Gravitasi Hanya Bisa Diimani

Arsyad Maulana Dzulqornain
Mahasiswa Ph.D di University of Science and Technology, Korea Selatan. Menyukai banyak hal, termasuk matematika, sains, komputer, filsafat, dan sebagainya. Belajar sepanjang hayat untuk bisa membaca realitas yang telah dibuat-Nya.
Konten dari Pengguna
2 Februari 2023 6:49 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arsyad Maulana Dzulqornain tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Isaac Newton temukan teori gravitasi yang terinspirasi dari buah apel yang jatuh. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Isaac Newton temukan teori gravitasi yang terinspirasi dari buah apel yang jatuh. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Apakah gravitasi itu ditemukan atau diciptakan? Pertanyaan ini telah lama disodorkan sebagai bahan candaan kalangan pecinta sains hingga dijadikan meme.
ADVERTISEMENT
Umumnya, terdapat kebingungan antara penggunaan kata penemuan (discovery) dan penciptaan (invention)—meski kata penemuan lebih umum digunakan untuk keduanya dalam bahasa Indonesia.
Legenda mengatakan bahwa si jenius Isaac Newton “menemukan” gravitasi pada tahun 1665 atau 1666 saat tengah menikmati keheningan di bawah pohon apel layaknya seorang introver sejati—meski kemudian teori komprehensifnya baru dipublikasikan dua dekade setelahnya.
Jika gravitasi baru “diciptakan” saat itu, bukankah berarti orang-orang sebelumnya melayang? Bahkan lebih buruk lagi, tak ada yang namanya matahari dan bulan karena bumi mengambang begitu saja di lautan ruang. Begitulah kiranya yang jadi bayangan orang-orang yang menolak menggunakan kata penciptaan pada gravitasi. Namun, bisa saya pastikan, bahwa gravitasi mengalami dua proses: penemuan dan penciptaan.
Ilustrasi Ember Berisi Air Foto: Shutter Stock
Saat kita menarik timba dari dasar sumur, kita melihat ember bergerak mendekati kita. Gerakan ember mendekati kita (pengamat), kita ketahui sebagai fakta, karena kita dengan jelas mengamatinya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana gerakan ini terjadi? Setiap kejadian tentu memiliki penyebab. Tak bisa kita mengatakan ember ini bergerak begitu saja tanpa penyebab.
Dalam kasus ini, ember bergerak karena adanya gaya tarik tali. Tali, yang menjadi sumber gerak ember, juga merupakan fakta, karena dapat kita observasi dengan jelas.
Aktivitas tali dan pergerakan ember memiliki hubungan kausal yang tidak perlu kita buktikan, karena, sekali lagi dapat dengan jelas diobservasi.
Ilustrasi gravitasi. Foto: Helioscribe/Shutterstock
Namun, bagaimana dengan apel yang bergerak dari pohon ke tanah? Kejatuhan. Sebuah peristiwa yang tidak kita bilang aneh karena kita amati setiap harinya. Peristiwa setiap hari telah menyusun common sense “semua benda pasti jatuh” ke dalam kognisi kita. Namun, bila dipikir-pikir, apakah itu make sense? Tak ada tali, tak penyebab yang terlihat, tetapi apel bisa bergerak dari pohon hingga menyentuh permukaan tanah.
ADVERTISEMENT
Setiap kejadian memiliki penyebab. Pondasi dasar berpikir saintifik ini telah menjerat dan memaksa para ilmuwan untuk mempercayai yang gaib. Sebuah eksistensi yang disebut gravitasi pada akhirnya HARUS ADA demi tidak menyalahi landasan berpikir ini.
Dengan demikian, eksistensi gravitasi tak perlu dibuktikan keberadaannya, atau lebih tepatnya, tidak bisa. Sesimpel gravitasi ada karena memang HARUS ADA.
Dalam berpikir saintifik, kita harus meyakini landasan asumtif “setiap kejadian memiliki penyebab” bersifat general dan universal. Asumsi, yang lahir dari logika a posteriori dan melahirkan logika a priori, menjadi mata baru manusia dalam memandang alam.
Dengan menyisipkan asumsi pada fakta, pada akhirnya lahirlah keimanan terhadap yang gaib bagi para cendekiawan. Dengan asumsi inilah Newton melihat dan menemukan “gravitasi”. Di kala orang-orang telah terdoktrin oleh common sense “setiap benda pasti jatuh”, Newton malah menciptakan common sense baru “benda saling tarik menarik karena gravitasi”.
ADVERTISEMENT

