Konten dari Pengguna

Pajak Karbon Optimal: Polusi Berkurang, Penerimaan Berkembang

Arvian Taniar Effendi
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN, Prodi D4 Manajemen Keuangan Negara
30 Januari 2025 14:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arvian Taniar Effendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Penulis
ADVERTISEMENT
Pajak Karbon sebagai Pigouvian Tax
Ketika mendengar kata "pajak", seringkali kita hanya melihat dari sisi negatifnya saja sehingga terkesan memberatkan. Namun, tahukah kalian salah satu jenis pajak yang dapat menyelamatkan Bumi? Benar, jawabannya adalah pajak karbon. Pajak karbon merupakan upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi permasalahan akibat meningkatnya gas karbondioksida (CO2), seperti perubahan iklim dan pemanasan global. Pastinya, kita tidak mengharapkan adanya eksternalitas yang dibawa oleh pabrik, kendaraan bermotor, ataupun sektor lain penghasil CO2 tanpa menerima kompensasi. Sesuai dengan prinsip keadilan, pihak penyebab eksternalitas idealnya harus ikut membayar kepada pihak yang terdampak. Dalam hal ini, mereka akan dikenakan pajak karbon.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan komitmen Indonesia dalam membangun green economy dan Net Zero Emission (NZE), pajak karbon telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pengenaan pajak karbon silakukan secara step by step mulai dari mekanisme perdagangan karbon (carbon trade) pada 2021, mekanisme pajak atas batas emisi (cap and tax) terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara pada 2022-2024, hingga implementasi perluasan sektor pengenaan pajak karbon dan perdagangan karbon secara penuh pada 2025 dan seterusnya. Pajak karbon ini tidak hanya diharapkan menjadi pendorong iklim investasi ramah lingkungan, tetapi juga sumber penerimaan baru.
Tahapan implementasi pajak karbon di Indonesia berjalan sesuai dengan roamap yang telah direncanakan. Mulai pada tanggal 1 April 2022, 80 PLTU batu bara telah dikenakan pajak karbon sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Melalui skema cap and tax, wajib pajak harus membayar pajak karbon apabila emisi telah melebihi cap yang telah ditentukan. Wajib pajak dapat membeli sertifikat karbon yang dijual di pasar karbon untuk mengurangi pajak karbon terutang. Kendati demikian, di tahun 2025 akan menjadi tantangan tersendiri karena pengenaan pajak karbon untuk sektor transportasi dan beberapa industri masih belum terjangkau. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan skema lain yang menjadi alternatif pengenaan pajak karbon secara menyeluruh guna mencapai Net Zero Emission. Ditinjau dari studi Sutartib (2021), terdapat dua mekanisme pengenaan pajak karbon sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Pengenaan Pajak Karbon melalui Pendekatan Bahan Bakar
Pengenaan pajak karbon mempunyai beberapa tantangan, misalnya sektor transportasi dan industri berskala kecil yang sulit secara administrasi untuk menghitung jejak karbonnya. Dengan demikian, pengenaan pajak karbon yang cocok adalah melalui pendekatan bahan bakar. Pendekatan bahan bakar ini dilakukan dengan tarif pada bahan bakar yang digunakan, misalnya tarif per kg batu bara yang digunakan oleh industri dan tarif per liter bensin yang digunakan oleh moda transportasi. Pada prinsipnya, barang terutang pajak karbon saat keluar dari tempat produksi atau saat diimpor.
