Konten dari Pengguna

Amerika Serikat dan China: Persaingan Dua Kekuatan Ekonomi Dunia

Muhammad Arkaan Satria Utama
Management Student at Syarif Hidayatullah State University, Jakarta
16 September 2024 17:30 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Arkaan Satria Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Source: Freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menyaksikan kebangkitan dua kekuatan ekonomi besar yang mendominasi panggung global, Amerika Serikat dan China, kedua negara ini memiliki persaingan dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi dan teknologi. Hubungan mereka sangat kompleks, dengan konflik di beberapa bidang dan kerja sama di bidang lain. Persaingan ini bukan hanya siapa yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar tetapi juga siapa yang akan menjadi pemimpin dunia di masa depan. Amerika Serikat menghadapi tantangan besar dari China, negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, Amerika Serikat (AS) merupakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Bahkan negara ini dianggap sebagai pusat keuangan dunia, dengan Wall Street sebagai representasi visual kapitalisme Paman Sam di era kontemporer. Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa Amerika seperti Amazon, Google, Microsoft, Apple, Visa, Meta, JPMorgan, hingga Tesla mendominasi pasar secara global, menciptakan ekosistem yang mempengaruhi miliaran orang. Kedigdayaan ekonomi AS pasca-Perang Dunia II menjadi latar belakang faktor mengapa AS akhirnya keluar menjadi pusat keuangan global. Bisa dibilang, kekuatan finansial menjadi kunci soft power Paman Sam. Berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) 2024 yang diperkirakan oleh International Monetary Fund, ekonomi AS mencapai US$28,78 triliun, di atas China yang berada di peringkat kedua sebesar US$18,53 triliun.
Source: International Monetary Fund
Selain itu Dolar AS juga merupakan mata uang paling populer di dunia. Hingga kuartal-IV 2023 lalu, bank sentral di dunia menyimpan cadangan mereka sebanyak 58,4 persen dalam bentuk dolar AS. Sebagian besar cadangan tersebut berbentuk tunai atau obligasi seperti US Treasury. Hal ini menjadikan Dolar AS menjadi mata uang yang paling dominan dan memainkan peran internasional yang paling signifikan sebagaimana diukur dari penggunaan cadangan internasional dan dimensi lain yang relatif terhadap pangsa AS dalam PDB global. Penggunaan dolar secara global selama dua dekade terakhir menunjukkan peran yang dominan dan relatif stabil. Tingkat indeks penggunaan mata uang internasional juga menunjukkan bahwa dolar tetap stabil pada nilai sekitar 70 sejak 2010, jauh di atas semua mata uang lainnya. Euro memiliki nilai tertinggi berikutnya sekitar 23, dan nilainya juga tetap cukup stabil. Sementara penggunaan internasional renminbi China telah meningkat selama 20 tahun terakhir, ia hanya mencapai tingkat indeks sekitar 3, bahkan tetap di belakang yen Jepang dan pound Inggris, yang masing-masing sekitar 7 dan 6.
Source: International Monetary Fund
ADVERTISEMENT
Setelah kemerdekaannya pada tahun 1949, ekonomi China sangatlah tertutup. Tidak ada investasi dari negara lain karena kepemimpinan anti-kapitalisme Presiden Mao Zedong. Namun, ketika Deng Xiaoping mengambil alih kekuasaan Mao Zedong pada tahun 1980-an, terjadi pergeseran besar. Pertama, aspek ekonomi, Presiden Deng mengundang ratusan pengusaha dan investor dari luar negeri untuk berinvestasi di China. Karena kebijakan tersebut, ekonomi China tumbuh rata-rata 10% per tahun. Kedua, aspek pendidikan, China mengirim ratusan ribu anak-anak mudanya untuk belajar di negara lain, khususnya ke Amerika Serikat. Ketiga, aspek politik, China memperbaiki hubungan dengan negara lain alias sangat menghindari konflik.
Tetapi pertumbuhan ekonomi China telah melambat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut International Monetary Fund, penurunan ekonomi China diperkirakan akan berlanjut selama empat tahun ke depan. Karena itu, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu kini menghadapi berbagai masalah, termasuk populasi yang menua dengan cepat, tingkat pengangguran yang tinggi, dan juga krisis properti. Menurut International Monetary Fund, pertumbuhan ekonomi China tahun ini akan turun menjadi 4,6 persen. Ini turun dari pertumbuhan 5,2 persen pada tahun 2023 dan akan turun lagi menjadi 3,4 persen pada tahun 2028. Namun disatu sisi pemerintah kini sedang berfokus untuk mengembangkan sektor teknologi tinggi, seperti kecerdasan buatan, energi bersih, dan teknologi 5G. Ambisi China untuk menjadi pemimpin teknologi global merupakan ancaman langsung terhadap dominasi teknologi Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Perang teknologi AS-China sudah terlihat sejak beberapa tahun lalu. AS sering melontarkan pernyataan bahwa teknologi buatan China bisa membahayakan negaranya. Huawei, misalnya, yang telah menjadi pemimpin global dalam teknologi 5G, dengan 91 kontrak komersial 5G dan lebih dari 600.000 base station 5G yang telah dikirim hingga 2020. Executive Director of the Board, sekaligus President Carrier BG Huawei, Ryan Ding, menyampaikan bahwa perkembangan 5G saat ini telah mencapai babak baru yang melampaui ekspektasi semua kalangan, terutama terkait dengan dengan kian masifnya penggelaran, pertumbuhan ekosistem yang pesat, hingga dihadirkannya pengalaman-pengalaman baru di ranah 5G. Meskipun demikian, Huawei menghadapi tekanan dan sanksi dari pemerintah AS yang khawatir akan potensi ancaman terhadap keamanan nasional mereka.