Realitas Newton

Isaac Newton. Foto: Shutterstock
Penciptaan adalah proses yang datang setelah penemuan. Dua proses ini hampir selalu, jika tidak selalu, dilalui dalam metode ilmiah. Setelah benar-benar mengimani eksistensi gravitasi ini, barulah Newton mengembangkan teorinya yang lebih komprehensif agar turut diyakini banyak orang dan menjadi tak terbantahkan.
Hasilnya ia tuangkan dalam bukunya, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica atau lebih akrab disebut The Principia bersama dengan tatanan baru matematika yang juga ia ciptakan.
Sebelum bahasan mengenai gravitasi, Newton menemukan bahwa semua benda ternyata mematuhi tiga ketentuan (hukum) dalam urusannya dengan gerak: hukum inseria yang menyatakan bahwa setiap benda akan tetap dalam keadaannya (diam atau bergerak dengan kecepatan tetap) kecuali ada gaya luar yang bekerja; hukum akselerasi yang menyatakan bahwa gaya adalah perubahan momentum setiap waktu; dan hukum aksi-reaksi yang menyatakan bahwa setiap gaya aksi menyebabkan gaya reaksi yang setara tetapi berlawanan arah.
ADVERTISEMENT
Dalam ketiga hukum tersebut, terdapat satu kata kunci yang selalu ada: gaya. Gaya adalah penyebab gerak, demikianlah Newton mendeskripsikan realitas dari perspektifnya. Namun, perspektifnya ini akan segera menjadi perspektif dunia. Dengan perspektif ini, dunia kemudian menggeneralisasikan bahwa seluruh gerakan disebabkan oleh gaya.
Ilustrasi apel Newton. Foto: Shutterstock
Jika gaya adalah penyebab gerak, maka fenomena apel jatuh pun juga disebabkan oleh gaya. Apalagi, kita tahu setiap benda jatuh dengan akselerasi tetap. Ini sesuai dengan hukum keduanya. Akhirnya, gravitasi pun dipandang sebagai gaya; gaya gravitasi. Gaya gravitasi ini dideskripsikan sebagai interaksi dua massa.
Namun, mendeskripsikan gravitasi berbeda dengan membuktikan gravitasi. Gravitasi tetaplah menjadi fenomena gaib yang tak teramati dan hanya kita percayai karena dampaknya terlihat.
ADVERTISEMENT
Selain membuat buah jatuh tak jauh dari pohonnya, gravitasi juga menyebabkan bulan bergerak mengelilingi bumi, juga bumi mengelilingi matahari. Sebenarnya, peristiwa bulan mengitari bumi ini tak berbeda dengan kejatuhan. Hanya saja, bulan tampak mengitari bumi karena jatuh terus menerus.
Pergerakan bulan mengitari bumi, juga bumi mengitari matahari, bukanlah hal baru. Sains Newton tak melahirkan konsep ini. Justru, konsep inilah yang mendasari deduksi Newton.
Ilustrasi kecepatan cahaya Foto: pixhere
Sebelum masa pencemaran cahaya, manusia mampu mengobservasi langit malam dengan mata telanjang. Di antara bintang-bintang yang konstan, ada beberapa yang pergerakannya tak masuk akal.
Mereka yang kemudian kita kenal sebagai planet: Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus, dan Uranus. Para filsuf yang merasa janggal dengan pergerakan objek-objek langit ini, termasuk Bulan dan Matahari, kemudian mendeduksi bahwa Bumi bukanlah pusat semesta.
ADVERTISEMENT
Konsep heliosentris kemudian terlahir. Konsep heliosentris ini disempurnakan oleh Copernicus melalui persamaan matematisnya dan dibuktikan oleh Galileo melalui pengamatannya dengan teleskop—salah satunya adalah fase Venus dan satelit Jupiter.
Newton hanyalah salah satu bagian dari seluruh perkembangan konsep semesta ini. Ia adalah seorang jenius karena, sementara para pendahulunya berusaha menjawab “bagaimana peredaran benda langit,” Newton justru menjawab “mengapa benda langit beredar.” Namun, konsep ciptaannya pun pada akhirnya menemukan jalan buntu.
Selain Merkurius bergerak dalam orbit elips, orbitnya sendiri pun bergerak mengitari Matahari
Di antara objek-objek langit yang telah terjelaskan, Merkurius ternyata menjadi bagian yang tak terjelaskan. Salah satu penyumbang konsep heliosentris adalah Johannes Kepler melalui bukunya Astronomia Nova pada tahun 1609.
Melalui 10 tahun pengamatannya, dia menyimpulkan bahwa orbit planet seharusnya merupakan elips, bukan lingkaran. Namun, bukan ini yang menjadi titik masalah konsep Newton.
ADVERTISEMENT
Nowton menjelaskan elipsitas orbit Kepler dengan baik dalam The Principia-nya, kecuali pergerakan Merkurius. Sementara Merkurius berevolusi mengelilingi matahari, orbit revolusinya pun turut berevolusi. Artinya, orbitnya terus berubah dalam periode waktu tertentu.
Konsep Newton pun memerlukan beberapa perubahan ad hoc demi memaksakan terjelaskannya pergerakan ini. Maka, konsep Newton tak bisa kita bilang mendeskripsikan realitas yang sebenarnya. Namun, seorang jenius baru terlahir demi membetulkan Newton: dialah Einstein.

