Konten dari Pengguna

Cerita Calon Ayah dan Sunat Perempuan

Arsyad Iriansyah
Tertarik pada isu kebencanaan, travelling dan lari
10 Agustus 2017 12:30 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arsyad Iriansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cerita Calon Ayah dan Sunat Perempuan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
(Sumber foto:http://gratisography.com)
Shalawatan berdengung di segala penjuru tenda. Semua tetangga dan kerabat berbondong-bondong datang. Tampak dari luar, acara begitu meriah. Di dalamnya, seorang anak berdiri. Parasnya cantik nan elok berpoles bedak dan bersolekan baju bodo tujuh lapis, sarung sutra khas Bugis. Semburat wajahnya pasrah tapi menerimanya, karena baginya ini adalah salah satu langkah memasuki usia “pubertas”.
ADVERTISEMENT
Seorang nenek, yang disebut Sanro, mondar-mandir di dekatnya. Sebelum ritual dilakukan, Sanro merapal doa dengan harapan proses sunat berjalan lancar. Seorang anak tadi, sebut saja Ika mulai menarik nafas, saat ayam mematuk alat kelaminnya dan sebilah pisau atau silet disayat di sana.
Begitulah gambaran suasana saat saya mulai bertanya kepada Ika, yang kini mengajar di sebuah perguruan tinggi di Papua. Ika adalah satu dari sekian orang Suku Bugis yang mempertahankan budaya sunat perempuan di Papua.
Tradisi sunat di daerah
Suku Bugis menyebut sunat dengan sebutan Makatte. Ritual ini biasanya akan dilakukan saat usia anak memasuki umur 4 hingga 7 tahun, sedangkan pada laki-laki disebut tradisi Massuna’. Tradisi Makatte sendiri kental dengan filosofi kehidupan seperti, setelah proses selesai maka anak akan disuapi gula merah oleh orang tuanya dengan pengharapan agar dimasa mendatang kehidupan semanis gula merah sedangkan potongan tadi dibalut kapas lalu di taruh bagian atas rumah, yang disebut Tandreang.
Cerita Calon Ayah dan Sunat Perempuan (1)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang anak mengenakan baju bodo- (Sumber: http://www.bbc.com)
ADVERTISEMENT
Beranjak ke Jawa Timur, tradisi sunat di Madura biasa dilakukan saat anak masih berusia 0-7 hari. Beberapa kasus, seperti yang dikutip dalam riset Imam Zamroni, peneliti Pusat Studi Asia Pasifik UGM mengungkapkan bahwa pratik sunat dilakukan cukup bervariasi mulai dari tenaga medis, dukun bayi, istri kyai maupun tukang sunat dengan menggunakan alat-alat tradisional atau alat modern.
Tradisi turun temurun tersebut adalah kewajiban dengan anggapan jika belum disunat, maka anak tersebut belum dianggap masuk Islam. Begitu juga yang diungkapkan oleh Asri yang awalnya ragu, saat saya mulai bertanya dengannya dan melakukan mengkonfirmasi ke ibunya.
Di Bima, sunat pada perempuan - Saroso atau Ndoso dalam Nggahi Mbojo- dilaksanakan sebelum anak berusia kurang dari 5 tahun. Prosesnya agak mirip dengan proses sunat pada lelaki, yaitu membuang kulit ari tipis pada alat kelamin perempuan (klitoris). Sebelum tradisi Saroso dimulai, maka upacara Ziki Kapanca (zikir dan malam Inai) dan semacam sajen atau disebut Soji harus dilakukan untuk menggenapi prosesi.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan beberapa di daerah di atas. Seorang kawan yang baru melahirkan, Mustika Amalia Wardaty menolak menyunat anaknya. Perempuan kelahiran Salatiga, Jawa Tengah ini mengetahui ritual sunat perempuan hanya saja, menurutnya belum ada yang menguatkannya untuk melakukan sunat pada anaknya.
