Konten dari Pengguna

Danjyo Kankei: Peranan Gender dalam Parenting di Jepang

Arvina Azzahra
Mahasiswa S1 Studi Kejepangan Universitas Airlangga
8 Oktober 2024 17:26 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arvina Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto by canva
zoom-in-whitePerbesar
foto by canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Danjyou Kankei berasal dari kata 男女(Danjyo) berarti laki-laki dan perempuan, sedangkan 関係 (Kankei) berarti Hubungan. Danjyo kankei membahas mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan di jepang. Peran laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat jepang modern berubah seiring dengan zaman, terutama setelah Perang Dunia II. Jepang pada mulanya adalah masyarakat matrilineal dimana perempuan memiliki hak waris serta kekuasaan yang sama dengan laki-laki. Namun, seiring berjalannya waktu posisi perempuan di keluarga semakin melemah. Apalagi setelah munculnya sistem ie pada zaman Kamakura-Muromachi dimana yang menjadi kepala suatu keluarga adalah seorang laki-laki.
ADVERTISEMENT
Puncak semakin inferiornya peran perempuan di masyarakat terjadi pada zaman Edo (1603–1868). Ketika itu Konfusianisme menjadi paham yang dianut oleh mayoritas masyarakat Jepang. Ajaran Konfusianisme menekankan pentingnya hierarki sosial dan ketaatan, termasuk kepercayaan di mana laki-laki dianggap lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini melemahkan posisi perempuan dan membuat mereka dianggap sebagai pihak yang lebih rendah dan bergantung pada laki-laki, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Posisi ini juga tercermin dalam konsep “Onna daigaku” (Pendidikan bagi Perempuan) yang mengajarkan bahwa perempuan harus patuh pada ayah, suami, dan anak laki-lakinya.
Meskipun posisi perempuan dalam masyarakat tradisional Jepang dianggap inferior, perubahan besar mulai terjadi setelah Perang Dunia II. Lebih tepatnya ketika Jepang mengalami reformasi. Konstitusi Jepang baru yang diadopsi pada tahun 1947, menjamin hak-hak kesetaraan bagi perempuan yang mencakup hak pilih dan hak pendidikan. Sejak saat itu peran perempuan dalam berbagai sektor seperti pendidikan, politik, dan ekonomi semakin meningkat. Namun meskipun telah terjadi kemajuan dalam hal kesetaraan gender, diskriminasi gender dalam budaya kerja dan pembagian peran rumah tangga masih menjadi tantangan besar dalam masyarakat Jepang di Era kontemporer.
ADVERTISEMENT
Peran dan Hubungan Suami Istri di Jepang
Di Jepang perempuan sering memainkan peran utama dalam mengelola rumah tangga, mulai dari perawatan anak, menjaga kebersihan rumah, hingga mengelola properti keluarga. Mereka diakui memiliki kemampuan lebih bebas dan efektif dalam menjalankan tugas-tugas domestik dibandingkan dengan laki-laki, yang sering kali lebih fokus pada pekerjaan di luar rumah. Pembagian peran ini sudah menjadi norma tradisional di masyarakat Jepang, di mana istri diharapkan untuk mengambil tanggung jawab penuh atas urusan rumah tangga. Akibatnya, banyak perempuan yang menunjukkan keahlian luar biasa dalam mengatur keuangan keluarga dan mengasuh anak, sementara suami lebih diharapkan berperan sebagai pencari nafkah.
Namun, peran suami dalam kehidupan rumah tangga sering kali terbatas pada dukungan finansial, yang menyebabkan munculnya fenomena sodai-gomi. Istilah ini memiliki arti “sampah ukuran besar” yang merupakan sarkasme untuk pria yang hanya bekerja untuk kebutuhan finansial namun tidak melakukan apa-apa untuk pekerjaan domestik. Banyak istri yang merasa frustasi karena suami mereka tidak berkontribusi secara signifikan dalam kehidupan rumah tangga. Fenomena ini menyoroti ketidakseimbangan dalam peran gender di rumah tangga Jepang. Ini menjadi salah satu isu yang mendasari perubahan pandangan terhadap pernikahan di kalangan generasi muda.
