Transportasi Publik Surabaya yang Terpinggirkan: Hanya Menjadi Warga Kelas Dua

Arvin Nugroho
Mahasiswa Jurnalistik di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Memiliki ketertarikan dalam Transportasi Publik
Konten dari Pengguna
14 Februari 2023 10:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arvin Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Angkot Foto: Arif Firmansyah/ANTARA
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Angkot Foto: Arif Firmansyah/ANTARA
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di saat kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Solo berlomba-lomba untuk saling berbenah memperbaiki akses transportasi umum bagi warganya, Surabaya seperti hanya diam di tempat.
ADVERTISEMENT
Beragam wacana dari pemerintah kota Surabaya sejak era Wali Kota Surabaya (2010-2020) Tri Rismaharini hingga Eri Cahyadi (2020-sekarang) di media massa seperti LRT, Trem, Monorail belum satu pun yang terwujud.
Hingga saat ini, warga Surabaya masih belum dapat menikmati haknya atas aksesibilitas dan mobilitas yang aman dan nyaman. Lantas, bagaimana keberpihakan pemerintah kota Surabaya dalam transportasi umum?
Setiap tahun, kendaraan bermotor di Surabaya meningkat signifikan dan berlangsung sejak lama hingga saat ini. Bahkan, Surabaya berada dalam urutan pertama di Jawa Timur yang mencatatkan pertumbuhan volume kendaraan R2 maupun kendaraan R4 paling besar, yaitu 7,03% per tahun dari 1.944.802 kendaraan tahun 2015 menjadi 2.081.449 kendaraan pada tahun 2016 dan 2.159.069 kendaraan pada tahun 2017.
Ilustrasi polusi udara. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Dengan pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor berdampak signifikan terhadap kemacetan, polusi suara, polusi udara, dan kecelakaan.
ADVERTISEMENT
Warga Surabaya tentu tidak asing dengan macetnya Bundaran Waru hingga Jalan Ahmad Yani yang merupakan akses Sidoarjo ke Surabaya begitupun sebaliknya seperti yang sering diberitakan oleh Radio Suara Surabaya.
Kendati demikian, semasa Tri Rismaharini atau yang kerap disapa Risma menjabat sebagai Wali kota ini pernah menaruh sengkarut masalah kemacetan yang diakibatkan pesatnya pertumbuhan volume kendaraan menjadi prioritas program kerjanya.
Hal tersebut dapat dilihat dari pertemuannya dengan Menteri Perhubungan saat itu Ignasius Jonan untuk membahas Kehadiran Angkutan Massal Cepat (AMC) pada 2015.
Menteri Sosial Tri Rismaharini menyampaikan keterangan kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (30/4/2021). Foto: Reno Esnir/ANTARA FOTO
Bahkan agenda tersebut telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Panjang (RPJMP) yang akan dikerjakan tahun 2015 dan selesai pada tahun 2017 dengan total dana sekitar Rp 2 triliun. Namun, agenda tersebut hingga Wali kota Surabaya berganti menjadi Eri Cahyadi tak kunjung menjadi kenyataan.
ADVERTISEMENT
Risma justru memperlihatkan sikap kontradiktif di penghujung jabatannya dengan mengatakan bahwa kualitas udara di Surabaya setiap tahun semakin membaik dengan banyaknya taman meskipun volume kendaraan semakin banyak. Hal tersebut tak heran jika media lokal Surabaya bahkan menyebut Risma sebagai Bu Giman (Ibu Gila Taman).
“Saya nggak bisa lha orang sedeng seneng-senengnya naik mobil ngga boleh naik mobil terus gimana saya? Dia baru seneng kaya baru bisa beli mobil ngga boleh naik mobil yaudah saya tanemin semua hanya untuk menyerap polusi,” sambung Risma di acara IDNTimes Conference Januari 2020
Namun, Risma patut diberikan kredit terhadap langkahnya dalam memulai membangun transportasi publik dengan diluncurkannya Suroboyo Bus pada 2018.
Ilustrasi sopir bus Foto: dok. Nugroho Febianto
Walau hingga saat ini statusnya masih dipertanyakan oleh warga Surabaya, apakah Suroboyo Bus ini merupakan transportasi umum atau hanya akomodasi untuk bus wisata yang bisa dilihat dari rute dan sedikitnya armada.
ADVERTISEMENT
Suroboyo Bus memang berbeda daripada transportasi publik biasanya, di mana pembayaran dilakukan dengan menukar botol plastik meski saat ini telah bertransformasi sehingga dapat dilakukan melalui e-wallet, e-money ataupun cash sejak Eri Cahyadi menjabat.
Lalu bagaimana dengan Wali kota Surabaya, Eri Cahyadi, dalam menyelesaikan permasalahan transportasi publik? Berbicara soal transportasi publik, Eri fokus pada perencanaan MRT/LRT dalam jangka panjang yang juga akan menggantikan sopir angkot menjadi sopir bus feeder untuk MRT/LRT. Pembangunan MRT/LRT pun rencananya akan menggunakan tanah aset pemerintah kota Surabaya.

