Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pilpres 2024, Ke Mana Arah Dukungan Kelompok Intoleran?
4 September 2023 16:44 WIB
·
waktu baca 16 menitTulisan dari Arjuna Putra Aldino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jagad politik kita hari ini diramaikan oleh langkah politik Cak Imin yang sebelumnya selama hampir satu tahun bergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang mengusung Prabowo Subianto sebagai calon Presiden. Namun karena proposal tunggal PKB yang mencalonkan Cak Imin sebagai Cawapres tak kunjung digubris, ditambah diubahnya nama koalisi (KKIR) yang sudah berumur nyaris satu tahun hanya dalam hitungan jam diubah menjadi Koalisi Indonesia Maju, tentu bagi Cak Imin ada komitmen yang dilanggar yang sudah ia bangun nyaris satu tahun.
ADVERTISEMENT
Masuknya anggota baru ke dalam koalisi (Golkar dan PAN) tentu akan menambah daftar antrian peminat kandidat yang ingin maju sebagai cawapres. Apalagi Partai Amanat Nasional juga bersikukuh mengusulkan nama Erick Thohir sebagai cawapres. Sedangkan Cak Imin bersama PKB telah bersabar dan setia menunggu dalam waktu yang tak sedikit.
Semua dinamika ini tentu sangat menjadi pertimbangan bagi Cak Imin. Di lain sisi, tren perolehan suara PKB, partai yang dipimpin oleh Cak Imin terus mengalami kenaikan. Dibanding tren suara dua partai anggota baru koalisi Prabowo (Golkar dan PAN) yang cenderung mengalami penurunan. Hasil survei Litbang Kompas pada 27 Juli-7 Agustus 2023 menunjukkan, elektabilitas Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berada di posisi tiga besar, menyalip Partai Golkar dan Partai Demokrat. Elektabilitas PKB naik 2,1 persen dibandingkan hasil survei pada Mei 2023.
ADVERTISEMENT
Sedangkan survei mencatat suara Golkar terus melorot di posisi keempat dengan perolehan 7,2 persen. Padahal pada pemilu 2019 lalu, perolehan kursi Golkar di DPR berada pada urutan kedua setelah PDIP. Bahkan PAN hanya memperoleh 3,4 persen, terpelanting dari ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.
Dengan tren suara PKB yang terus mengalami kenaikan maka hal yang wajar PKB mengajukan proposal dengan menjadikan Ketua Umumnya sebagai cawapres. Dalam kalkulasi politik, akan aneh apabila proposal PKB dikalahkan dengan keinginan PAN yang notabene hanya meraih suara 6,84% pada pemilu 2019 yang bersikeras mencalonkan Erick Thohir sebagai cawapres. Walau di sejumlah sigi elektabilitas Erick Thohir mengalami kenaikan.
Namun PKB memiliki competitive advantage yang belum tentu dimiliki oleh partai dan kandidat cawapres lain, dimana PKB menguasai daerah yang cukup menentukan dalam pertarungan pilpres yaitu Jawa Timur yakni memperoleh 4,19 juta suara pada pemilu 2019 dan sekaligus menjadi lumbung suara utama PKB secara nasional.
ADVERTISEMENT
Nasi telah menjadi bubur, apa mau dikata proposal PKB yang mengusulkan Cak Imin sebagai cawapres tak kunjung disahkan oleh Prabowo dan Partai Gerindra. Namun disia-siakannya Cak Imin dan PKB justru menjadi peluang bagi Surya Paloh dan Partai Nasdem. Partai Nasdem yang sudah sejak lama mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden sangat menyadari kekuarangan eloktoral calon yang diusungnya.
Dalam sejumlah sigi, elektabilitas Anies tertinggal jauh di Jawa Timur dan lemah di pemilih nahdliyin. Maka tak lama, pucuk dicinta ulam pun tiba. Cak Imin segera mengambil langkah “kancil” yang mengejutkan banyak orang. Langkahnya tak terduga dan segera mengubah peta politik nasional. Bahkan menimbulkan keriuhan serta hiruk pikuk drama politik nasional saat ini.