ADVERTISEMENT
Di bidang kecerdasan buatan, China telah membuat kemajuan signifikan. Menurut laporan dari Stanford University's AI Index 2021, China telah melampaui AS dalam jumlah publikasi AI yang disitasi, dengan 20,7% dari semua publikasi AI yang disitasi secara global berasal dari China, dibandingkan dengan 19,8% dari AS.
Source: Stanford University's AI Index 2021
Dalam hal komputasi kuantum, meskipun AS masih dianggap sebagai pemimpin global, China telah membuat kemajuan signifikan. Pada tahun 2021, tim peneliti China mengklaim telah mencapai "Keunggulan Kuantum" kedua dengan komputer kuantum Zuchongzhi mereka, yang dianggap dapat mengatasi masalah komputasi yang terkenal tetapi sangat kompleks kira-kira 100 hingga 1.000 kali lebih sulit daripada yang sebelumnya diselesaikan oleh komputer kuantum Google Sycamore.
Akar dari ketegangan perdagangan kontemporer dapat ditelusuri kembali ke awal abad ke-21, ketika China mulai bangkit sebagai kekuatan manufaktur global. Masuknya China ke World Trade Organization (WTO) pada tahun 2001 menandai titik balik penting, membuka pintu bagi negara tersebut untuk berpartisipasi lebih aktif dalam perdagangan internasional. Dalam dua dekade berikutnya, China mengalami pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan rata-rata pertumbuhan PDB tahunan sekitar 9% dan hampir 800 juta orang telah keluar dari kemiskinan antara tahun 2000 sampai 2021 , menurut data World Bank.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan pesat China ini bagaimanapun disertai dengan meningkatnya kekhawatiran di Amerika Serikat tentang praktik perdagangan yang tidak adil, pencurian kekayaan intelektual, dan manipulasi mata uang yang diduga dilakukan oleh China. Kekhawatiran ini mencapai puncaknya pada tahun 2018, ketika pemerintahan Trump memulai apa yang kemudian dikenal sebagai "Perang Dagang" dengan China, menerapkan tarif pada barang-barang China senilai ratusan miliar dolar.
Menurut laporan dari Peterson Institute for International Economics, pada puncak perang dagang, tarif rata-rata AS pada impor China melonjak dari 3,1% pada awal 2018 menjadi 19,3% pada awal 2020. China merespons dengan tindakan balasan yang serupa, meningkatkan tarif rata-rata pada barang-barang AS dari 8% menjadi 21,3% selama periode yang sama.
Source: Peterson Institute for International Economics
Secara keseluruhan, perang dagang berlangsung dalam lima tahap antara tahun 2018 sampai 2022. Enam bulan pertama tahun 2018 hanya menampilkan peningkatan tarif yang moderat. Pada tahap kedua yang berlangsung pada bulan Juli hingga September 2018 mengakibatkan peningkatan tarif yang tajam di kedua belah pihak dengan tarif rata-rata AS yang meningkat dari 3,8 persen menjadi 12,0 persen, dan tarif rata-rata China meningkat dari 7,2 persen menjadi 18,3 persen. Pada tahap ketiga yang berlangsung pada bulan September 2018 hingga Juni 2019 terjadi sedikit perubahan pada tarif. Dari Juni hingga September 2019, pada tahap keempat ini serangkaian kenaikan tarif lainnya dimulai. Pada tahap lima saat ini, dan meskipun ada perjanjian tahap satu, tarif antara kedua negara tetap tinggi dan merupakan hal yang biasa.
ADVERTISEMENT
Persaingan ekonomi antara Amerika Serikat dan China telah mengubah lanskap ekonomi global dan akan terus menjadi faktor penentu dalam pembentukan tatanan ekonomi dunia di masa depan. Meskipun persaingan ini membawa risiko konflik dan ketegangan, ini juga menawarkan peluang untuk inovasi dan kemajuan global. Kedua negara memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. AS memiliki keunggulan dalam inovasi teknologi tinggi, sistem keuangan yang maju, dan soft power yang kuat. China, di sisi lain, memiliki keuntungan dalam hal ukuran pasar, kapasitas manufaktur, dan kemampuan untuk melaksanakan kebijakan jangka panjang dengan cepat.
Pada akhirnya, hasil dari persaingan ekonomi AS-China akan bergantung tidak hanya pada kekuatan ekonomi absolut, tetapi juga pada kemampuan masing-masing negara untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi, mengatasi tantangan sosial internal, dan membangun aliansi global. Bagaimana kedua negara mengelola hubungan mereka dan mengatasi tantangan bersama akan memiliki implikasi mendalam bagi tatanan ekonomi global di abad ke-21.
ADVERTISEMENT