Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Politik Hijau atau Proteksionisme Terselubung? Kritik Uni Eropa terhadap Sawit
30 Desember 2024 16:30 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Arlinta Damasita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dilansir melalui info sawit (2018), Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit seluas sekitar 14,03 juta hektar, dengan produksi mencapai sekitar 38,17 juta ton minyak kelapa sawit. Tidak dipungkiri bahwa Indonesia merupakan produsen serta eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia kepada pasar global. Salah satu negara tujuan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia adalah negara Eropa. Terdapat tiga negara Eropa yang masuk menjadi mitra perdagangan ekspor kelapa sawit Indonesia, yaitu Belanda, Spanyol, dan Italia. Namun kegiatan kerjasama ekspor tersebut mulai menurun ketika Uni Eropa mengeluarkan sebuah regulasi berupa Renewable Energy Directives II (RED II) yang mengatur mengenai penggunaan energi terbarukan pada kawasan Uni Eropa. Hal tersebut muncul sebagai bentuk komitmen negara tersebut sebagai anggota Sustainable Development Goals (SDGs) dengan fokus isu lingkungan.
ADVERTISEMENT
Lalu apa kaitannya RED II dengan perindustrian kelapa sawit Indonesia?
Uni Eropa melihat sisi negatif yang ada di dalam industri kelapa sawit, seperti adanya eksploitasi, pelanggaran hak asasi, pengabaian hak masyarakat adat, hilangnya ekosistem, dan juga adanya korupsi. Kemudian Uni Eropa melihat bahwa 11% kelapa sawit di Indonesia berkontribusi terhadap deforestasi yang terjadi antara tahun 2000 hingga 2010 dan sekitar 45% dari pengembangan perkebunan kelapa sawit berlangsung di wilayah dengan kandungan karbon yang tinggi. Hampir setengah dari lahan perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara berasal dari kawasan hutan tropis. Padahal seharusnya Asia Tenggara menopang 25% dari total lahan tropis dunia. Namun kenyataannya hampir seperdelapan hutan tropis dunia telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit di kawasan tersebut dan dianggap merugikan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, Uni Eropa memandang bahwa industri kelapa sawit ini bertentangan dengan komitmennya terhadap keberlanjutan ekosistem yang mencegah adanya penggundulan hutan, tingginya emisi karbon, dan juga hilangnya habitat biodiversitas yang ada akibat dari perkebunan kelapa sawit. Sebagai bentuk respon terhadap hal tersebut, Uni Eropa mengeluarkan regulasi RED II yang tentunya sangat beresiko akan menghantam perindustrian kelapa sawit di Indonesia, karena terjadi perununan jumlah ekspor dan akan memengaruhi berbagai aspek, seperti kinerja PDB nasional, neraca perdagangan, dan ketenagakerjaan domestik. Salah satu dampak langsungnya yaitu terjadinya penurunan harga terhadap buah kelapa sawit mentah pada semua kelompok umur di Riau. Penurunan harga terbesar terjadi pada kelompok usia 25 tahun, yang mencapai Rp6,17 per kilogram. Jika pemerintah Indonesia tidak segera mengambil tindakan tegas, maka kondisi seperti ini tentunya akan semakin memburuk dalam jangka panjang maupun jangka pendek dan tidak menutup kemungkinan bahwa negara lain dapat mengikuti sudut pandang Uni Eropa mengenai stigma negatif akan industri kelapa sawit.
ADVERTISEMENT
Kemudian bagaimana respon Indonesia terhadap hal tersebut?
Regulasi atas berbagai alasan tersebut tentunya ditolak keras oleh Indonesia. Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa langkah tersebut sebenarnya hanya merupakan upaya proteksi terhadap industri domestik Eropa yang diselimuti kepedulian terhadap lingkungan karena melihat bahwa kelapa sawit merupakan komoditas besar yang menyumbang devisa bagi negara Indonesia. Jika berbicara mengenai deforestasi, Indonesia menganggap bahwa minyak kelapa sawit merupakan komoditas produktif karena mampu menghasilkan lebih banyak minyak per hektarnya. Disisi lain, komoditas seperti minyak kelapa, minyak bunga matahari, serta minyak lobak tentunya kurang efektif karena akan lebih membutuhkan banyak lahan ketika diproduksi secara lebih banyak, yang pada akhirnya justru akan membutuhkan lebih banyak lahan dan menciptakan deforestasi yang lebih besar pula. Dilansir dalam CNBC Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan selaku menteri koordinator bidang kemaritiman menyatakan bahwa Uni Eropa dianggap lebih peduli terhadap orangutan dibandingkan peduli terhadap rakyat Indonesia. Pernyataan tersebut dilontarkan dengan menekankan bahwa kelapa sawit merupakan salah satu hal krusial dalam mendukung perekonomian masyarakat Indonesia dan menyayangkan sikap Uni Eropa karena mengesampingkan aspek tersebut dan terlalu mengutamakan isu lingkungan. Namun dengan adanya pernyataan tersebut kemudian tidak sepenuhnya dapat membebaskan negara-negara produsen kelapa sawit dari tanggung jawabnya untuk menjaga lingkungan, karena bagaimanapun kritik mengenai kerusakan lingkungan dapat timbul dari berbagai pihak dan tetap menjadikan upaya berkelanjutan sebagai aspek yang juga perlu diperhatikan.
ADVERTISEMENT