Pulanglah Nak, Bapak Merindukanmu...

Konten dari Pengguna
25 Maret 2018 10:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ariful Amar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pulanglah Nak, Bapak Merindukanmu...
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pulanglah Nak, Bapak Merindukanmu...
Bapak saya tidak pernah mengucapkan kata-kata itu, karena beliau bukan orang yang romantis apalagi lembut, termasuk anti mengirim SMS. Beliau mendidik dengan keras, sekeras kehidupan yang dijalaninya, benar sekali seorang Bapak mengajarkan realitas.
ADVERTISEMENT
Terakhir saya pulang, bulan oktober tahun lalu. Terasa sebentar bagi seorang anak yang merantau, pergi dari rumah sudah hampir 13 tahun. Namun siapa sangka, terasa lama bagi seorang Bapak yang merindukan anaknya. Apalagi semua anaknya telah hampir dewasa, mulai menemukan kehidupannya masing-masing.
Akhir tahun 2017, nomor ponsel saya yang tersimpan di ponsel bapak hangus akibat tidak pernah diisi pulsa. Jangankan menelpon beliau, memberi kabar saja hampir tidak pernah. Saya merasa menjadi orang yang paling hina, mulai melupakan asal usulku, jati diriku. Setiap kali mendapat kabar bapak, bukan dari saya yang menanyakan, tapi beliau yang menelpon duluan. Sudah cukupkan saya ini disebut anak tak tau diri. Seoalah-olah kesibukan ini itu kesana kemari, lebih dari segalanya. Saya akui itu salah besar, jangan sampai suatu saat Beliau sudah tiada saya baru menyadarinya. Ya Allah, selamatkan saya dan ampuni dosa kedua orang tuaku.
ADVERTISEMENT
21 Maret 2018, di tengah suasana crowded pekerjaan saya bertekad untuk segera pulang ke rumah. Awalnya berat untuk ninggalin jogja sementara waktu, padahal sore tanggal 20 Maret sudah pesan tiket travel untuk pulang. Apa daya, kepala pusing dan harus istirahat semalam. Maka pagi harinya baru bisa mulai perjalanan ke Rumah, daerah Batang Jawa Tengah jarak tempuh 5 jam dari Yogya.
Siang harinya sekitar jam 12.30 sudah sampai rumah, padahal sepanjang jalan pusing bukan kepalag nyaris muntah-muntah juga. Saya mengetuk pintu, dan ternyata Bapak di rumah. Sambutan beliau hampir mirip orang marah-marah (di paragraf awal sudah saya sebutkan, beliau bukan pujangga). Beliau menanyakan mengapa ditelpon tidak bisa, termasuk nomor adikmu kalau ditelpon tidak diangkat. Saya jawab kalau nomor hangus dan minta maaf.
ADVERTISEMENT
Walau Berat, Pulang..
Beliau marah bukan tanpa alasan, itulah ungkapan kekecewaan seorang Bapak yang merindukan anaknya. Memang jika rindu sedang membuncah, hanya orang yang dirindukan yang dapat mengobatinya. Berbulan-bulan mungkin rasa rindu itu menggumpal hingga lambat laun menjadi kemarahan. Setiap Bapak menginterpretasikan "Pulanglah Nak, Ayah rindu..." dengan caranya masing-masing sesuai karakternya. Itulah Bapakku, lelaki hebat dalam hidupku. Dan yang terpenting Bapakku bukan Dilan, karena pasti akan dilanjutkan "Rindu itu berat, biarkan ikut AFI Indosiar saja".
Setelah sekilas nampak marah, berikutnya terasa hangat obrolan antara anak yang nyaris dewasa dan Bapaknya. Obrolan tentang kehidupan anaknya di rantau, beliau begitu bahagia saat mendengar anaknya sudah menyandang status sarjana. Sarjana yang menurutku sangat istimewa karena ditempuh 13 tahun, angka 13 bukan dari durasi lama kuliah. Namun durasi berproses di Yogyakarta setelah melewat jembatan kelok sembilan, bukit barisan, menoreh, merapi merbabu (itu lebay).
ADVERTISEMENT
Ada ekspresi yang sumringah ketika anak kedua yang cewek juga akan diwisuda bulan mei. Saya yakin setelah ini, semua orang akan tahu kalau kedua anaknya sudah sarjana bahkan anak pertamanya akan kuliah lanjut.
Siang itu saya gunakan menghabiskan waktu bersama Bapak, pergi ke rumah nenek dan saudara jauh yang sedang sakit. Naik motor bersama Bapak, menjadi momen yang sangat penting buat saya, menjadi penyuntik semangat baru.
As You Know, Curcolnya Orang Tua bikin anak syok kalau mendengarnya.
Sesampai di rumah saudara jauh yang sakit, tiba-tiba ada anaknya saudara yang sakit itu (seumuran dengan Bapak). Mengungkapkan uneg-unegnya tentang anaknya yang juga terlalu sibuk dengan pekerjaanya, bahkan untuk pulang saja sangat berat. Bapak juga menimpali bahwa ketika anak masih kecil orang tua harus sabar. Begitu juga ketika sudah besar dan mandiri, orang tua tetap harus sabar dan sadar bahwa posisinya kini tidak lebih penting dari pekerjaan sang anak.
ADVERTISEMENT
Sumpah, saya syok dengan percakapan yang baru saja terjadi. Dalam hatiku berbisik, "anak macam apa saya ini" pulang kok harus menunggu Bapak yang rindu, berarti saya tidak rindu bapak, kurang lebih begitu alur logikanya.
Pertemuan hari itu yang singkat, karena malam harinya saya harus kembali ke Yogya. Mungkin menjadi beribu makna bagi Bapak yang awet muda namun sudah mulai ada keriput yang muncul.
Bahkan sebelum saya pulang, Bapak rela menuggui sejak 20.30 sampai 23.30 Travelnya tiba di Pinggir Pantura. Kurang bukti apalagi, cinta Bapak yang begitu besar namun saya sendiri jarang menyadarinya.
Titip rindu buat Bapak,