ADVERTISEMENT
Duet Anies-Cak Imin bukan hanya mengagetkan, namun juga menyimpan kerumitan tersendiri. Anies yang dikenal didukung oleh kalangan islam-modernis yang memiliki ekspresi politik dan keagamaan yang berbeda dengan Cak Imin yang berakar dari kalangan nahdliyin tentu memiliki pekerjaan rumah yang tak mudah yakni mengkonsolidasikan basis sosial-politik yang berbeda dalam ekpresi politik dan keagamaan.
Namun yang menjadi pertanyaan, kemanakah arah dukungan kelompok intoleran yang kerap menggaungkan politik identitas dan NKRI Bersyariah pada Pilpres 2024?
Dukungan yang menyebar kedua poros?
Selama ini, dalam benak publik yang mendapatkan stigma “Bapak Politik Identitas” adalah Anies Baswedan. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017 yang diwarnai dengan kasus penistaan agama yang dialami oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan aksi massa 212 yang menarasikan politik identitas dalam kaitannya kontestasi Pilkada DKI 2017.
ADVERTISEMENT
Bahkan kunjungan Anies ke markas FPI pada Januari 2017 juga bisa dilihat sebagai sebuah pengukuhan bahwa kelompok pimpinan Rizieq Shihab semakin diperhitungkan sebagai basis pemilih Anies jelang Pilkada DKI 2017. Rentetan peristiwa ini sangat berkontribusi besar pada kemanangan pasangan Anies-Sandi dalam kontestasi Pilkada DKI 2017.
Bahkan dukungan FPI dan barisan kelompok intoleran dilegitimasi oleh pernyataan Prabowo Subianto usai kemenangan pasangan Anies-Sandi dalam Pilkada DKI 2017 yang juga diusung oleh Partai Gerindra. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyampaikan ucapan terima kasih kepada sejumlah petinggi ormas islam antara lain pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab, Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama atau GNPF MUI Indonesia Bachtiar Nasir.
Menurut Prabowo, para ulama tersebut telah memberikan dukungan kepada pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, sehinga berhasil memanangi Pilkada DKI 2017.
ADVERTISEMENT
Pada Juni 2022, ratusan orang yang mengatasnamakan Front Persaudaraan Islam (FPI) Reborn mendeklarasikan dukungannya kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Deklarasi tersebut digelar secara unjuk rasa di Patung Kuda, Jakarta. Namun deklarasi ini dibantah oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Front Persaudaraan Islam yang menegaskan bahwa organisasinya belum menentukan sikap apapun terkait pemilihan presiden pada 2024.
Ketua Bidang Advokasi DPP FPI Aziz Yanuar mempertanyakan klaim mengatasnamakan FPI Reborn atas dukungan terhadap Anies Baswedan pada pilpres dua tahun mendatang. Yanuar mengatakan secara resmi DPP FPI belum menentukan sikap apapu perihal peristiwa politik 2024 nanti dan turunannya. Meski demikian, ujar Yanuar, FPI jelas memiliki beberapa kriteria yang tegas untuk 2024.
ADVERTISEMENT
Dukungan dari sejumlah ormas intoleran bukan hanya mengalir kepada Anies Baswedan. Namun juga mengalir deras kepada Prabowo Subianto. Wakil Sekjen PA 212 Novel Bamukmin menyebut Prabowo Subianto sebagai salah satu sosok yang cocok memperjuangkan suara umat Islam pada Pilpres 2024.
Bahkan organisasi sayap (onderbouw) Partai Gerindra, Gerakan Muslim Indonesia Raya (Gemira) mendekati sejumlah tokoh PA 212 untuk mendukung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Ketua Umum PP Gemira Irfan Yusuf Hasyim menyebut 10 orang anggota PA 212 tetap mendukung perjuangan Prabowo. Ia berharap dukungan tetap berlanjut hingga 2024.