“Aku sama suami belum nemu hadist atau perintah yang sahih tentang sunat anak perempuan. Toh aku juga dulu gak di sunat” ungkapnya melalui pesan pendek whatsapp.
Mustika, yang dulunya juga menjadi relawan guru, sempat berbeda pendapat dengan keluarganya tentang sunat perempuan, apalagi dia sulit membayangkan ritual sunatnya dengan cara dicuwik –dicubit pake kuku- dengan kunyit pada alat kelamin anak atau sekedar mengoleskannya.
“Coba bayangin. Kamu punya anak, bayi dan alat vitalnya di ubek-ubek gitu rela gak?”
ADVERTISEMENT
Kegelisahan calon Ayah tentang sunat perempuan
Sebagai seorang calon ayah, saya tentu harus memastikan bahwa keamanan, kebahagiaan dan kesehatan anak adalah hal utama.
Sekedar informasi, WHO mencatat bahwa terdapat 4 tipe sunat pada perempuan yaitu tipe 1, memotong seluruh bagian klitoris (bagian mirip penis pada tubuh pria). Tipe 2, memotong sebagian klitoris. Tipe 3, menjahit atau menyempitkan mulut vagina (infibulasi) dan tipe 4, menindik, menggores jaringan sekitar lubang vagina, atau memasukkan sesuatu ke dalam vagina agar terjadi perdarahan dengan tujuan memperkencang atau mempersempit vagina.
Di Indonesia, ritual sunat perempuan sendiri berbeda-beda. Di satu tempat, hanya sebatas membasuh ujung klitoris, ada yang membuang sebagian klitoris, bahkan ada yang membuang seluruh klitoris dan memotong labia minora (bibir kecil vagina) lalu dijahit pada bagian luar.
ADVERTISEMENT
Menurut Ketua Bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup Fatayat NU, Muzaenah Zain yang dikutip dari Tempo menjelaskan khitan perempuan tidak diperintahkan di dalam Al-Quran atau Hadis Nabi.
“khitan di dalam Islam hanya menyarankan untuk laki-laki. Memang terbukti untuk kesehatan sedangkan perempuan hanya merupakan produk budaya dan tidak ada khasiat bagi kesehatan”.
Agung kawan saya, dokter di sebuah rumah sakit menyebutkan bahwa sunat pada perempuan belum dapat dibuktikan kebermanfaatannya. Menurut Agung, yang menjadi konsen dia adalah praktik-praktik membahayakan untuk si anak, seperti tidak menggunakan alat yang steril atau malah membuat kelainan pada alat kelamin.
Praktik sunat perempuan juga menjadi perhatian Tunggal Pawestri, aktivis perempuan dalam pesan pendeknya. Menurutnya, praktik sunat perempuan sendiri terjadi diberbagai tempat di belahan dunia seperti Timur Tengah, Eropa, Asia dan Amerika Serikat. Hanya saja sunat perempuan paling banyak terjadi di Afrika dan kelompok agama seperti Islam, Kristen, Yahudi dan penganut agama pribumi Afrika.
ADVERTISEMENT
Bahkan beberapa negara, saat ini menentang praktik sunat perempuan serta menjatuhkan tindak pidana atas praktik tersebut seperti Australia. Di Indonesia, fakta bahwa masih minimnya informasi terkait ketidakbermanfaatan sunat perempuan menjadi alasan praktik ini masih terus dijalankan.
Untuk itu, Mbak Tunggal panggilan saya kepadanya, giat untuk melobi pemerintah membuat kampanye yang luas dan masif serta mengajak para pemuka agama dan adat untuk menghentikan praktik ini. Mengingat Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan terakhir yang menunjukkan praktik ini, tertinggi di Gorontalo (83,7 %) dan terendah di Nusa Tenggara Timur (2,7 persen).
ADVERTISEMENT
Jadi, setelah terpapar informasi tentang sunat perempuan, bagaimana pendapatmu tentang sunat perempuan, wahai calon ayah?