Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
David vs Goliath
19 Maret 2022 18:50 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ikhlas Alfarisi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Goliath yang besar, tak selalu diasosiasikan paling kuat dan selalu menang. Sementara David yang kecil juga tak melulu dipandang sebagai sumber kelemahan.
ADVERTISEMENT
Kita mungkin akrab atau setidaknya pernah mendengar tentang kisah David vs Goliath. Kisah seorang anak gembala dari bangsa Israel bertubuh mungil berhasil mengalahkan seorang raja bertubuh besar. Cerita ini begitu akrab dalam ingatan saya semasa kanak-kanak. Bagi saya itu salah satu kisah heroik yang cukup menarik. Pasalnya, kisah yang terjadi sekitar 3000 tahun silam ini kemudian menjadi pangkal metafora dari setiap momen pertarungan, pertandingan yang mempertemukan entitas yang dianggap besar, dominan, kemudian diasosiasikan sebagai yang kuat dan selalu menang melawan entitas yang kecil, yang kemudian diasosiasikan sebagai yang lemah dan selalu kalah.
ADVERTISEMENT
Dari perkelahian antar individu, perang antar negara, sampai subtitusinya di era sekarang berupa pertandingan di berbagai cabang olahraga. Ketika momen si kecil dan si besar bertemu saling berhadapan, kita langsung menyebut momen tersebut sebagai David vs Goliath.
Dalam sepakbola metafora tersebut juga kerap terjadi. Permainan sepakbola yang selalu membutuhkan hampir seluruh kemampuan fisik ini, tentunya mengunggulkan mereka yang mempunyai bentuk fisik yang mumpuni. Selain fisik, kemampuan intelegensi juga krusial dalam rangka pengambilan keputusan untuk menyusun taktik sebuah tim, visi bermain, dan pengambilan keputusan seorang pemain sepakbola saat berlaga dalam suatu pertandingan.
Dalam pertandingan sepakbola, kita istilah mengenal tim unggulan dan tim underdog. Di mana, istilah tersebut mengacu pada tim yang mempunyai komposisi pemain bertabur bintang. Secara permainan mereka dominan, dan menyerang. Sementara tim underdog mengacu pada tim yang berisi pemain dengan kemampuan rata-rata, dan tidak diunggulkan bisa berbuat banyak dalam sebuah kompetisi. Namun, bukan berarti tim underdog tak punya potensi untuk memenangi pertandingan melawan tim unggulan. Layaknya David yang mampu mengumpankan Goliath, banyak pula kisah dalam sepakbola yang menggambarkan seperti hal itu.
ADVERTISEMENT
Portugal vs Yunani pada final Piala Eropa 2004, misalnya. Kesebelasan Portugal kala itu unggul segalanya atas kesebelasan Yunani. Dari mulai segi teknis seperti komposisi timnas Portugal yang diisi oleh generasi emas macam Luís Figo, Rui Costa, Nuno Gomes, sampai Cristiano Ronaldo sebagai wonderkid saat itu. Mereka berkarier di klub papan atas dan menjadi bintang di klub yang mereka bela. Sementara Yunani hanya diisi oleh pemain yang jika disebutkan satu-persatu, belum tentu kita sebagai fans Asia akan familiar dengan nama-nama mereka. Ada Angelos Charisteas, Angelos Nikopolidis, dan Theodoros Zagorakis yang tidak punya karier se-mentereng nama-nama di skuad Portugal.
Timnas Yunani bisa disebut hanya modal semangat dan keberuntungan ketika berhasil mengalahkan Portugal yang tampil menawan. Terlebih, Portugal yang berposisi sebagai tuan rumah sudah tentu diuntungkan menjadi kampiun pada turnamen tersebut. Namun entah apa penyebabnya, Seleção das Quinas seperti buntu dan tak kunjung bisa mencetak gol ke gawang tim negeri para dewa ini. Sementara Yunani di babak kedua berhasil mencuri gol lewat sundulan Angelos Charisteas yang memanfaatkan umpan tendangan sudut. Yunani menang dibantu dewa Fortuna. Ya, sebagai sebuah tim mereka tak bagus-bagus amat. Buktinya 2 tahun berselang tim mereka yang berstatus sebagai kampiun Eropa justru gagal lolos ke gelaran Piala Dunia 2006 di Jerman.
ADVERTISEMENT
Terbaru, ada pertandingan Juventus vs Villareal pada leg kedua babak 16 besar Liga Champions yang baru berlangsung Kamis lalu (17/3). Juventus si raksasa Italia, dan Villareal si medioker dari La Liga. Di atas kertas Juventus harusnya bisa menang mudah atas tim kapal selam kuning ini. Namun, siapa yang menyangka jika Villareal yang akhirnya keluar sebagai pemenang dan melaju ke babak 8 besar.
Contoh pertandingan sepakbola yang mencerminkan David vs Goliath diatas, menimbulkan pertanyaan dalam benak saya. Apakah kemenangan David atas Goliath hanya melulu lantaran keberuntungan, kebetulan, bantuan dewa, pertolongan Allah, dan segala macam faktor magis lainnya?
