Tantangan Pengawasan Persaingan Usaha pada Ekonomi Digital

Aru Armando
Investigator Utama, Direktur Merger & Akuisisi KPPU RI
Konten dari Pengguna
8 September 2023 11:41 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aru Armando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi nasib pekerja di era ekonomi digital. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi nasib pekerja di era ekonomi digital. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu hal paling lumrah ketika kita hendak memutuskan untuk membeli barang adalah dengan cara membandingkan harga barang yang akan dibeli di beberapa lokasi penjualan. Jika di satu wilayah, katakanlah setingkat kecamatan terdapat 15 toko retail, maka dibutuhkan usaha yang menyita waktu, tenaga, bahkan biaya hanya untuk membandingkan harga barang yang akan kita beli.
ADVERTISEMENT
Namun, di era digital seperti saat ini, kita cukup membuka smartphone—yang hampir semua lapisan memilikinya—lalu berselancar di internet mencari di online platform untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Mungkin hanya butuh waktu 10 hingga 15 menit. Itu pun bisa dilakukan sambil rebahan. Bandingkan jika kita melakukan survei secara fisik ke-15 toko retail tersebut.
Internet, memudahkan konsumen untuk mencari barang dan/atau jasa yang diinginkan dengan beragam bentuk informasi. Misalnya variasi produk dengan perbandingan harganya, ketersediaan barang atau jasa, waktu untuk mendapatkan, kualitas maupun lokasi. Pertanyaannya, apakah perkembangan teknologi dan ekonomi digital yang sangat pesat akan melulu memberikan keuntungan buat kita? Atau sebaliknya, ternyata ada potensi yang dapat merugikan?
Salah satu dampak dari perkembangan ekonomi digital adalah munculnya beragam aplikasi dan platform yang dalam perkembangannya menimbulkan efek disrupsi di banyak sektor ekonomi. Perkembangan platform digital telah banyak menyediakan infrastruktur digital yang menyediakan berbagai layanan, di antaranya marketplace (Shopee, Tokopedia, Lazada, dll), application stores (Apple, Android), media sosial (Facebook, Instagram, dll), ride hailing (Gojek, Grab, dll), dan mesin pencari (Google, Bing, dll).
ADVERTISEMENT
Berbagai layanan yang diberikan oleh platform digital—yaitu berupa data dan informasi—nyatanya dihasilkan dari data dan informasi yang diolah sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan dari masyarakat. Seperti contoh yang disebutkan sebelumnya, memberikan informasi tentang perbandingan harga sebuah barang.
Saat ini, mafhum jika tiap orang memiliki platform digital yang beragam dan nyaris lengkap. Misalnya, punya akun media sosial, sekaligus memiliki aplikasi marketplace, aplikasi layan-antar, dan sebagainya.
Sebagian orang terkadang bingung, mungkin nyaris takjub betapa apa yang ia pikirkan atau butuhkan bisa muncul di beranda aplikasi yang mereka miliki. Misalnya, baru saja melakukan pencarian di internet tentang penyakit batuk, tetiba sudah muncul banyak iklan tentang obat batuk, lengkap dengan berbagai jenis merek dan tempat di mana dapat membelinya di aplikasi yang kita miliki. Entah di aplikasi marketplace, atau bahkan di media sosial.
ADVERTISEMENT
Ya benar, media sosial dewasa ini bukan sekadar menjadi tempat berinteraksi sosial secara digital, namun lebih daripada itu telah menjadi sarana berusaha yang cukup efektif.
Data dari Price Waterhouse Coopers 2018 menunjukkan keberadaan platform digital tersebut telah mengubah landscape bisnis secara global, karena pada tahun 2009 eksistensi mereka dalam daftar 10 besar perusahaan top dunia berdasarkan jumlah kapitalisasi pasarnya (market capitalization) tidaklah signifikan dan hanya diwakili oleh satu perusahaan yang berbasis teknologi yaitu Microsoft.
Namun, di tahun 2018 eksistensi mereka sudah mampu mendominasi daftar 10 besar perusahaan top global berdasarkan jumlah kapitalisasi pasarnya. Bahkan, akan terus berlanjut ke depannya.
Salah satu penyebab perusahaan digital mengembangkan skalanya secara cepat adalah karena kemampuan mereka untuk memonetisasi data dan informasi dari pengguna aplikasi atau platformnya. Akumulasi Data sebagai aset yang dimiliki oleh platform digital ditambah dengan network effect (efek jaringan) dapat memberikan kekuatan pasar (market power) buat platform digital. Dan seperti halnya perusahaan konvensional, pelaku usaha platform digital juga berpotensi menyalahgunaan kekuatan pasar yang dimiliki. Apa itu network effect?
ADVERTISEMENT
Menurut Rhido Jusmadi dalam studinya tahun 2023 menyatakan, contoh klasik dari network effects ini adalah telepon, di mana telepon akan semakin menjadi berguna, dan menjadi berharga, jika semakin banyak orang yang menggunakannya.
Dalam konteks platform digital, network effects akan muncul ketika semakin banyak konsumen menggunakan dan mengadopsi layanan digitalnya, dalam hal ini algoritma search engine Google akan meningkat apabila terjadi volume pencarian yang sangat tinggi, fitur-fitur sosial yang ada di dalam Facebook akan bekerja dengan baik ketika semakin banyak teman yang membagikan konten mereka, dan sebagainya.
Lebih lanjut dalam studi tersebut disampaikan, kekuatan pasar oleh platform digital menjadi sumber kekhawatiran karena dapat mengakibatkan:
ADVERTISEMENT

