Konten dari Pengguna

Kecakapan Literasi Digital dan Pengaruhnya dalam Perkembangan Otak Anak

Arni Kusuma Dewi
Arni adalah seorang praktisi dokter dan dosen di fakultas Vokasi Universitas Airlangga. Bidang keilmuan yang menjadi concern saya adalah Anatomi, Histologi dan Neuroscience
29 Maret 2023 11:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arni Kusuma Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak balita belajar dengan gadget. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak balita belajar dengan gadget. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada bulan Maret 2023, secara simultan Kemendikbudristek memberikan sosialisasi literasi digital pada aparatur sipil negara baik untuk tenaga pendidik maupun tenaga administrasi.
ADVERTISEMENT
Tujuan sosialisasi ini adalah mengenalkan dan membangun budaya digitalisasi dalam pengelolaan pendidikan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menghadapi globalisasi 5.0 yang seluruh sistem infrastruktur akan berbasis elektronik dan mencapai Indonesia emas 2045.
Yesi Novitasari dan Muhammad Fauziddin (tahun 2022) mengukur indikator kemampuan dan keberhasilan seseorang menurut literasi digital adalah dalam mengakses, menyeleksi, memahami, dan mendistribusikan informasi secara online.
Penelitian yang mereka lakukan pada guru PAUD di kecamatan Rumbai Pesisir menyebutkan bahwa persentase kemampuan mengakses internet guru PAUD adalah tinggi yaitu 88% namun tidak diimbangi dengan kemampuan yang lain.
Ilustrasi anak main gadget sambil makan. Foto: Shutter Stock
Hal ini sangat kontradiktif dengan kemampuan anak usia dini (0–4 tahun) yang mereka didik. Anak–anak ini memiliki kemampuan luar biasa dalam mengakses, memilih dan mendistribusikan konten yang mereka dapatkan, tanpa bantuan orang dewasa dan tanpa memiliki kemampuan untuk menyeleksi serta memahami isi konten. Mengapa hal ini terjadi. Penulis akan memberikan analisa neuroscience atau ilmu tentang persyarafan otak berdasarkan fenomena ini.
ADVERTISEMENT
Saraf dalam otak sudah mulai dibentuk sejak setelah terjadinya penyatuan sperma dari ayah dan sel telur dari ibu. Sebelum usia minggu ke 8 adalah masa embrio yang merupakan masa terbentuknya template atau area–area otak dan organ lain serta sel bakal. Setelah minggu ke 8 disebut sebagai masa fetus.
Pada masa ini sel bakal dari lapisan epidermis akan bertumbuh dan berkembang menjadi sel bakal saraf dan sel bakal penyokong sel saraf. Perkembangan ini diikuti oleh migrasi sel tersebut pada area–area otak dan membentuk komunikasi antar sel otak melalui berkas saraf.
Pada saat ini diperkirakan terbentuk 100 miliar sel saraf. Pembentukan sel saraf diikuti dengan sinap atau komunikasi antar sel saraf yang dimulai saat masa fetus, mencapai puncak pada usia 2-4 tahun saat anak menginjak usia prasekolah, dan terus berlanjut namun lebih lambat sampai usia dewasa muda. Diperkirakan sinap yang terbentuk sampai dengan usia dewasa muda adalah 60 triliun koneksi.
Ilustrasi otak anak. Foto: Shutterstock
Berdasarkan ilmu embriologi persyarafan otak tersebut, maka sinap yang terbentuk saat lahir sampai mencapai usia 4 tahun sangatlah banyak. Koneksi yang telah terbentuk ini dapat berfungsi apabila terdapat stimulus yang diberikan dari luar melalui pancaindra seorang bayi. Yang dimaksud pancaindra adalah mata, telinga, hidung, lidah dan kulit.
ADVERTISEMENT
Melalui stimulus ini akan memberikan pengalaman yang akan disimpan di otak dalam bentuk memori. Memori inilah awal bayi belajar tentang sesuatu yang disebut kemampuan awal kognitif atau kemampuan belajar.
Ada beberapa pendapat dari peneliti bahwasannya perkembangan gerak atau motorik anak usia dini dengan kognitif adalah tidak saling berhubungan, namun ada pula peneliti yang menyebutkan bahwa dua hal tersebut dapat berlangsung bersamaan tergantung stimulus yang diberikan. Kemampuan kognitif dan motorik berkembang pesat antara usia 5 sampai 10 tahun, saat anak menginjak usia sekolah dasar.
Pembaca yang baik, berdasarkan ulasan penulis dari dua fenomena literasi digital dalam dunia pendidikan dan perkembangan otak anak usia prasekolah dan usia sekolah ini maka dapat disimpulkan bahwa pengenalan literasi digital memerlukan kecakapan dan kebijaksanaan terutama pada pendidikan prasekolah dan sekolah dasar.
ADVERTISEMENT
Literasi digital hanya memberikan stimulus berupa mata untuk melihat, dan telinga untuk mendengar, serta gerakan tangan. Koneksi sinap yang sedang berkembang tidak dapat berkembang optimal karena pancaindra yang distimulasi tidak optimal.
Diperlukan kesadaran orang tua dan guru pendidik usia dini untuk tetap memberikan stimulus pancaindra dan membatasi serta penyeleksian literasi digital yang akan diajarkan baik di rumah maupun di sekolah. Hal ini akan menumbuhkan kemampuan humanity and morals, social sensitivity, rational and honest thought, yang sangat diperlukan sebagai memori kecerdasan emotional di masa mendatang.