Jika menilik pada kisah pertarungan David vs Goliath sendiri, ada yang menarik untuk diulas. Kisah tersebut bermula kala bangsa Israel yang berperang melawan bangsa Philistine. Sampai pada suatu saat akhirnya kedua pihak bersepakat untuk melakukan battle combat, atau pertarungan satu lawan satu. Cara seperti itu lumrah terjadi pada peperangan pramodern, dimana battle combat dijadikan salah satu cara untuk menyelesaikan sebuah konflik peperangan tanpa harus mengorbankan lebih banyak nyawa.
ADVERTISEMENT
Bangsa Philistine memasang Goliath. Seorang bertubuh kekar, besar, yang dilengkapi tameng dan pedang yang mengkilat-kilat terkena sinar matahari. Tak lupa baju zirahnya dikenakan untuk menghalau segala macam serangan dari musuh kala bertarung. Melihat penampilan Goliath yang besar dan mengerikan, tak ada satupun dari pasukan Israel yang berani melawannya. Hingga hadirlah seorang anak muda bertubuh kecil mengajukan diri untuk menjadi relawan dalam battle combat melawan Goliath.
Anak itulah David. Seorang pengembala yang awalnya diragukan kemampuannya oleh raja Israel untuk bertarung melawan Goliath. Tubuhnya yang kecil dan hanya bermodalkan senjata umpan (semacam ketapel primitif) begitu diremehkan ketika tak ada satu pun prajurit Israel yang tangguh sekalipun berani melawan Goliath. Terlebih, ketika diberi perlengkapan baju zirah dirinya menolak. David dengan percaya dirinya mengatakan bahwa dirinya sudah terbiasa mengatasi singa yang akan memangsa hewan ternaknya.
ADVERTISEMENT
Maka, dengan bermodalkan 5 buah batu dan umpan, majulah David menantang Goliath si prajurit raksasa. Melihat siapa bentuk manusia yang akan melawannya, Goliath merasa diremehkan dan sontak bergerak maju untuk menyerang David. Namun David segera bisa meloloskan diri dari sergapan raksasa itu. Dan dari jarak kejauhan, Ia mulai memainkan umpannya untuk melesatkan batu untuk menyerang balik Goliath.
Satu tembakan terkena kepala Goliath yang membuat dirinya jatuh tak sadarkan diri. Saat itu juga David langsung mendekat dan merampas pedang milik Goliath dan menghabisi raksasa tersebut. David menang, orang-orang dari pasukan Philistine yang melihat kejadian itu menjadi lari tunggang-langgang dan kemenangan atas perang dimiliki oleh bangsa Israel.
Menilik sekelebat kisah di atas, kita bisa menilai bagaimana pertarungan itu berlangsung. Apakah David menang karena keberuntungan? Atau Goliath kalah karena baru saja mendapat azab dari Tuhan karena telah menyerang kaum beriman? Saya rasa tidak begitu.
ADVERTISEMENT
David vs Goliath bukanlah pertandingan si kuat melawan si lemah, lalu si lemah mampu menang berkat bantuan mukjizat yang dimilikinya. Bagi saya pertarungan ini merupakan adu strategi bagi kedua belah pihak. Bangsa Philistine sengaja memasang Goliath sebagai petarung demi membuat pasukan Israel putus asa bahkan memilih menyerah dan kalah dalam perang tersebut. Strategi itu cukup berhasil. Nyatanya, dalam kisah tersebut diceritakan tak ada satupun dari pasukan Israel yang punya nyali melawan Goliath.
Di tengah keputusasaan itu, hanya David satu-satunya orang Israel yang menyadari satu hal yang kemudian dijadikan kontra strategi untuk bisa mengalahkan Goliath.
David melihat bahwa Goliath yang besar, dengan tameng, pedang, dan baju zirahnya yang berat, merupakan petarung jarak dekat. Ketika musuh ada di jarak yang tepat dalam jangkauan pedangnya, maka menang dengan mudah adalah suatu keniscayaan yang bisa segera dilakukan Goliath. Namun di balik kekuatan tanpa celah itu, ada satu kelemahan Goliath yang cukup krusial: pertarungan jarak jauh.
ADVERTISEMENT
David menilai bahwa hanya dirinyalah yang bisa mengalahkan Goliath. Dirinya seorang penembak jitu, yang sudah terlatih melawan singa akan dengan mudah menumbangkan Goliath jika tembakan umpannya tepat sasaran. Tentu hal tersebut dilakukan dalam skema pertarungan jarak jauh. Dan benar saja, strategi itu cukup mulus berjalan.
Strategi pertarungan jarak jauh malah jadi sumber kelemahan bagi Goliath dan kekuatan bagi David. Dari sini kita akhirnya bisa melihat bahwa siapa pun yang bertarung, tidak lantas bisa kita sebut sebagai si lemah dan si kuat hanya dari permukaan semata. Di dalam pertarungan, ada strategi, dalam strategi ada pemikiran hasil analisis terhadap lawan yang akan dihadapi. Ketika strategi berhasil, kemenangan niscaya didapatkan.
Jadi izinkan saya kembali mengajukan pertanyaan. Apakah pertarungan dengan metafora David vs Goliath selalu diidentikkan sebagai pertarungan si lemah dan si kuat?
ADVERTISEMENT
Jawabannya tentu tak bisa sehitam-putih itu bukan?
Pada akhirnya, Goliath yang besar, tak selalu diasosiasikan paling kuat dan selalu menang. Sementara David yang kecil juga tak melulu dipandang sebagai sumber kelemahan.