ADVERTISEMENT
Alasan PA 212 mendukung Prabowo Subianto yaitu karena konsistensi sejumlah politisi dan kader Partai Gerindra untuk mengawal kasus KM 50 , kasus baku tembak di KM 50 yang menewaskan 6 laskar FPI dan 1 polisi.
ADVERTISEMENT
Sejumlah politisi dan kader Partai Gerindra aktif mengawal kasus KM 50, diantaranya adalah anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Romo Muhammad Syafii menyatakan bahwa misteri kasus KM 50 jauh lebih hebat daripada kasus pembunuhan Brigadir Yosua alias Brigadir J. Pernyataan ini disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Rabu, 24 Agustus 2022.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi III DPR RI fraksi Gerindra Desmond Mahesa juga dengan keras menyentil kasus KM 50, Desmond menuduh Polri terkesan menutup-tutupi kasus KM 50.
Bukan hanya mengkritik Polri, Desmond juga kembali mempertanyakan kasus KM 50 saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Desmond menyentil Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Mahfud MD tentang peran lembaganya di kasus penembakan laskar FPI di KM 50.
ADVERTISEMENT
Bahkan politisi Partai Gerindra, Fadli Zon , menjadi salah satu tokoh yang turut menjemput jenazah anggota Laskar FPI yang tewas dalam insiden KM 50. Dalam keterangannya, Fadli Zon mengungkap, ia bersama dengan Anggota DPR RI Komisi 3, Muhammad Syafii beserta tim kuasa hukum dan keluarga mendatangi RS Polri pada Selasa, 8 Desember 2020. Ia pun mengajak untuk melaksanakan shalat ghaib bagi 6 orang yang meninggal dalam bentrok yang terjadi dengan petugas kepolisian tersebut.
Bukan hanya itu, secara khusus Fadli Zon membahas secara detail dan menggugat kasus KM 50 dalam akun YouTube miliknya , bersama Neno Warisman menurut dia telah terjadi ketidakadilan dalam kasus KM 50. Dengan keras ia mencurigai adanya rekayasa dalam kasus KM 50 yang mirip dengan kejanggalan kasus Brigadir J.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam podcast ini, Fadli Zon menyampaikan bahwa upayanya menjemput jenazah Laskar FPI adalah menjalankan pesan dari pemimpin besar FPI Habib Rizieq Shihab untuk membantu proses percepatan pengambilan jenazah para korban perisitiwa Km 50 di Rumah Sakit Polri. Video podcast ini tayang dalam dua bagian yang secara khusus membahas kasus KM 50 yang diupload pada 25 September 2022.
Namun Fadli Zon justru membenarkan isi ceramah Habib Bahar tersebut. Dan kesaksian Fadli Zon ini menjadi keterangan yang meringankan terdakwa Bahar bin Smith pada persidangan dugaan penyebaran berita bohong di Pengadilan Negeri (PN) Bandung.
ADVERTISEMENT
Bahkan ketika pemerintah membubarkan FPI, Fadli Zon membantah bahwa Partai Gerindra mendukung kebijakan pemerintah yang membubarkan FPI. Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengungkapkan bahwa partainya mendukung kebijakan yang diambil Presiden Jokowi untuk menjaga persatuan Indonesia.
