Konten dari Pengguna

Pak Fery, Monumen Gempa dan Kota Gunungsitoli

Arsyad Iriansyah
Tertarik pada isu kebencanaan, travelling dan lari
15 Juli 2019 19:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arsyad Iriansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terik matahari menyelinap di jendela, kala saya tertidur pulas dalam penerbangan pagi dari Jakarta ke Gunungsitoli. Tiga hari ke depan, birunya laut, panas nan terik, dan tentunya becak motor akan mewarnai perjalanan saya di kota dengan tingkat ancaman bencana tinggi tersebut.
ADVERTISEMENT
“YA’AHOWU,” ucap seorang kawan yang tinggal di daerah sana.
Kota Gunungsitoli merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Nias berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 2008, di mana lokasinya berada di Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Meskipun secara administratif, Kota Gunungsitoli pemekaran dari Kabupaten Nias, namun secara historis dan geografis masih memiliki hubungan kebencanaan yang kuat terutama ketika gempa Nias 8,7 SR mengguncang Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005.
Motor Pak Fery melaju membelah setiap sisi sudut Kota Gunungsitoli dan berhenti di pemberhentian pertama saya, yaitu Museum Nias. Seorang petugas menghentikan motor tua Pak Fery dengan meminta saya membayar uang masuk dan parkir. Tiket sudah di tangan, Pak Fery seperti orang Gunungsitoli pada umumnya yang ramah dan membantu, mulai menjelaskan selak beluk setiap museum beserta sejarahnya.
ADVERTISEMENT
“Pak Arsyad, coba liat itu,” ucap beliau, di saat saya tengah asik memotret rumah adat Gunungsitoli.
Pak Fery mulai menjelaskan sebuah sepeda rusak beserta beton, yang bertuliskan bahwa benda tersebut adalah bekas dari gempa tahun 2005 yang meluluhlantankkan Kota Gunungsitoli di malam hari itu. Memahami bahwa Gunungsitoli adalah sebuah daerah dengan risiko bencana tinggi, saya yang sedari tadi pengin bertanya, mulai melancarkan pertanyaan kepada Pak Fery tentang pengalamannya sebagai penyintas gempa bumi.
“Waktu itu, Pak Fery sedang apa saat gempa?” tanya saya sambil melihat pantai dan bibir pantai yang mulai tampak sampah plastik.
“Ngeri! saya tidak mau ingat lagi itu,” raut wajahnya mulai berubah, tatapannya memancar ketakutan untuk mengingat dahsyatnya gempa bumi saat itu.
ADVERTISEMENT
Pak Fery mulai menghela nafas, beliau mulai menceritakan malam yang tidak pernah dibayangkan bahwa dia akan bisa selamat dari gempa itu. Saat itu Pak Fery, istri, dan satu anaknya yang lucu sudah tidur karena saat itu waktu sudah menunjukkan jam 11 malam.
Goyangan kecil mulai dirasa, pikirnya hanya perasaannya saja karena kasurnya sudah tua. Perasaannya menjadi aneh saat goyangan itu makin keras dan barang-barang di sekitarnya mulai berjatuhan. Lampu mulai padam, goyangan 8,7 SR semakin kuat dan bergerak dari kanan ke kiri dan atas ke bawah. Badannya yang kecil tak kuasa untuk berdiri tegak, diambil anaknya yang tengah terlelap tidur dengan berteriak memanggil istrinya untuk bangkit menyelamatkan diri.
ADVERTISEMENT
Setelah keluar dari rumah, lampu yang padam, teriakan orang meminta tolong, dan tangis mulai menggelayut di malam itu. Pun, rumah Pak Fery yang tak luput hancur akibat gempa tersebut.
Siap Untuk Selamat
Tahun 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan terdapat 2.572 kejadian bencana di mana tingkat kerusakan dan kerugian pada tahun 2018 saat Gempa dan Tsunami Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018 mencapai Rp 20,89 triliun. Lokasi Indonesia yang berada di simpang pertemuan tiga lempeng aktif yaitu Indo-Australia di selatan, Eurasia di utara dan Pasifik di timur menghasilkan lebih dari 70 sesar aktif dan belasan zona subduksi sehingga ancaman gempa bumi akan selalu mengintai kita setiap saat.
Pun, ancaman risiko bencana tidak bisa dihilangkan oleh karena itu kita dapat mengurangi kerentanannya dengan edukasi masyarakat tentang kesiapsiagaan saat bencana. Hal inilah yang dilakukan oleh BNPB dengan membuat Hari Kesiapsiagaan Bencana yang diperingati 26 april, tujuannya tak bukan agar masyarakat mulai tanggap saat gempa bumi atau fenomena alam lainnya.
ADVERTISEMENT
Monumen sebagai JAS MERAH
Langkah pemerintah Kota Gunungsitoli dengan membangun monumen gempa perlu diacungi jempol agar masyarakat atau wisatawan sadar bahwa ancaman bencana gempa bumi atau bencana lainnya di Kota Gunungsitoli bisa saja datang setiap waktu sehingga kesiapsiagaan masyarakat dalam menyelamatkan diri perlu disiapkan.
Hanya saja, apakah monumen gempa sebagai Jas Merah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah) sudah cukup sebagai indikator kesiapsiagaan?
Tentu ini menjadi tantangan sendiri oleh pemerintah dan masyarakat untuk dapat menginternalisasi kesiapsiagaan dalam dirinya. Perlu diketahui bahwa pendekatan yang lebih terpusat pada manusia dalam pencegahan risiko bencana sangat perlu. Praktik pengurangan risiko bencana harus berbasis multi-hazard dan multisektor, inklusif dan dapat diakses secara efisien dan efektif
ADVERTISEMENT
Secara umum, faktor utama banyaknya korban jiwa, kerusakan, dan kerugian yang timbul akibat bencana adalah masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat serta pelaku pengelola sumber daya hayati dan lingkungan terhadap risiko bencana di wilayahnya. Selain itu, dukungan mitigasi struktural yang belum memadai juga menjadi faktor tak terpisahkan. Hal ini mengakibatkan kesadaran, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana masih sangat kurang.
Jadi, kamu dan dia #SiapUntukSelamat ?