Mari kita ambil contoh simulasi pengangkutan barang terutang pajak karbon dan pembayaran pajak karbon untuk bahan bakar bensin. Di mulai dari Operator Kilang Minyak, Importir, Depo dan SPBU sebagai pengusaha kena pajak karbon (registered tax payer). Pada saat pengangkutan atau distribusi, mereka harus melampirkan dokumen pengangkutan barang kena pajak karbon belum lunas yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Mekanisme pelunasan pajak karbon dapat dimulai pada saat bensin keluar dari tempat penyimpanan (Depo dan SPBU) serta harus dibayarkan oleh pengusaha kena pajak karbon. Pada akhirnya, konsumen akhir akan menanggung harga bensin yang sudah dikenai pajak karbon tersebut. DJP dapat menggunakan mekanisme tersebut atau bisa juga dengan mekanisme yang sama seperti administrasi pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
ADVERTISEMENT
Pengenaan Pajak Karbon melalui Pendekatan Emisi Langsung
Industri dengan skala yang besar dan sektor pembangkit listrik lebih efektif dikenakan pajak karbon dengan pendekatan emisi. Hal itu disebabkan emisi yang dihasilkan oleh sektor tersebut sangatlah besar. Pajak karbon dikenakan berdasarkan jumlah emisi aktual pada lokasi pembuangan gas karbon dioksida misalnya pada cerobong asap. Untuk mengetahui besaran emisi, wajib pajak perlu menghitung emisi dengan cara pengambilan sampel secara berkala, penggunaan sistem pengukuran emisi berkelanjutan (CEMS), atau penggunaan metode neraca masa dan energi. Melalui beberapa metode penghitungan emisi tersebut, wajib pajak melaporkan jumlah emisi yang dihasilkan kepada DJP. Jumlah emisi itulah yang kemudian digunakan sebagai dasar pengenaan pajak karbon terutang.
ADVERTISEMENT
Pendekatan emisi sangat relevan diterapkan pada industri berskala besar sebab emisi yang dihasilkan bukan hanya dari penggunaan bahan bakar saja, tetapi juga hasil dari proses industrinya. Sebagai contoh, industri semen memerlukan batu kapur (CaCO3) sebagai bahan baku. Selanjutnya, batu kapur perlu diproses menjadi CaO yang merupakan bahan organik penyusun semen. Dari proses tersebut, terbentuk karbon dioksida (CO2) sebesar 0,44 kg dari 1 kg CaCO3 menjadi 0,56 CaO. Tentunya, masih banyak industri lain yang memiliki proses produksi yang menghasilkan emisi karbon signifikan, seperti industri besi dan bahan kimia dasar.
Pendekatan emisi langsung memerlukan peran institusi khusus dalam pembuatan pedoman pengukuran, pelaporan dan verifikasi. Dalam hal ini, Kementerian ESDM-lah yang ditunjuk. Instansi tersebut juga menentukan batas atas emisi (cap) sebagai dasar penetapan registered tax payer oleh DJP. Sistem pembayaran pajak dilakukan dengan mengurangkan cap dengan jumlah emisi aktual. Apabila jumlah emisi aktual di atas cap, wajib pajak dapat membeli sertifikat karbon atau membayar pajak karbon secara langsung. Sebaliknya, apabila jumlah emisi di bawah cap, wajib pajak dapat memperdagangkan sertifikat karbon di pasar karbon.
ADVERTISEMENT
Menuju Negara Bebas Karbon dan Kontribusi bagi Penerimaan Negara
Pajak karbon memiliki peran penting dalam mewujudkan Net Zero Emission dan meningkatkan investasi ramah lingkungan. Saat ini pajak karbon hanya sebatas cap and tax pada PLTU batu bara. Dalam upaya optimalisasi pengenaan pajak karbon, Indonesia dapat membuat skema yang mengintegrasikan pendekatan bahan bakar dan emisi langsung. Skema ini sejalan dengan tahapan implementasi pajak karbon pada UU HPP, yaitu perluasan sektor pengenaan pajak karbon dan perdagangan karbon secara penuh pada 2025. Skema tersebut diharapkan dapat menjangkau seluruh aktivitas yang mengasilkan gas emisi, baik industri dengan skalan besar maupun kecil. Pastinya, implementasinya tidak dapat dilakukan secara simultan, melainkan secara bertahap dengan tetap memperhatikan kesiapan dari sisi industri dan ekonomi. Semakin optimal pajak karbon, semakin dekat pula Indonesia menuju Net Zero Emission. Tidak hanya itu, pendapatan dari pajak karbon juga dapat menjadi alternatif penerimaan negara yang nantinya bermanfaat untuk membangun negara.
ADVERTISEMENT