al-Baqarah [2]: 31).
Artikel singkat ini fokus untuk lebih memahami penggalan ayat “wa’allama ādama al-asmāa kullahā” di atas. Penulis merujuk kepada berberapa tafsir yang relevan dengan dunia kontemporer, yaitu: Tafsir al-Munir, Tafsir al-Washith, Tafsir Safwat al-Tafasir, dan Tafsir al-Sya’rawi.
Wahbah al-Zuhaili menerangkan bahwa Allah mengajari Adam nama-nama segala sesuatu dan jenis-jenis material, misalnya nama-nama tumbuhan, nama-nama benda mati, nama-nama manusia, nama-nama hewan yang ada di dunia. Demikian penjelasan singkat al-Zuhaili (Tafsir al-Munir, 1418: 1/126 dan Tafsir al-Washith, 1422: 1/23). Kita belum puas dengan penjelasan al-Zuhaili tersebut, dan perlu balik bertanya, bagaimana mungkin Adam sebagai manusia pertama diajari nama-nama manusia, padahal pada saat itu belum ada manusia lain selain ia sendiri?
ADVERTISEMENT
Ali al-Shabuni mengutip perkataan Ibn Abbas, Allah mengajarkan nama segala sesuatu bahkan penamaan mangkuk dan sendok-pun Allah ajarkan kepada Adam (Tafsir Safwat al-Tafasir, 1997: 1/41). Penjelasan mufasir kontemporer Wahbah al-Zuhaili (w. 2015) dan Ali al-Shabuni di atas masih belum memberikan ketuntasan pemahaman kita terkait makna Allah sebagai pendidik Adam.
Penulis merasa tertarik dengan penjelasan Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi (w. 1998) dalam Tafsir al-Sya’rawi. Sebuah Tafsir yang dihimpun oleh murid-muridnya dan penerbit berdasarkan rekaman ketika beliau mengisi kajian tafsir di al-Azhar, Mesir. Dalam tafsir yang telah diterbitkan tersebut, Syekh al-Sya’rawi memecahkan beberapa persoalan penting dan memiliki korelasi dengan sudut pandang dunia pendidikan.
Persoalan pertama, Allah mengajari Adam tentang semua nama-nama, apakah itu berlaku sejak zaman penciptaan hingga hari kiamat? Lalu bagaimana dengan penamaan yang diberikan oleh penemu tertentu setelah Adam wafat selama berabad-abad?
ADVERTISEMENT
Al-Sya’rawi menjawab persoalan ini panjang lebar, namun akan penulis meringkas dan agar point pentingnya didapatkan. Adam dapat memberi tahu kepada malaikat tentang nama-nama benda-benda, itu menjadi bukti bahwa penciptaan Adam yang berasal dari tanah memiliki keunggulan yang lebih paripurna dibandingkan Malaikat yang diciptakan dari cahaya, akan tetapi yang perlu diingat bahwa itu semua bukan karena kemampuan Adam atau manusia, tetapi Allah-lah yang memberikannya.
Bagaimana Allah mengajarkan segala nama-nama kepada Adam? Al-Sya’rawi menjawab, tentu cara pengajaran Allah tidak akan sama dengan pengajaran manusia biasa, Allah memberikan ilham kepada hati Adam, sehingga ia mengetahui nama-nama segala sesuatu. Adam tidak tuli, sebab bila Adam tuli maka ia tidak akan dapat berbicara sepatah kata pun, dia mendengar segama nama-nama itu langsung dari Allah.
ADVERTISEMENT
Kata al-Sya’rawi, ini sangat menakjubkan, metode pengajaran Allah kepada Adam tentang nama-nama benda merupakan metode yang dipakai manusia hingga hari ini. Manusia tidak mengajar anaknya tentang “kata kerja”, tetapi “kata benda”, nama ini dan nama itu. Mereka mengatakan “ini cangkir”, “ini gunung”, “ini laut”, “ini matahari”, “ini bulan”. Setelah si anak mengetahui nama-nama benda itu, ia akan tahu sendiri kata kerjanya, dan setelah itu ia bakal terus mengalami perkembangan.
Al-Sya’rawi menerangkan: Adam dapat menyebutkan nama-nama benda itu terbatas pada nama-nama yang prioritas dan memiliki urgensi untuk dinamai serta terbatas pula pada masa Adam masih hidup. Sedangkan nama-nama baru yang diberikan manusia selanjutnya merupakan perpanjangan penamaan yang telah diberikan Adam, meskipun berbeda-beda bahasa, itu tidak tidak terjadi begitu saja, melainkan memiliki proses panjang.
ADVERTISEMENT
Bila seluruh yang ada pada alam semesta ini dikembalikan kepada aslinya, maka asalnya akan kembali kepada Allah. Manusia bila dikembalikan, maka akan kembali kepada Allah sebagai pencipta. Bila mengembalikan ilmu kepada aslinya, maka akan kembali kepada guru, sehingga setiap ilmu membutuhkan guru. Maka guru itu tidak jadi dengan sendirinya, melainkan ada guru pertama, yakni Allah. Allah-lah yang mengajari Adam, dan Adam mengajari anak-anaknya, terus dari generasi ke generasi.
Persoalan kedua, mengapa bahasa di dunia ini beragam padahal berasal dari satu Adam? Al-Sya’rawi menjawab, keragaman tersebut karena perjalanan sejarah dan penyebaran manusia di muka bumi, sehingga masing-masing kelompok yang mendiami tempat tertentu memiliki bahasa tertentu. Tetapi, bahasa yang mereka pakai itu masih bersumber dari bahasa kuno mereka. Prancis, Inggris, Itali berasal dari bahasa Latin. Bahasa Ibrani dan Suryani memiliki kerterkaitan dengan bahasa Arab. Bahkan bahasa Arab memiliki dialek tersendiri, ada Arab Aljazair atau Maroko, berbeda dengan dialek Mesir atau Sudan, tetapi bila berbicara dengan bahasa Arab mereka akan memahami, Sebab bahasa asal mereka adalah bahasa al-Qur’an. Demikian kurang lebih penulis ringkaskan dari Tafsir al-Sya’rawi (Tafsir al-Sya’rawi, 1997: 1/144-246)
ADVERTISEMENT
Penafsiran Syekh al-Sya’rawi di atas memberikan pencerahan baru bila dilihat dari sudut pandang pendekatan Tafsir Pendidikan, antara lain bahwa al-Sya’rawi menegaskan tentang Metode Pengajaran pertama adalah dengan guru mengajarkan langsung kepada murid, dan murid mendengar langsung dari gurunya, maka metode ini mewajibkan bahwa setiap ilmu pengetahuan mesti dipelajari dengan guru dan pertemuan antara guru dan murid.
Kemudian, metode pendidikan yang terawal dan dasar yang diajarkan kepada manusia terutama kepada anak-anak adalah tentang nama-nama benda atau kata benda. Setelah anak-anak hafal dan mengerti tentang nama-nama benda itu, maka mereka akan mudah saja menghubungkannya dengan kata kerja. Maka isyarat al-Qur’an dan tafsir surah al-Baqarah [2]: 31 ini cukup memberikan inspirasi segar bagi dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT