Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Ibu Mursinah, Si Penjual Nasi Goreng Babat Sejak 1971
12 Agustus 2017 7:50 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Arsyad Iriansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lokasinya berada dekat Semawis, tempat yang terkenal dengan pecinan Semarang. Tampak dari luar, dua orang berusia lanjut sedang duduk menanti pembeli. Tendanya berwarna kuning dengan kehangatan tersebutlah, yang membuat kami berhenti melajukan kendaraan untuk mengisi perut yang sedari tadi berbunyi.
ADVERTISEMENT
Namanya ibu Mursinah, kata beliau usianya 76 tahun tapi saya taksir bisa lebih dari itu, sedangkan seorang wanita satunya adalah anak beliau.
Seorang anak yang juga terlihat sepuh membuat saya yakin bahwa usia Ibu Mursinah bisa lebih dari 76 tahun.
Warungnya tak begitu besar, hanya menyediakan enam kursi dan satu meja panjang sebagai tempat untuk menyantap hidangan nasi goreng dari tangan Ibu Mursinah. Lokasinya berada di jalan Kranggan, tepat di samping PD Benang Fajar dan kalo pagi tempatnya merupakan pintu gerbang sekolah Yayasan pendidikan Kranggen SMP Salomo 2.
Asap membubul menyeruak ke penjuru tendanya, karena dalam penyajiannya Ibu Mursinah selalu setia menggunakan kompor arang.
Tangannya begitu cekatan, berbeda dengan anaknya, yang tampak sepertinya sedang sakit sehingga tidak begitu banyak aktifitas yang dilakukannya.
ADVERTISEMENT
Konsisten dengan rasa
Tangannya masih kuat mencengkram sebatang besi, yang menghantarkan panas dari wajan. Saya baru sadar bahwa itu panas, saat seorang teman meminta Ibu Marsinah untuk menggunakan kain.
“lho mbah pake kain mawon ben ndak panas” ucap teman saya.
Di usianya, Ibu Mursinah lebih memilih untuk bekerja. Baginya berdiam diri di rumah tak membuatnya lebih baik dibanding bekerja. Sebenarnya, anak-anaknya mampu membiayainya kehidupannya. Hanya beliau tak ingin berdiam diri dan memilih tetap meracik bawang merah kemudian menghidangkan nasi goreng babat kepada penikmatnya.
Di sini, kita tak akan menjumpai list menu yang banyak, karena Ibu Mursinah hanya menjual nasi goreng babat dan babat gongso, ya tentu karena itu yang dari dulu dilakukannya sejak 1971. Tetap konsisten, menyajikan dua menu ke lidah konsumen.
ADVERTISEMENT
“Nasinya segini?” tanya Ibu Mursinah dalam bahasa jawa halus
Jika Anda berkunjung ke tempat Ibu Mursinah, beliau tak akan memberikan batas berapa banyak nasi yang diolah karena beliau meminta Anda untuk menentukan sendiri nasi yang akan diolah.
Tangan yang keriput dan kuat itu mengambil bawang merah. Di tangan kanannya, beliau memegang pisau sedangkan di tangan kiri terdapat bawang merah. Ibu Mursinah cekatan memotong setiap bagian bawang merah dengan cepat. Temaramnya lampu yang tak begitu terang tak membuatnya kesulitan. Bagi saya, itu tantangan memotong bawang yang tak begitu terang, alih-alih memotong bawang bisa aja malah terluka, bukan?
Ibu Mursinah di tengah cengkraman junk food
Di era junk food yang dapat kita jumpai di sudut-sudut kota, karena menawarkan apa yang dibutuhkan para anak milenials yaitu AC dan WIFI alias tongkrongan. Barang tentu, warung seperti Ibu Mursinah sulit bersaing. Hanya saja coba lihat apa yang dilakukan Ibu Mursinah?
ADVERTISEMENT
Tetap bertahan dan konsisten tanpa harus ikutan-ikutan.
Buktinya, dia era kompor gas, beliau tetap asik menggunakan arang sebagai kompor yang menemaninya sejak tahun 1971.
Dari Ibu Mursinah, kita belajar bahwa urip kui gak usah neko-neko