Konten dari Pengguna

Tuan Guru H. Sabran Rahmat (1905-1982): Kyai Kharismatik NU di Indragiri Hilir

Arivaie Rahman
Akademisi dan Pegiat Tafsir Nusantara
27 Januari 2021 21:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arivaie Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tuan Guru H. Sabran Rahmat (1905-1982): Kyai Kharismatik NU di Indragiri Hilir
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Tuan Guru H. Sabran bin H. Rahmat merupakan ulama kelahiran Pantai Hambawang, Labuan Amas Selatan, Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan. Tentang tahun kelahiran Tuan Guru Sabran terjadi kontroversi. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beliau dilahirkan pada tahun 1892. Sementara menurut keterangan Muhyiddin (Anak Tuan Guru Sabran) beliau dilahirkan pada tahun 1905 dan wafat berusia sekitar 78 tahun. Peneliti lebih memilih pendapat kedua, karena lebih valid dan bersumber dari keterangan ahli waris.
ADVERTISEMENT
Tuan Guru Sabran mulai menimba ilmu pengetahuan agama di Negara, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Daerah ini merupakan pusat kerajaan Negara Daha pada abad ke-15, sedangkan pada abad ke-19 daerah ini menjadi Distrik Negara yang dikepalai oleh seorang Penghulu. Di Hambawang ini Tuan Guru Sabran telah menjadi tokoh agama yang terkenal, bahkan ia digolongkan sebagai salah satu ulama berpengaruh di Hambawang.
Di Hambawang Tuan Guru Sabran menikah untuk pertema kalinya, namun istrinya meninggal dunia. Kemudian beliau menikah lagi dengan Hj. Imar binti H. Abdul Samad namun tidak memiliki keturunan dan bercerai. Kemudian beliau menikah lagi dengan adik istrinya Hj. Hasanah binti H. Abdul Samad. Pernikahan ini dikarunia sebelas orang anak: 1). Mahmuddin, 2). Mahfuzh Siddiq, 3). Ahmad Khatib, 4). Abdul Halim, 5). Siti Hawa, 6). Abdul Hadi, 7). Habibah, 8). Abdul Hayy, 9). Muhyiddin, 10). Abdul Wahab, dan 11). Ahmad Rayani. Tiga anak pertama Tuan Guru Sabran meninggal ketika masih kecil. Oleh sebab itu, anak keempat Tuan Guru, bernama Abdul Halim (w. 2020) menjadi penerus dan pewaris keilmuan ayahnya. Ia menjadi pegawai di Kementerian Agama kabupaten Indragiri Hilir hingga pensiun.
ADVERTISEMENT
Sekitar tahun 1925-1930-an, Tuan Guru Sabran berangkat menunaikan ibadah haji dari Hambawang ke Tanah Suci Mekah sambil menuntut ilmu selama kurang lebih 3 tahun. Di Mekah ini beliau belajar kepada Syekh Ahmad Badawi seorang ulama Mesir yang mengajar di Mekah. Ia juga konon sempat berguru pada Syekh Ali al-Banjari (1868-1951). Ketika itu Mekah sudah dikuasai oleh ideologi Wahabi, sehingga ruang gerak Ahli Sunnah Wal Jamaah sering terganggu. Bahkan Tuan Guru Sabran sendiri menyaksikan para Askar (polisi Arab Saudi) merampas dan merobek kitab-kitab yang mereka baca.
Sekembali dari ibadah haji den memuntut ilmu, Tuan Guru Sabran merantau dari Hambawang ke Tembilahan Indragiri karena pada saat itu banyak sekali orang-orang Banjar yang bermigrasi mengikuti jejak Tuan Guru Sapat Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari (1867-1939). Tuan Guru Sabran sempat pula menambah ilmu kepada Tuan Guru Sapat di Hidayat. Salah satu kawan dan seniornya ketika itu adalah Tuan Guru H. Rafai Bantalan (1897-1987).
ADVERTISEMENT
Pada pemilu tahun 1955, Tuan Guru Sabran bersama Tuan Guru H. Abdul Samad Umar mencalonkan diri sebagai anggota Konstituante melalui Partai NU (Nahdlatul Ulama). Mereka ketika itu mewakili daerah pemilihan Sumatera Tengah. Di antara lawan politiknya yang berasal dari Indragiri adalah KH. Abdul Hamid Sulaiman (Partai Masyumi), Wan Abdurrahman (Partai Sosialis Indonesia), Tengku Bey (Partai Islam Perti), Abdullah Ali Hamij (Partai PKI), Dr. R. Soetjipto (Partai PNI). Akan tetapi yang terpilih menjadi anggota Konstituante mewakili NU dari Sumatera Tengah adalah H. Syarkawi dari Payakumbuh.
Pada pemilu tahun 1977 dan 1982 Tuan Guru Sabran bergabung dengan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sementara lawan politiknya KH. Abdul Hamid Sulaiman berada di Partai Golkar (Golongan Karya). Pada kampanye tahun 1982 ini Tuan Guru Sabran diminta untuk memandu pembacaan doa di lapangan Jl. Gajah Mada Tembilahan. Timbul keanehan, sebab sejak beliau turun dari rumahnya Jl. H. Abd. Manaf menuju lapangan tempat dilaksanakannya kampanye senantiasa di naungi awan. Ini menjadi salah satu keromah Tuan Guru Sabran yang disaksikan oleh masyarakat Tembilahan, bahkan diceritakan dari generasi ke generasi.