Menurutnya, sikap tegas diperlukan bagi kelompok intoleran yang membahayakan masa depan NKRI. Namun Fadli Zon membantah pemberitaan yang menyebut bahwa Partai Gerindra mendukung pemerintahan Joko Widodo dalam membubarkan organisasi yang dinilai bisa memecah bela NKRI. Fadli Zon mengatakan, tidak ada keputusan Partai Gerindra yang mendukung pembubaran organisasi tanpa proses pengadilan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, ketika Imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab pulang ke Indonesia, Fadli Zon berkunjung ke kediaman pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab di Petamburan, Jakarta Pusat. Hal itu diungkapkan Fadli melalui akun Twitternya, @fadlizon;
Ketika berkunjung ke kediaman Imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab, Fadli Zon mengungkapkan rasa bahagianya melihat sang Imam ini dapat kembali pulang ke Indonesia. Fadli Zon menceritakan berbagai hal mengenai usaha dan rintangan yang dihadapi sang Imam saat hendak kembali ke Tanah Air.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Melihat hubungan Prabowo serta Partai Gerindra dengan sejumlah kelompok intoleran yang erat dan intim ini maka sulit untuk kita merasionalisasi bahwa Prabowo telah menyesal mendapat dukungan dari kelompok intoleran seperti yang disampaikan Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie. Pernyataan Grace ini bisa dikatakan mengarah pada “pembodohan publik” karena pada faktanya berdasarkan rekam jejak digital ada upaya dari Prabowo Subianto melalui Partai Gerindra untuk tetap menjaga relasi yang harmonis dengan sejumlah kelompok intoleran.
ADVERTISEMENT
Bahkan upaya itu terus berjalan saat ketika Prabowo sudah menjadi Menteri Pertahanan dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Hal ini wajar mengingat hubungan Prabowo dengan sejumlah kelompok “islam-politik” bukanlah hubungan yang dibangun kemarin sore. Melainkan hubungan yang telah lama terjalin dalam lintasan sejarah. Hubungannya dengan kelompok islam-politik adalah bagian dari sejarah seorang Prabowo Subianto itu sendiri.
Prabowo dan Islam Politik: Mesra Dalam Lintasan Sejarah
Dalam Politik syari'at Islam dari Indonesia hingga Nigeria karya Taufik Adnan Amal menyebutkan FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekeliling Soeharto. Di masa Prabowo Subianto aktif di TNI, FPI diduga sebagai salah satu binaan menantu Soeharto itu. Pertemuan Prabowo dengan kelompok islam-politik bukan semata-mata pertemuan taktis dalam sekejap. Namun pertemuan keduanya terdapat kesamaan perangai.
ADVERTISEMENT
Hal ini diungkapkan oleh Jusuf Wanandi dalam memoar politiknya yang berjudul Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998, yang menulis bagaimana Prabowo mengintimidasi CSIS dengan mengirim ratusan demonstran ke kantor pusat lembaga tersebut. Wanandi juga menulis bahwa Prabowo menyalahkan pengusaha Tionghoa peranakan atas krisis yang sedang terjadi. Lebih jauh lagi, Prabowo menuduh pengusaha-pengusaha tersebut melakukan sabotase ekonomi untuk menjatuhkan Soeharto. Tuduhan Prabowo ini bukan tanpa alasan.
Sebelum krisis keuangan tahun 1997, Hashim Djojohadikusumo memiliki sejumlah bank, di antaranya Bank Pelita, Bank Industri, Bank Papan Sejahtera, dan Bank Niaga. Krisis moneter tahun 1997 mendesak nasabah bank-bank tesebut untuk mengungsikan uang mereka ke Singapura dan Hongkong. Bank-bank yang dimiliki Hashim merasakan imbasnya. Resesi ekonomi menghantam keluarga Djojohadikusumo dengan telak. Prabowo melihatnya sebagai konspirasi internasional yang melibatkan kaum Tionghoa peranakan.
