Konten dari Pengguna

Tafsir Tarbawi: “Tafaqquh fī al-Dīn” dalam al-Qur’an

Arivaie Rahman
Akademisi dan Pegiat Tafsir Nusantara
26 September 2020 16:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arivaie Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Arivaie Rahman
zoom-in-whitePerbesar
Arivaie Rahman
ADVERTISEMENT
Tulisan ini mengeksplorasi penafsiran terhadap surah al-Taubah [9]: 122 menurut kacamata Tafsir Pendidikan (Tafsir Tarbawi). Hanya dalam surah inilah ditemukan saran al-Qur’an kepada orang-orang beriman untuk mendalami Agama dengan sungguh-sungguh mendapatkannya. Redaksi ayat tersebut adalah, sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ. (سورة التوبة [٩]: ١٢٢)
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. al-Taubah [9]: 122).
Untuk memahami ayat ini dari sudut pandang pendidikan, penulis mengkolaborasikan tiga tafsir sebagai bahan rujukan, yaitu: Tafsir al-Wasith karya Wahbah al-Zuhaili (w. 2015), Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibn Asyur (w. 1973) dan Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi (w. 1210). Point utama penafsiran ayat ini sebagaimana yang dijadikan judul artikel ini adalah pada kata “liyatafaqqahū fī al-dīn”.
ADVERTISEMENT
Menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat ini tidak mewajibkan semua orang beriman untuk ikut berjihad, melainkan perlunya untuk menuntut ilmu. Sebab, orang yang akan berjihad memerlukan ilmu dan pengetahuan sebelum berjihad. Untuk berjihad mereka membutuhkan argumen yang kuat dan landasan yang akurat. Maka dengan demikian butuh pengorganisasian dan pembagian tugas, sebagian pergi belajar dan sebagian yang lain pergi berjihad, kaduanya merupakan bagian dari kewajiaban fardu kifayah.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ayat ini memerintahkan untuk menuntut ilmu, karena ilmu itulah yang menjadi pendorong kemajuan dan kejayaan, ada banyak orang yang rela berpisah meninggalkan keluarga dan kampung halamannya demi menuntut ilmu agama, mengetahui hukum dan syariat-Nya serta segala rahasia-rahasia yang berkaitan tentangnya. Sehingga kelak mereka dapat memperkenalkan dan memberikan peringatan kepada orang lain (Tafsir al-Wasith, 1422: 1: 931). Kecendrungan al-Zauhaili di bidang hukum sangat terlihat di dalam tafsirnya, ia lebih menekankan tentang hukum menuntut ilmu, dan “liyatafaqqahū fī al-dīn” itu lebih di arahkannya kepada kewajiban mempelajari hukum Islam.
ADVERTISEMENT
Ibn Asyur menerangkan, motivasi awal dari ayat ini adalah kewajiban menuntut ilmu atas mayoritas Muslim, hukumnya fardu kifayah, yang apabila segelintir orang telah melakukannya maka terbebaslah kewajiban itu atas yang lain. Terkait dengan ini Ibn Asyur memiliki pandangan lain, ia berpendapat bila yang dipersiapkan untuk berjihad itu harus sesuai dengan jumlah musuh atau jumlah yang akan diserang, sehingga diharapkan lebih banyak orang untuk menuntut ilmu, atau paling tidak dengan jumlah yang seimbang.
Ia menambahkan pula bahwa, penggunaan shighat “at-tafa’ul” pada lafal “at-tafaqquh” memberikan makna betapa berat dan sulitnya menuntut ilmu. Artinya, memahami agama yang benar-benar itu bukan suatu pekerjaan yang mudah. Sehingga wajar bila di dalam hadits disebutkan bahwa orang yang baik itu adalah mereka yang paham agama. Melalui ayat ini, para ulama juga menagaskan bahwa ilmu fiqih adalah cabang ilmu yang utama. Ilmu fiqih merupakan ilmu yang berkaitan tentang syariat Islam secara praktis yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci melalui jalan ijtihad. Demikian kurang lebih penjelasan Ibn Asyur (Tafsir al-Tarir wa al-Tanwir, 1984: 11/61-62).