ADVERTISEMENT
Cerita tentang karomah Tuan Guru Sabran yang lain adalah ketika menjelang detik-detik kewafatannya. Beliau seolah-olah tahu bahwa dirinya hendak kembali pada sang Pencipta. Hari rabu, setelah berbuka puasa dan shalat maghrib beliau mengumpulkan anak-anaknya. Beliau berkata dengan Bahasa Banjar: “aku handak bulik” (saya ingin pulang). Setelah berzikir tiga kali, beliau menghembuskan nafas terakhir. Kemudian kedua tangannya bersedekap sendiri seperti orang ingin melaksanakan shalat. Ini membuat anak-anak beliau terutama Abdul Wahab yang menyaksikannya hampir pinsan.
Meski Partai NU telah kembali ke-Khittah 1926 untuk tidak terlibat dalam politik praktis, Tuan Guru Sabran masih tetap konsisten terhadap NU sebagai organisasi Ahli Sunnah wal Jamaah. Beliau menjadi wakil Syuriah NU kabupaten Indragiri Hilir mendampingi Tuan Guru H. Abdul Samad Umar. Sementara ketua Tanfiziyah ketika itu diketuai oleh H. Hadran Zakaria. Tuan Guru Sabran menjabat sebagai wakil ketua Syuriah NU Indragiri Hilir hingga wafat 1982.
ADVERTISEMENT
Tuan Guru Sabran sangat disegani dan memiliki jiwa kharismatik tersendiri, beliau enggan menerima pemberian apapun dari Pemerintah Daerah. Ia sangat teguh pada keilmuan tradisionalis dan ideologi Ahlu Sunnah wal Jamaah. Ia pernah terlibat polemik dengan KH. Abdul Hamid Sulaiman terutama berkaitan persoalan khilafiyah tentang mengumandangkan “Maasyiral muslimin” ketika khatib hendak berkhutbah pada shalat jum’at. Polemik ini berimbas terbelahnya jamaah jum’at di Masjid al-Huda Tembilahan menjadi beberapa masjid, seperti masjid al-Taqwa, al-Ghulam, dan al-Muttaqin.
Semasa hidupnya, Tuan Guru Sabran mengajar di Madrasah Nahdlatul Ulama (NU) Tembilahan dan membuka pengajian kitab di rumahnya. Pengajian atau “babacaan” ini dilaksanakan pada hari pagi Rabu untuk perempuan, sedangkan untuk laki-laki pada pagi Senin dan Kamis. Tuan Guru Sabran juga memberikan pengajian khusus pada malam hari tetapi dengan murid yang terbatas. Sayangnya, tidak diketahui secara pasti tentang kitab-kitab yang beliau ajarkan dan begitu pula tentang karya tulis beliau.
ADVERTISEMENT
Pengajian Tuan Guru Sabran tersebut berlangsung di rumahnya di Jl. Soedirman sebelah hilir dari Masjid al-Huda Tembilahan. Rumah ini mengalami kebakaran tahun 1968, kemudian beliau beserta keluarganya pindah ke Lr. Ampera selama 3 tahun dan terakhir tahun 1971 beliau menetap di Jl. H. Abdul Manaf Tembilahan. Pengajiannya tadi tetap berlangsung mengikuti tempat kediaman beliau.
Di antara rekan seperjuangan Tuan Guru Sabran mengembangkan NU di Indragiri Hilir adalah H. Sulaiman Masri, Tuan Guru H. Abdul Samad Umar, KH. Abdul Jalil Makruf, H. Mukhtar Awang (mantan Ketua MUI Indragiri Hilir), KH. Sa’dullah Hudhari (pengasuh Pondok Pesantren al-Baqiyatussa’diyah Tembilahan). Sementara murid yang menjadi penerus perjuangan Tuan Guru Sabran antara lain adalah H. Umar Baqi parit 7 Tembilahan.
ADVERTISEMENT
Tuan Guru Sabran wafat setelah shalat maghrib, Rabu 22 Ramadhan 1402 bersamaan dengan 13 Juli 1982. Tuan Guru Sabran pernah berwasiat kepada anak-anaknya agar seluruh anggota keluarga di makamkan di tanah belakang rumahnya yang masih kosong. Pemakaman keluarga itu pertama kali ditempati oleh anaknta Abdul Hay yang wafat pada tahun 1972. Kemudian baru disusul oleh Ayahnya, Tuan Guru Sabran tahun 1982. Setelah itu, tahun 1984 istrinya menusul di makamkan di tempat tersebut. Makam Tuan Guru Sabran ini pada tahun 2015 mendapat bantuan pemugaran sebagai salah satu situs cagar budaya dari pemerintah melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) kabupaten Indragiri Hilir.
Sumber:
BPCB Sumbar, Makam H. Sabran Rahmad Indragiri Hilir Riau, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id, diposting 13 Juli 2017.
ADVERTISEMENT
Wawancara Muhyiddin (anak Tuan Guru Sabran, kelahiran 1957), pada 7 Januari 2021.