ADVERTISEMENT
Gayung bersambut. Pada 8 Februari 1998, sejumlah tokoh, di antaranya Ahmad Soemargono (KISDI) dan Kiai Haji Cholil (MUI dan DDII), berkumpul di masjid Al-Azhar. Kedua tokoh tersebut memiliki pandangan yang serasi dengan Prabowo. Selain ikut mengutuk Sofyan Wanandi dan CSIS, salah satu pembicara dalam pertemuan tersebut juga menuduh peranakan Tionghoa dan kelompok non-muslim sebagai biang keladi kehancuran Indonesia. Sementara itu pembicara lain menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata dan Islam harus bersatu untuk mengatasi masalah ini. Dalam Buku Putih Prabowo hal ini digambarkan demikian:
ADVERTISEMENT
Prasangka rasial semacam ini juga terjadi saat perhelatan Pilpres 2014 yang dimotori oleh Tabloid Obor Rakyat yang menghembuskan isu “Jokowi sebagai anak pengusaha Singapura keturunan Tionghoa”, "Putra Cina asal Solo", "Ayah Jokowi adalah Oey Hong Liong", "Status Perkawinan ibunda Jokowi dengan Pey Hong Liong?".
Begitu juga saat Pilpres 2019, prasangka rasial tentang Tionghoa, Cina dan Aseng kembali mencuat dalam cakupan yang lebih luas. Dalam salah satu berita, Jokowi dituding menginginkan warga Republik Rakyat Cina datang ke Indonesia. Salah satu berita yang sudah dimanipulasi menyebut “Atas Keinginan Jokowi, China Segera Kirim 3 Juta Warganya ke Indonesia.”
ADVERTISEMENT
Karya Tahir Abbas dan Sadek Hamid yang berjudul Political Muslims: Understanding Youth Resistance in a Global Context mengungkapkan bahwa Prabowo adalah Jenderal yang mengambil keuntungan dari naik daunnya faksi ABRI Hijau dalam pertarungan perebutan pengaruh dalam dinamika politik Orde Baru.
Istilah ABRI Hijau mengacu pada “tentara yang berasal dari subkultur Islam dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam seperti ulama, kyai dan pemimpin ormas Islam”. Dengan membentuk Center for Policy and Development Studies (CPDS), yang dimaksudkan sebagai lawan CSIS, Prabowo aktif mengkonsolidasikan kekuatan islam-politik yang tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Dewan Dakwah Islamiyah (DDI).
ADVERTISEMENT
Lebih spesifik, Carool Kersten dalam Renewal, Reactualization,and Reformation: The Trajectory of Muslim Youth Activism in Indonesia, mengungkapkan Prabowo memanfaatkan KISDI dan DDI untuk kepentingan ekonomi-politiknya, Prabowo dengan cara yang disebut Carool Kersten dengan istilah “divide-and-rule” (pecah-belah dan kuasai) dengan menyebarkan perselisihan pendapat di kalagan umat Islam, membiarkan menggunakan kekerasan dengan menggunakan preman dan massa jalanan yang direkrut dari masyarakat miskin perkotaan, kemudian dapat ia gunakan untuk mencapai tujuannya sendiri.
Carool Kersten menyebut DDI aktif dalam jaringan dakwah internasional yang memiliki jejaring dengan Jamaah Tabligh Pakistan, Hizbut Tahrir yang berasal dari Yordania, dan Darul Arqam Malaysia. Belakangan, berdasarkan temuan Zachary Abuza dalam risetnya yang berjudul Funding Terrorism in Southeast Asia: The Financial Network of Al Qaeda and Jemaah Islamiya menemukan bahwa DDI merupakan bagian dari jejaring konsolidasi pendanaan dan mobilisasi perekrutan jaringan terorisme global.
ADVERTISEMENT
Melihat rekam sejarah ini, kita perlu mengambil banyak pelajaran untuk menatap masa depan. Walau tak menutup kemungkinan di era media sosial saat ini orang dengan mudah melakukan mimikri. Namun mengutip apa diakatakan Mahatma Gandhi, “remember that all through history, there have been tyrants and murderers. And, for a time, they seem invincible. But in the end, they always fall. Always”. Ingatlah bahwa sepanjang sejarah, ada para tiran dan para pembunuh. Dan, untuk sementara waktu, mereka seperti tak terlihat. Tetapi pada akhirnya, mereka selalu jatuh. Selalu, Mahatma Gandhi.