Surat untuk Tuhan

Ario
Jurnalis InfoPBUN, Partner Resmi Kumparan.com
Konten dari Pengguna
12 Juni 2020 19:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ario tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pater Leo Kleden SVD bersama Ignas Kleden dalam salah satu kesempatan.(FOTO: Istimewah).
zoom-in-whitePerbesar
Pater Leo Kleden SVD bersama Ignas Kleden dalam salah satu kesempatan.(FOTO: Istimewah).
ADVERTISEMENT
Pada suatu pagi yang biasa
dari musim yang sudah kulupa
ADVERTISEMENT
Kutemukan namamu bersama cahaya
Dan sejak itulah aku ‘ngembara
Mencari engkau tanpa alamat
Mula-mula aku bertanya
Pada seorang tua yang bijaksana
Apakah ia mengenal engkau?
Ia cuma menggeleng kepala dan berkata:
Ah dia,
lebih tua dari gurun lebih muda dari embun
mungkin langit masih mengenalnya.
Aku melihat kanak-kanak
Begitu muda seperti fajar
Main kejaran di pantai pasir dan bertanya:
Adakah mereka melihat engkau?
Semua heran dan berkata:
Ia belum tiba di sini
Engkau datang terlalu dini.
Aku pergi ke taman kota
melihat sepasang anak muda
Asyik-masyuk dimabuk asmara
Mungkinkah mereka mengenal engkau?
Yang laki-laki itu berkata:
Ia hidup dalam dongeng dari beribu tahun lalu
Sisa namanya masih tercatat dalam sebuah perkamen tua.
ADVERTISEMENT
Yang perempuan lalu menambah:
Sungguhpun hidup begitu indah
Riwayat kita teramat singkat.
Pengembara,
Mengapa mencari yang sia-sia?
Aku mencatat sementara:
Lebih tua dari gurun lebih muda dari embun
Engkau hidup dalam dongeng dari beribu tahun lalu
Apakah namamu sia-sia
dan aku datang terlalu dini?
Bertahun-tahun kemudian aku mencari seorang filsuf yang berjalan siang hari dengan lampu menyala di tangan, karena bertarung mencari yang benar.
Mungkinkah dia mengenal engkau?
Sewaktu kami di jalan bertemu, ia besarkan nyala lampu lalu mendugai lubuk mataku, berseru:
Pengembara, kita sama pejalan jauh menuju langit yang tak terjangkau.
Tentang dia, aku hanya bisa bertanya, filsuf tak pernah punya jawaban. Mungkin sang nabi lebih tahu?
Aku pergi kepada sang nabi dan berkata dengan takzim:
ADVERTISEMENT
Salam padamu pewarta firman. Aku yakin, wahai nabi, engkau tahu yang kucari, ceritakan padaku tentang dia.
Ia menjawab:
Aku bukan seorang nabi. Pewarta sabda hanyalah suara yang berseru di padang gurun: Siapkanlah jalan Tuhan luruskanlah lorong-lorongnya.
Aku belum melihat wajahnya dan para nabi sepanjang zaman tidak pernah melihat dia.
Dialah cahaya mahacahaya yang memijari matahari dan menyinari lubuk hati.
Ia menuntun orang buta, membimbing langkah pengembara.
Sedang mata kita yang fana tak bisa menangkap mahacahaya.
Kudengar dentang lonceng gereja, memanggil umat beribadah.
Aku pergi membawa namamu lalu bertanya kepada pendeta.
Ia menjawab:
Gereja mewarisi nama ini, memanggil dia dalam ibadah, tapi maknanya tetap rahasia.
ADVERTISEMENT
Coba tanya si ahli kitab, mungkin dia yang lebih tahu.
Aku pergi ke ahli kitab, mengucapkan salam dan bertanya, tapi dia tak sempat mendengar.
Rupanya sudah berabad-abad ia menggali ayat suci, dan sekarang terperangkap dalam guanya sendiri.
Ketika akhirnya kami bertemu kata-katanya begitu pelik sampai aku tak dapat mengerti:
Mengapa mesti sekian sulit, membuat namamu rumpil rumit.
Adakah relung luka di gua menyesatkan dia dari firmanmu?
Aku berpikir, sebaiknya pergi kepada penyair.
Dia menyambutku dalam diam, menggumam sajak yang tak selesai:
Pada mulanya adalah Sunyi dan Sunyi itu melahirkan Kata dan Kata menciptakan alam semesta dan alam semesta menyanyikan madah.
Dan semua madah kembali ke Sunyi di baris terakhir semua puisi.
ADVERTISEMENT
Tapi tak pernah seorang penyair berhasil menulis bait itu.
Mungkin pertapa lebih mengenal rahsia Sunyi?
Aku pergi ke padang gurun lalu menemui sang pertapa.
Ia dulunya seorang kaya, menjual tuntas semua harta dan hidup menyepi mencari Sunyi.
Sebelum kutanyakan sepatah kata, ia mendengar debur jantungku, dan berkata:
Lebih kaya dari cinta, lebih miskin dari rindu. Itulah dia.
Makanya harta yang habis terjual tidak cukup membayar jalan untuk sampai ke hadiratnya. Mungkin sekali fakir miskin lebih mengenal wajah itu.
Sesampai ke pondok fakir miskin, aku langsung melupakan namamu. Yang kulihat, yang kuingat, hanyalah wajah kanak-kanak, dengan igauan dalam demam, menjerit pedih minta nasi sedang ibunya menjual diri untuk membeli sepotong roti.
ADVERTISEMENT
Pernah sang ayah mengedar ganja untuk memanen uang murah, tapi semua tinggal mimpi, ia pergi tak pernah kembali.
Maka di sini di laut derita, bisakah seorang mengelak teriak dari kapal yang sedang karam?
Apa makna semua doa, madah puji dan nyanyi ibadah bagi mereka yang kini tenggelam?
Sungguh, di laut duka aku telah melupakan engkau. Namamu – tak lagi penting untuk diriku, dan mungkin namaku tak pernah berarti untukmu jua.
Tapi mengapa di siang ini, ketika hibuk dalam letih, sesudah hilang semua pamrih, tiada terduga engkau tiba:
O Cahaya mahacahaya, Sunyi suci yang melahirkan Kata,
lebih kaya dari cinta lebih miskin dari rindu,
ADVERTISEMENT
di tengah wajah kanak-kanak lapar,
aku sujud menyembah engkau.
Penyair: Pastor Leo Kleden, SVD