ADVERTISEMENT
Ibn Asyur termasuk orang yang berani, meski ia tidak ingin orang lain membenarkan dan memakai pendapatnya tentang di masa sekarang lebih penting memperbanyak orang yang menuntut ilmu dibandingkan yang dipersiapkan untuk jihad. Tetapi lagi-lagi kecendrungan hukum amat berpengaruh pada mufasir ini, namun kepakarannya di bidang bahasa cukup membatu kita memahami bahwa menuntut ilmu itu sangat susah dan sulit sehingga wajar bila ia disandingkan dengan jihad.
Parlukan untuk menuntut ilmu berpergian atau merantau ke tampat jauh sebagaimana disebutkan oleh ayat di atas? Fakhruddin Al-Razi menjawab, bila tidak ada cara lain selain berpergian itu, maka harus dilakukan, pada zaman nabi kejadian ini terjadi, tetapi pensyariatan itu sifatnya dinamis, karena setiap waktu ada perubahan dan ada sesuatu yang baru, jika seseorang dapat belajar di rumah atau didaerahnya maka tidak wajib melakukan perjalanan menuntut ilmu, tetapi ayat ke-122 dari surah al-Taubah [9] menegaskan tentang pentingnya melakukan perjalanan menuntut ilmu, dan dalam pandanganku, ilmu yang berkah dan memberi manfaat itu tidak didapatkan kecuali dengan melakukan perjalanan atau merantau (Tafsir Mafatih al-Ghaib, 1420: 16/171).
ADVERTISEMENT
Memang perpergian untuk menuntut ilmu tidak diwajibkan di zaman yang semua lengkap ini, tetapi tetap saja itu merupakan bagian dari anjuran al-Qur’an yang memiliki hikmah dan sisi positif tersendiri bagi si penuntut ilmu. Barangkali dapat membuat mereka menjadi lebih mandiri tidak tergantung dengan orang lain, lebih keras dalam belajar, dan menambah wawasan serta pengalaman baru karena bertemu dengan orang yang baru di tempat yang baru pula. Jadi, al-Razi lebih menekankan pentingnya memerantau atau berpergian untuk menuntut ilmu.
Di penutup tafsirnya al-Razi menambahkan, ayat ini menjadi dalil tujuan dari belajar dan memahami yakni menyampaikan kebenaran, membimbing orang lain kepada agama, dan menunjuki kepada jalan yang lurus. Ayat ini juga menjadi dalil perintah untuk menuntut ilmu agama, sehingga sewaktu-waktu pulang dapat mengajarkan orang-orang kepada agama yang benar, mengingatkan orang yang jahil, maksiat, dan orang yang tidak tahu untuk menerima agama.
ADVERTISEMENT
Al-Razi memperingatkan setiap orang yang belajar Agama dengan tujuan di atas maka orang tersebut telah berada di jalan yang benar dan lurus. Sementara orang yang belajar agama untuk ditukarkannya dengan dunia maka orang tersebut tergolong orang yang merugi, maka perkerjaannya itu merupakan amal sesat selama hidupnya di dunia, mereka menduga bahwa amal itu merupakan amal terbaik (Tafsir Mafatih al-Ghaib, 1420: 16/172).
Pada bagian terakhir ini Imam al-Razi menekankan pentingnya niat dalam menuntut ilmu dan niat untuk mengajarkan ilmu. Niat menuntut ilmu adalah agar menjadi cahaya penerang bagi orang lain, sebab tidak semua orang berkesempatan memperoleh pendidikan seperti kita. Sedangkan niat untuk mengajarkan ilmu agama bukan ditukarkan untuk kepentingan duniawi, mendapatkan kemewahan dan kekayaan materi, orang yang telah terlena dengan kepentingan ini akan lupa bahwa dirinya berada di jalan yang salah, tetapi dia mengganggap sedang berada di jalan yang benar.
ADVERTISEMENT