Transportasi Umum Surabaya Sepi Peminat

Perempuan Indonesia Kerap Mengalami Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Ruang Publik. Foto: Shutterstock
Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Surabaya mencatat jumlah penumpang Suroboyo Bus selama 2018-2022 sebesar 4.174.003 orang. Suroboyo Bus mencatatkan jumlah penumpang terbanyak pada tahun 2019 sebesar 1.123.177 orang, di mana Dishub Surabaya menambah armada Suroboyo Bus 2x lipat dari 10 menjadi 20.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, setiap harinya Suroboyo Bus hanya mencatatkan 2.728 orang penumpang. Jumlah itu terbilang sangat kecil jika dibandingkan dengan BRT Semarang yang mampu mencapai 30 ribu penumpang harian.
Perlu diingat jika penduduk kota Surabaya saat ini 3,1 juta orang, sedangkan 1,6 juta orang sehingga bisa dikatakan jika Suroboyo Bus masih sepi peminat dan belum menjadi andalan bagi warga Surabaya.
Tak hanya Suroboyo Bus saja, angkutan kota (angkot) di Surabaya juga tak mampu menjawab kebutuhan mobilitas warga Surabaya. Ini bisa terlihat dari jumlah angkot yang beroperasi di Terminal Joyoboyo menurun secara bertahap sejak tahun 2015.
Jalanan Surabaya, Jawa Timur Foto: Devi Pattricia/kumparan
Data dari Dishub Surabaya pada tahun 2015 terdapat 1.012 unit angkot yang masih beroperasi di Terminal Joyoboyo. Jumlah itu menurun signifikan pada tahun 2019 dengan hanya menyisakan 188 unit.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi tersebut, apa yang menjadi penyebab transportasi umum sepi peminat? Setidaknya terdapat 3 kondisi yang menjadi tolok ukur penumpang yaitu (1) kenyamanan, (2) waktu layanan atau durasi perjalanan, dan (3) aksesibilitas baik dari tarif pembayaran dan jangkauan.
Dari kaca mata kenyamanan, mungkin hanya Suroboyo Bus dan kereta lokal yang dapat masuk dalam kategori nyaman. Suroboyo Bus telah menggunakan tipe lower deck yang memudahkan naik-turun penumpang.
Selain itu telah dilengkapi AC, CCTV, dan tempat duduk prioritas bagi lansia, ibu hamil, serta kaum difabel. Sedangkan kereta lokal punya fasilitas yang tak jauh berbeda meski tempat duduknya tidak seperti KRL di Jakarta atau Jogjakarta. Hal ini berbanding terbalik dengan angkot maupun bus kota. Kondisi mobil yang sudah tua, tidak ber-AC dan belum lagi rawan pencopet.
Ilustrasi angkot Jak Lingko. Foto: Instagram/@regensilalahi
Belum lagi soal harga, angkot maupun bus kota di Surabaya sangatlah mahal. Andriansyah Yasin Sulaeman, founder dari Transport for Jakarta, di tahun 2021 melakukan percobaan perjalanan menggunakan bus kota untuk pergi ke pusat kota dari Terminal Purabaya dengan jarak kurang lebih 10 km mengeluarkan biaya Rp 10.000.
ADVERTISEMENT
Belum lagi angkot berjalan dengan sistem trayek, di mana jika ingin berpindah ke rute lain maka harus merogoh kocek kembali. Dengan biaya yang dikeluarkan, ia harus duduk di kursi buluk tanpa AC.
Minimnya fasilitas, mahalnya biaya dan kenyamanan angkot dan bus kota ini membuat warga Surabaya enggan naik transportasi umum dan memilih kendaraan pribadi.
Kedua, waktu layanan. Waktu tempuh Suroboyo Bus juga masih belum sesuai dengan yang dijadwalkan. Seringkali penumpang Suroboyo Bus harus menunggu kurang lebih selama 30 menit.
Ilustrasi sopir dan kenek bus Foto: dok. Nugroho Febianto
Selama ini memang Suroboyo Bus telah memiliki aplikasi tersendiri untuk memudahkan warga melihat jadwal keberangkatan, tetapi masih belum dapat diandalkan karena seringkali tidak sesuai. Idealnya transportasi dengan kinerja yang baik memiliki waktu tunggu 5-10 menit.
ADVERTISEMENT
Sedangkan waktu tempuh Suroboyo Bus juga cenderung lama, dari halte ITS untuk kembali lagi ke halte ITS memakan waktu kurang lebih 4 jam. Sedangkan menurut peraturan SK Dirjen Perhubungan Darat No. 687, 2002 tentang penyelenggaraan angkutan umum perkotaan maksimal waktu perjalanan adalah 2 jam.
Kurangnya armada Suroboyo Bus yang beroperasi pun menyebabkan waktu antara (headway) kurang lebih 40 menit. Padahal standard yang ada di dalam Peraturan Menteri No. 10 Tahun 2012 maksimum adalah 1-12 menit.
Waktu layanan yang lama ini semakin diperparah dengan banyak penumpang yang seringkali merasa kepanasan dan bahkan ada yang kehujanan dikarenakan masih banyak bus stop yang tidak memiliki atap dan tempat duduk untuk penumpang yang sedang menunggu bus. Berdasarkan hasil survei 54% penumpang Suroboyo Bus merasa tidak puas dengan kondisi halte saat ini (Dyah, 2019).
Ilustrasi lalu lintas jalan raya saat hujan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sedangkan menurut Direktur Jenderal Perhubungan standar halte adalah harus ada informasi untuk penumpang mengenai jadwal dan lokasi bus, terdapat identitas halte berupa nama halte, rambu petunjuk untuk menandakan bahwa tempat tersebut adalah halte, papan informasi trayek, lampu penerangan, tempat duduk, dan halte juga harus mempunyai atap.
ADVERTISEMENT
Ketiga, jangkauan. Baik Suroboyo Bus dan angkot tidak memiliki jangkauan yang luas sehingga membatasi aksesibilitas dan mobilitas warga Surabaya.
Suroboyo Bus hanya memiliki 3 rute untuk daerah seluas 350,5 km², sedangkan Trans Semarang memiliki 12 koridor dengan luas daerah 373,8 km². Dari peta tersebut dapat terlihat bahwa masih banyak area yang belum tercover oleh angkot maupun Suroboyo Bus.