Konten dari Pengguna

Dinamika Pilkada DKI : Potensi Golput Masyarakat Dalam Momentum Pilkada 2024

Arsan Nuzul
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam
30 September 2024 16:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arsan Nuzul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(simulasi kotak suara/pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
(simulasi kotak suara/pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini sedang marak perbincangan tentang Gerakan Non-Voters atau golput di kalangan Masyarakat DKI Jakarta atau bahkan di Nasional jelang Pilkada 2024, apakah ini hanya sebagai Propaganda Politik atau Gerakan murni yang hadir di akar rumput atas mosi tidak percaya mereka terhadap kondisi politik yang kian carut marut. Akan tetapi Gerakan akar rumput ini tidak hanya terjadi sekali di Indonesia namun pada sebelumnya pun sudah terjadi beberapa kali dalam menyambut Pemilihan-Pemilihan pemimpin Nasional maupun daerah.
ADVERTISEMENT
Politik akar rumput adalah suatu politik yang tergerak atas bentuk kepedulian masyarakat kelas menengah kebawah dalam menyikapi suatu persoalan yang terjadi di sebuah Negara yang bertujuan untuk mengkritisi kondisi sosial, ekonomi, politik, keadilan dan pembangunan, tetapi politik akar rumput hanya bersegmen pada urusan-urusan yang bersifat elektoral. Tetapi Gerakan Golput ini benar-benar Gerakan yang murni atau hanya sebatas propaganda politik melalui media sosial, yang di pantik oleh buzzer untuk mempengaruhi pandangan masyarakat terkait Pilkada.
Pada hal ini dampak dari apa yang telah terjadi di masa Pemilu kemarin hingga Dewan Perwakilan Rakyat yang mencoba untuk merevisi UU Pilkada yang pada akhirnya masyarakat terpengaruhi untuk menginisiasi Gerakan golput atau tidak terlibat aktif dalam memakai hak suara untuk memilih pemimpin daerah selanjutnya. Kemudian pada hal ini khalayak terkhusus masyarakat DKI Jakarta memberikan ancaman terhadap sistem demokrasi yang akhir-akhir ini dianggap carut-marut.
ADVERTISEMENT
Hal ini menggambarkan bagaimana situasi politik di DKI Jakarta semakin kompleks karena DKI Jakarta yang menjadi episentrum politik dan ekonomi yang dapat mempengaruhi kondisi di Nasional dimana kebijakan politik yang diambil di Jakarta memiliki implikasi kepada daerah lain juga sekaligus sebagai pengendali dari arah kebijakan di Nasional. Hal ini dipicu oleh koalisi KIM + yang mengusung Ridwan Kamil dan Suswono yang dimana hanya menyisakan Partai PDIP untuk menjadi lawan di dalam momentum PILKADA kali ini.
Alih-alih berencana melawan kotak kosong namun PDIP bersikap untuk mencalonkan Pramono Anung dan Rano Karno yang juga di usung oleh Partai Hanura pada saat last minute menyatakan dukungan nya kepada Pramono Anung dan Rano Karno. Kemudian ditambah satu pasangan calon independent yaitu Dharma Pongrekun – Kun Wardana Abyoto. Dari ke-3 pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur ini, kebanyakan masyarakat DKI Jakarta menganggap tidak ada yang memiliki kapasitas untuk memimpin daerah karena memiliki kecacatan secara moril maupun etika yang berawal dari kasus kurang bijaknya salah satu kandidat dalam mengelola sosial media hingga mencatut kartu tanda penduduk warga DKI Jakarta dengan mengambil NIK dari kebanyakan untuk melancarkan niatnya berkandidat sebagai Kepala Daerah.
ADVERTISEMENT
Gerakan ini salah satunya hadir karena keberagaman strategi politik yang rencanakan oleh beberapa kandidat untuk menarik simpati masyarakat DKI Jakarta khususnya, namun masyarakat memandang dari setiap kandidat ini tidak ada yang pas untuk menduduki kursi Kepala Daerah DKI Jakarta dalam 5 tahun kedepan. Banyak anggapan bermunculan bahwa partai politik yang seharusnya dapat mengedukasi dan memberikan dampak kepada masyarakat untuk mencoba mengabulkan apa yang masyarakat inginkan.
Seharusnya timbulnya Gerakan seperti ini menjadi bahan refleksi pemerintah dan instansi yang terlibat untuk dapat membenahi pola demokrasi bukan kemudian menjadikan kesempatan untuk melanggengkan kekuasaan nya. Maka dari itu perlu akhirnya partai politik melihat situasi yang tengah terjadi dan mengembalikan pola demokrasi yang dapat diterima oleh banyak masyarakat.
ADVERTISEMENT
Partai Politik harusnya dapat mengambil peran dalam momentum pilkada ini dengan mengakomodir siapa yang menjadi keinginan masyarakat DKI Jakarta secara keseluruhan, agar tidak terjadi Gerakan golput yang sekarang tengah ramai di media sosial. Gerakan tersebut dapat dikatakan Gerakan saingan atas reaksi masyarakat dalam melihat situasi pemerintah yang dianggap superior dan negara dianggap tidak berhasil dalam merealisasikan yang katanya pesta demokrasi di Indonesia.
Bila kondisi seperti ini dirawat secara terus-menerus oleh penguasa dan partai politik, maka kemungkinan masyarakat akan terus bersikap lebih dari Gerakan golput yang sekarang tengah menjadi strategi masyarakat dan ini tidak baik terhadap negara yang katanya memberlakukan sistem demokrasi, oleh karena itu pemerintah ataupun partai politik jangan mengambil keuntungan untuk kepentingan kelompok atau perorangan karena negara ini sejatinya berada di tangan rakyat.
ADVERTISEMENT
Sudah seharusnya Pilkada DKI Jakarta menjadi wajah bagi demokrasi Indonesia dengan memperlihatkan Kualitas dinamika yang membangun. - Arsan
*Penulis merupakan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam