Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Resensi Buku: Tepi Toba Karya Muram Batu
31 Oktober 2022 10:07 WIB
Tulisan dari ARNI FITRIANI DWI AGUSTIN 2021 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Data Novel
Judul: Tepi Toba
Penulis: Muram Batu
Penerbit: Basa Basi
ADVERTISEMENT
Tebal buku: 123 halaman
Tahun terbit: Desember 2019
ISBN: 978-623-6631-66-9
Bagi lelaki Batak, haram membiarkan perempuan menangis. Perempuan adalah kebanggan, pada masa mendatang dialah yang bisa membuat nama kaum menjadi harum. Menjaga agar nama perempuan dari kaumnya tetap dipercaya oleh kaum pihak lelaki hingga ke generasi selanjutnya. Karena jeleknya sebuah kaum adalah cerminan dari keberadaan perempuan didalam kaumnya itu. (Hal. 30)
Pada awalnya adalah kabut. Pemandangan hanya dingin yang menggigit tulang. Hanya indah di dalam kepala saja. Sebuah kota di tepi danau yang terbentuk akibat letusan gunung merapi beribu tahun lalu. Pada tahun 1970-an, sebuah kapal penyeberangan terombang-ambing ditengah Danau Toba. Membawa banyak sekali para pelancong yang hendak menyebrang. Kapal itu berencana menyebrang dari Parapat ke Tomok. Saat kapal berada ditengah Danau Toba terjadi sebuah badai. Air danau yang semula tenang mendadak beringas, siap menelan kapal kayu dua lantai itu.
ADVERTISEMENT
Badai harus segera dihentikan. Jika tidak, mereka semua akan karam kedasar danau. Seketika mata kapten kapal berhenti pada seorang perempuan berparas cantik diantara kerumunan penumpang kapal pada saat itu. “Dia keturunan Sipanggaron,” ujar sang kapten. Masyarakat percaya perempuan Sipanggaron, terutama yang parasnya cantik dipercaya akan dijadikan permaisuri oleh penunggu dasar Danau Toba maka permpuan itu harus ditumbalkan agar badai segera berakhir. Badai akan datang untuk menjemput perempuan cantik itu, membawanya ke dasar danau, jika ia berada ditengah Danau Toba. Demi menghentikan badai sang kapten membuat wajah perempuan itu cacat dengan cara merusak wajahnya yang sangat cantik itu.
Tiga puluh tahun kemudian, salah seorang keturunan dari perempuan Sipanggaron itu kembali ke danau. Mereka mencari celah untuk membalaskan dendam kepada sang kapten atau pun keturunannya karena telah membuat neneknya cacat. Keturunan Sipanggaron itu membalaskan dendam dengan cara mendekati Bobon, salah satu kru kapal anak buah sang kapten. Pada awalnya Gala tidak paham kenapa dua perempuan misterius dengan rambut berkepang dua itu mendekati Boban, salah satu kru kapal motor miliknya yang baru berusia 14 tahun. Namun pada akhirnya ia mengetahui, bahwa tujuan kedatangan kedua perempuan itu untuk membalaskan dendam masa lalu yang dialami oleh neneknya kepada ia dan keluarganya. Mereka ingin membalaskan rasa sakit dari seorang perempuan cantik berboru (marga) Sipanggaron yang wajahnya dilukai oleh ayahnya demi keselamatan seluruh penumpang kapal pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Suatu hari bersama ketiga kru kapal lainnya, yakni Boban, Gondut, dan Kerempeng, ia akan membuktikan bahwa apa yang selama ini terjadi hanyalah mitos belaka. Ketika badai terjadi dan kapal berada di tengah lautan tidak ada yang mesti di korbankan sebagai tumbal untuk penghuni dasar Toba. Hingga akhirnya badai datang, air yang tadinya tenang kini menjadi bingas. kapal yang terbuat dari kayu yang sedang berlayar terombang-ambing ditengah danau. Namun, gala tetap tenang menghadapi situasi itu, ia tak menghiraukan ucapan dari para penumpang dan kru kapal untuk mencari tumbal. Ia bertekad akan melewati badai dengan caranya sendiri. Hingga akhitnya ia berhasil menemukan cara bagaimana keluar dari situasi mencekam seperti itu. Setelah kejadian itu warga tepi Toba pun paham kalau ada yang sesuatu yang terjadi didanau pasti bukan tanpa sebab. Pasti ada sesuatu yang tak benar dan itu biasanya karena kekurangajaran. Bisa saja karena tidak menghormati danau dengan berbuat sesuka hatinya, seperti mengotori secara tak pantas, membuang sampah sesuka hati, membuang kotoran semaunya, atau melakukan tindakan tidak terpuji secara gamblang. Bisa juga karena terlalu lancang dalam berucap dan bertindak, terlalu sombong dan mengingkari sesuatu yang dipercaya oleh orang-orang tepi danau. Masih banyak sebab-sebab lain, tetapi yang jelas setelah kejadian itu, orang-orang akan kembali saling mengingat untuk sama-sama menjaga Danau Toba baik kepada sesama penghuni di sekitar maupun pada para pelancong.
ADVERTISEMENT
Plotnya yang tidak membosankan dan mengangkat masalah adat suku Batak menjadi kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh novel ini, Novel ini, mengajarkan kita untuk selalu menjaga ucapan, tingkah laku, berhati-hati dalam bertindak, dan menghormati peraturan yang ada di tempat yang sedang kita pijak. Selain itu, novel ini mengajarkan kita untuk menjaga kebersihan alam sekitar yang dibalut dengan peristiwa adat atau kepercayaan yang terjadi ditengah Danau Toba apa bila badai datang.
Untuk kekurangannya sendiri, dialog dalam novel terlalu banyak menggunakan cara berbicara khas orang Batak yang sebetulnya bagus namun bagi para pembaca yang bukan berasal dari suku Batak sedikit kesulitan dalam membacanya.