Realita Einstein

Ilustrasi Gedung Bertingkat Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Banyak yang berasumsi bahwa konsep Einstein lahir dari eksperimen yang luar biasa. Padahal, itu terlahir dari lamunannya di siang bolong saat bekerja di lembaga paten. Saat itu, Einstein ada di lantai atas sebuah gedung. Ia yang kurang kerjaan berkhayal, apa yang akan terjadi jika dirinya jatuh dari jendela?
ADVERTISEMENT
Tentu saja bergerak ke bawah dengan percepatan konstan, demikian jawab kognisinya. Sekarang kita abaikan faktor lain: udara dan tanah. Semisal dia jatuh terus menerus dalam ruang tanpa gesekan udara, efeknya akan sama seperti mengambang di angkasa lepas tanpa berat. Barulah ketika ada permukaan di bawah telapak kakinya, lantai misalnya, dia akan merasa memiliki berat.
Sekarang bayangkan begini. Ia ada di dalam sebuah ruang yang tertutup. Ia menimbang dirinya, dan dia memiliki berat. Apakah kita bisa menyimpulkan bahwa ruangan itu ada di permukaan bumi yang dipengaruhi medan gravitasi, atau ada di dalam roket yang melaju ke atas di angkasa lepas dengan percepatan setara percepatan gravitasi?
Takkan bisa dibedakan, demikian jawab kognisinya. Ia membayangkan lagi, jika senter dinyalakan di dalam roket yang bergerak ke atas dengan percepatan gravitasi, maka cahaya senter tidak akan bergerak lurus ke depan, melainkan sedikit bengkok ke bawah, karena kecepatan cahaya sifatnya tetap.
Sifat cahaya di ruang yang bergerak di angkasa dengan percepatan gravitasi sama dengan sifat cahaya di ruang di permukaan bumi, sama-sama melengkung
Dengan demikian, agar sama, saat senter dinyalakan di permukaan bumi, cahayanya juga haruslah sedikit bengkok. Kenapa harus sama? Well, itu asumsi yang dipercayai Einstein. Sains dilandasi oleh kepercayaan dan asumsi.
ADVERTISEMENT
Demikianlah adanya. Dengan asumsi ini, Einstein kemudian menyimpulkan bahwa ruang-waktu di permukaan bumi haruslah bengkok. Dengan bantuan temannya yang ahli dalam geometri ruang melengkung, Marcel Grossman, Einstein pun membangun konsepnya. Ajaibnya, saat persamaan medannya diterapkan kepada orbit Merkurius, hasilnya akurat.
Tentu saja Einstein takkan dibilang jenius jika modelnya tak terbukti di kenyataan. Empat tahun setelah dipublikasikan, pada 29 Mei 1919, Sir Arthur Eddington melakukan pengamatan terhadap bintang di belakang Matahari.
Pengamatan ini harus dilakukan ketika gerhana, karena, saat kondisi terang benderang, bintang di belakang Matahari tak mungkin teramati. Hasilnya mencengangkan. Bintang-bintang Hyades di belakang Matahari ternyata agak menjauhi Matahari, sesuai dengan prediksi Einstein.
Hal ini, menurut Einstein, disebabkan oleh ruang-waktu yang bengkok akibat gravitasi Matahari. Realitas dunia pun berubah sejak saat itu. Melengkungnya ruang-waktu menjadi realitas baru yang kita yakini sebagai “realitas sebenarnya” bagaimana dunia bekerja, sedangkan konsep Newton kini tinggal menjadi konsep belaka, salah satu jejak dalam sejarah sains untuk menemukan “realitas sebenarnya”.
ADVERTISEMENT

