Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Suku kajang: Indahnya Harmoni dalam Tradisi, Menjaga Jarak dengan Teknologi
29 Maret 2025 16:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Arrosika Rohmatul Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Suku Kajang adalah komunitas masyarakat adat yang menetap di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Keunikan suku ini terletak pada kemampuannya dalam mempertahankan tradisi dan ikatan adat yang masih sangat kuat. Sebagian besar dari mereka memilih untuk tidak mengikuti perkembangan dari luar, bukan karena menolak kemajuan, tetapi karena mereka tetap setia pada adat istiadat serta tatanan masyarakat yang berlandaskan aturan tidak tertulis yang disebut Pasang. Pasang berfungsi sebagai pedoman hidup bagi masyarakat adat Kajang. Secara harfiah, Pasang berarti "pesan", namun bagi masyarakat adat Ammatoa Kajang, Pasang ri Kajang memiliki makna yang lebih mendalam. Lebih dari sekadar pesan, Pasang ri Kajang merupakan amanah sakral yang harus dipatuhi dan ditegakkan. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa wilayah Kajang secara geografis terbagi menjadi dua, yaitu Kajang Dalam dan Kajang Luar. Kajang Dalam dihuni oleh Suku Kajang yang dikenal sebagai "Tau Kajang", sementara Kajang Luar dihuni oleh masyarakat sekitar yang telah mengalami modernisasi dan disebut sebagai "Tau Lembang". Perbedaan utama antara Kajang Dalam dan Kajang Luar terletak pada sikap mereka terhadap perkembangan peradaban. Kajang Luar lebih terbuka terhadap kemajuan teknologi, sedangkan Kajang Dalam tetap teguh mempertahankan tradisi dan menolak peradaban modern yang dianggap bertentangan dengan prinsip serta nilai budaya mereka. Salah satu contohnya adalah masyarakat di Desa Ammatoa Kajang yang menolak teknologi serta modernisasi dan memilih menjalani kehidupan yang sederhana. Mereka meyakini bahwa penggunaan teknologi dapat membawa dampak negatif, seperti mengganggu keseimbangan hubungan antara manusia dan lingkungan serta merusak sumber daya alam. Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai tradisional, seperti tidak menggunakan teknologi modern dan menggantinya dengan kebiasaan lama, misalnya menggunakan obor sebagai penerangan dan kayu bakar untuk memasak.
ADVERTISEMENT
Keputusan untuk tidak mengikuti perkembangan, terutama dalam hal teknologi, memiliki tujuan yang baik. Namun, hal ini memunculkan pertanyaan: manakah yang lebih penting, mempertahankan tradisi atau mengikuti perkembangan zaman agar tidak tertinggal?
Tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa mengikuti perkembangan teknologi, seseorang bisa mengalami ketertinggalan, yang berpotensi menciptakan ketimpangan sosial. Hal ini dapat menimbulkan kesenjangan antara mereka yang mampu beradaptasi dengan perubahan dan mereka yang tidak. Selain itu, individu yang tidak mengikuti perkembangan zaman cenderung memiliki keterbatasan pengetahuan tentang isu-isu terkini, yang bisa menyebabkan keterasingan serta memutus hubungan dengan komunitas dan interaksi sosial yang lebih luas. Dan perbedaan pandangan antara generasi tua yang teguh mempertahankan tradisi dan generasi muda yang lebih terbuka terhadap perubahan juga dapat menimbulkan ketegangan serta konflik dalam masyarakat. Meski demikian, bagi anggota komunitas yang ingin memanfaatkan teknologi, mereka dapat memilih untuk tinggal di luar wilayah Suku Kajang. Pada dasarnya, adat yang telah diwariskan tidak boleh diubah, dan keseimbangan antara adat serta perkembangan zaman idealnya dapat dijaga. Namun, keputusan akhir tetap bergantung pada masyarakat itu sendiri. Prinsip dan aturan yang mereka anut patut dihargai serta dilestarikan, terutama karena di era modern ini semakin jarang ditemukan komunitas yang masih memegang teguh tradisi dengan kuat.
ADVERTISEMENT
Jika dikaitkan dengan perspektif serta teori hukum adat, maka penjelasannya adalah sebagai berikut:
Dalam pandangan hukum adat, kondisi yang dialami oleh suku Kajang sejalan dengan pemikiran Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven. Ia menyatakan bahwa hukum adat merupakan perilaku masyarakat yang berlaku, memiliki sanksi, namun belum dikodifikasi. Hal ini sesuai dengan suku Kajang yang tetap mematuhi hukum adat mereka, yang disebut pasang, serta menerapkan kebiasaan dan perilaku yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dengan demikian, norma dan nilai adat tetap lestari hingga saat ini.
Dari perspektif sosiologis, hukum adat terbentuk melalui kebiasaan yang berkembang menjadi aturan yang mengikat. Dalam konteks ini, suku Kajang lebih memilih menjalani kehidupan sederhana daripada mengikuti arus perkembangan teknologi, karena hal tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, terdapat kontrol sosial dalam masyarakat mereka yang memungkinkan budaya modern berkembang, tetapi tetap dapat diatasi agar tidak menghilangkan tradisi dan adat istiadat, meskipun tentu menghadapi berbagai tantangan.
ADVERTISEMENT
Teori living law yang diperkenalkan oleh Eugen Ehrlich menekankan bahwa hukum yang sesungguhnya adalah hukum yang hidup dalam masyarakat dan mengatur perilaku sehari-hari mereka. Dalam konteks ini, hukum adat suku Kajang yang tertuang dalam Pasang ri Kajang tetap relevan dan terus diterapkan dalam kehidupan mereka. Meskipun zaman terus berkembang, suku Kajang meyakini bahwa keseimbangan antara manusia dan alam harus dijaga melalui aturan adat yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka menjalankan tradisi tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan menjaga kelestarian adat tanpa mengubahnya, meskipun perkembangan zaman, khususnya di bidang teknologi, semakin pesat dan dianggap penting di era modern ini.
Teori religio magis dalam hukum adat mencakup kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang bersifat sakral dan magis, yang berperan penting dalam pembentukan norma. Dalam hal ini, Pasang bukan sekadar aturan adat, melainkan pesan leluhur yang memiliki nilai sakral dan harus dipatuhi. Masyarakat Kajang meyakini bahwa pelanggaran terhadap Pasang dapat membawa kutukan, bencana, atau mengganggu keseimbangan alam. Mereka juga percaya bahwa penggunaan teknologi modern berpotensi merusak hubungan harmonis antara manusia dan alam. Oleh karena itu, mereka memilih menjalani kehidupan sederhana dalam skala kecil serta menghindari teknologi yang dianggap dapat mengganggu lingkungan. Pandangan ini sangat berkaitan dengan konsep religio magis, yang menekankan bahwa hukum adat bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara dunia fisik dan metafisik.
ADVERTISEMENT
Teori hukum adat sebagai bentuk kearifan lokal mencerminkan nilai-nilai budaya dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Hukum adat sering dianggap sebagai ekspresi kearifan lokal yang berperan dalam menjaga keseimbangan sosial dan lingkungan.Keputusan masyarakat Kajang Dalam untuk menolak teknologi modern bukan berarti menolak kemajuan, tetapi lebih sebagai upaya menjaga harmoni dengan alam serta mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Prinsip ini sejalan dengan konsep hukum adat yang bersifat dinamis, namun tetap mempertahankan nilai-nilai inti dalam kehidupan masyarakat.