Pengawasan oleh Otoritas Persaingan Usaha

Ilustrasi ekonomi digital. Foto: Getty Images
Ibarat koin mata uang, ternyata perkembangan teknologi yang demikian pesat tidak hanya memberikan dampak positif dalam kehidupan manusia, namun sebaliknya punya dampak yang cukup mengkhawatirkan jika disalahgunakan oleh oknum tertentu. Khususnya dalam bidang perekonomian dengan menciptakan distorsi dan penyalahgunaan posisi dominan oleh perusahaan platform digital.
Pesatnya perkembangan dunia teknologi digital faktanya cukup membuat kerepotan otoritas persaingan usaha di dunia. Pasalnya, pendekatan konvensional yang selama ini digunakan dirasa tidak cukup kompatibel dalam menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha.
Contoh sederhananya, salah satu hal penting yang dilakukan oleh otoritas persaingan usaha ketika menangani dugaan pelanggaran adalah dengan terlebih dahulu mendefinisikan pasar bersangkutan (relevant market).
ADVERTISEMENT
Relevant market, biasanya didefinisikan dengan melakukan analisa atas pasar produk barang dan/atau jasa, ditambah analisis jangkauan wilayah pemasaran, atau pasar geografis. Untuk analisis pasar produk misalnya, mendefinisikan produk akan menjadi tantangan tersendiri dalam transaksi digital.
Tidak hanya itu, otoritas akan kesulitan saat melakukan analisis pasar geografis terkait jangkauan pemasaran. Bagaimana tidak, dengan platform digital, perdagangan atau transaksi dilakukan lintas batas negara. Bukan lagi dalam wilayah satu negara.
Analisis konvensional seperti small but significant and non-transitory increase in price test (SSNIP), dalam penyalahgunaan posisi dominan dan penilaian merger, tidak cukup dalam memberikan penilaian ketika dihadapkan pada kasus-kasus terkait platform digital. Hal ini disebabkan karena karakteristik yang berbeda antara pasar konvensional dengan pasar digital.
ADVERTISEMENT
Menyikapi perkembangan ekonomi digital, salah satu contoh intervensi kebijakan dan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh Uni Eropa yang merilis Digital Market Act. Melalui regulasi UU Pasar Digital Uni Eropa ini, dibuat serangkaian aturan bagi perusahaan internet yang mengontrol akses data dan platform. Marghrete Vestager, Kepala Antitrust Uni Eropa yang mengusulkan UU Pasar Digital Uni Eropa menyatakan keinginannya agar regulasi tersebut menciptakan pasar yang adil dalam dunia digital.
Pertanyaannya, apakah Indonesia membutuhkan regulasi seperti UU Pasar Digital Uni Eropa? Untuk menjawabnya maka perlu dipahami 2 (dua) model pendekatan dalam penerapan regulasi, yakni pendekatan ex ante dan ex post.
Dengan adanya Undang-Undang Khusus, katakanlah seperti UU Pasar Digital yang menggunakan pendekatan ex ante, sifatnya mencegah potensi penyalahgunaan. Sementara Hukum Persaingan Usaha (HPU) yang ada saat ini, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sifatnya ex post. Ada peristiwa atau perilaku terlebih dahulu, baru ditindak.
ADVERTISEMENT
Pendekatan ex ante yang sifatnya mencegah, seolah dipandang sebagai hal positif karena potensi terjadinya penyalahgunaan dapat dicegat di depan. Pendekatan ex ante mengarah ke heavy regulated atau heavy handed. Singkatnya, ada pengaturan yang sangat ketat pada suatu industri.
Menariknya, sifat dari pasar digital adalah lentur dan sarat akan inovasi. Ada kekhawatiran, jika regulasi mengatur dengan ketat atau bahkan kelewat ketat, akan menghambat inovasi. Sementara, inovasi adalah insentif buat pelaku usaha pasar digital itu sendiri.
Di sisi lain, dengan HPU yang berlaku saat ini yang bersifat ex post, apakah masih memadai untuk digunakan dalam menghadapi perubahan yang sedemikian pesat. Atau bisa dianggap memadai dan cukup membuat guidelines (pedoman) khusus untuk mengawasi.
ADVERTISEMENT
Diskursus ini tentu sangat menarik untuk di bicarakan bersama oleh semua stakeholder, baik akademisi, lembaga terkait yang berwenang dan tentu saja pelaku usaha di pasar digital. Dengan tujuan untuk menciptakan persaingan usaha sehat, dengan memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memperhatikan kebutuhan dari pelaku usaha di pasar digital agar senantiasa tetap dapat membuat terobosan dan inovasi tanpa terbelenggu aturan yang dikhawatirkan akan mengganggu kelenturan pada sektor industri tersebut.
Dan, tantangan bagi Otoritas Persaingan Usaha, dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk terus berbenah dan meningkatkan capacity building dalam menghadapi perkembangan yang demikian pesat.