Realita Sebenarnya

Albert Einstein. Foto: AFP
Namun, apakah “realitas sebenarnya” yang kita yakini memang merupakan realitas yang sebenarnya? Realitas yang dibangun Newton, dulu tampak paripurna hingga diyakini sebagai “realitas sebenarnya”.
Konsep Newton sakral dan tak terbantahkan, hingga beberapa ilmuwan pun mencemooh Einstein yang berusaha membantah konsep Newton. Belajar dari masa lalu, apakah konsep Einstein memang benar-benar realitas yang sebenarnya? Kita tak pernah tahu.
Mungkin akan ada jenius baru yang terlahir untuk membantah realitas Einstein. Setelah itu pun, mungkin akan ada jenius baru lagi yang membantah realitasnya. Yang jelas, saat ini, untuk kasus-kasus yang telah teramati, konsep Einstein mampu menjelaskannya dengan akurat.
Akan paling bijak memandang konsep Einstein sebagai “model terbaik” untuk menjelaskan realitas saat ini. Masalah apakah memang itu realitas sebenarnya, atau hanya suatu konsep imajiner dalam ruang di kepala kita yang kita gunakan untuk memahami realita, kita tak pernah tahu.
Albert Einstein. Foto: AFP
Namun, realitas yang sebenarnya pastilah ada. Maka, dibutuhkan pengamat universal yang menjadi standar kebenaran objektif semesta.
ADVERTISEMENT
Gravitasi, baik yang dikatakan Newton maupun Einstein, hanyalah suatu konsep. Sebuah model. Model itu diciptakan. Keduanya berusaha memberikan deskripsi terbaik mengenai gravitasi. Namun, gravitasi sendiri masihlah menjadi eksistensi gaib yang hanya dapat dibuktikan dari dampaknya.
Benda bergerak dengan akselerasi tetap, itu membuktikan bahwa gravitasi merupakan gaya. Cahaya melengkung di sekitar Matahari, itu membuktikan bahwa gravitasi merupakan kelengkungan ruang-waktu.
Namun, sebelum membuktikan apa itu gravitasi, tentu kita harus percaya terlebih dahulu bahwa gravitasi itu ada. Dan satu-satunya cara membuktikan gravitasi ada adalah dengan deduksi: jika dampaknya ada, maka penyebabnya harus ada. Pondasi dari seluruh deskripsi mengenai gravitasi, pada akhirnya adalah keimanan terhadap asumsi ini.