foto by canva
Peranan Gender dalam Parenting
ADVERTISEMENT
Peran gender dalam parenting di Jepang sangat dipengaruhi oleh norma-norma tradisional, di mana pengasuhan anak umumnya dianggap sebagai tanggung jawab ibu, sementara ayah lebih fokus untuk mencari nafkah. Ibu biasanya berhenti bekerja setelah melahirkan untuk mengurus anak-anak, dan ayah sangat sedikit terlibat dalam pengasuhan karena pekerjaan. Tradisi ini dipengaruhi oleh budaya perusahaan yang mengharapkan loyalitas waktu yang tinggi dari para pekerja pria. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan keluarga muda dan di daerah perkotaan, pola ini mulai berubah. Peran ayah dalam pengasuhan anak kini mulai diperluas, sebagian berkat kebijakan cuti melahirkan bagi ayah yang dicanangkan pemerintah, meskipun pemanfaatannya masih terbatas. Di sisi lain, semakin banyak wanita Jepang yang memilih untuk tetap bekerja setelah melahirkan, meskipun mereka masih harus menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga karena norma sosial yang belum sepenuhnya berubah.
ADVERTISEMENT
Pembagian tugas parenting yang ideal adalah dengan melibatkan kedua orang tua yang berbagi tanggung jawab secara seimbang, baik dalam tugas fisik seperti merawat anak secara langsung, maupun tugas emosional seperti membangun hubungan yang hangat dan mendukung perkembangan anak. Partisipasi ayah yang lebih besar dalam pendidikan anak dan pekerjaan rumah diharapkan dapat meringankan beban ibu serta menciptakan lingkungan keluarga yang lebih harmonis. Untuk mencapai kesetaraan ini, kebijakan perusahaan yang lebih fleksibel, seperti cuti melahirkan yang lebih mudah diakses dan jam kerja yang lebih manusiawi, sangat diperlukan. Di sisi lain, perubahan struktural dan budaya juga harus terjadi, mengingat tekanan sosial dan ekspektasi perusahaan yang masih membatasi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak secara penuh. Pemerintah Jepang sendiri telah mulai mendorong kebijakan kesetaraan gender dalam parenting, namun implementasinya membutuhkan lebih banyak dukungan, baik dari segi kebijakan maupun perubahan budaya.
ADVERTISEMENT
Pembagian tugas domestik
Dari sudut pandang kesetaraan gender, pembagian tugas domestik di Jepang masih menghadapi tantangan besar meskipun ada upaya menuju keseimbangan yang lebih baik. Di Jepang, norma-norma tradisional yang membagi peran berdasarkan gender masih cukup kuat, di mana wanita lebih diharapkan untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak, sementara pria fokus pada pekerjaan dan mencari nafkah. Akibatnya, meskipun wanita Jepang semakin banyak yang bekerja di luar rumah, mereka sering kali masih memikul tanggung jawab besar dalam pekerjaan domestik. Beban ganda ini menempatkan tekanan pada wanita Jepang untuk tetap mengurus rumah tangga, meskipun mereka juga memiliki tanggung jawab profesional yang menuntut waktu dan tenaga.
Namun, di kalangan generasi muda, terutama di kota-kota besar, terdapat kesadaran yang lebih tinggi akan pentingnya kesetaraan gender dalam rumah tangga. Pasangan modern semakin banyak yang mencoba membagi tugas domestik lebih merata, di mana pria juga terlibat dalam pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan, dan merawat anak. Semakin banyak pria yang mulai mengambil peran aktif dalam kehidupan rumah tangga, meskipun jumlahnya masih kecil dibandingkan dengan peran yang diambil oleh ibu. Dukungan dari kebijakan pemerintah, seperti pemberian cuti melahirkan bagi ayah (paternity leave), bertujuan untuk mempercepat perubahan ini. Kebijakan ini memungkinkan ayah untuk lebih terlibat dalam pengasuhan anak sejak dini, memberikan kesempatan bagi keluarga untuk berbagi peran secara lebih adil. Meski ada kemajuan, ketidakseimbangan masih nyata, karena ekspektasi sosial terhadap peran tradisional masih mempengaruhi cara pasangan membagi tugas domestik. Banyak pria yang merasa terhalang oleh tuntutan pekerjaan yang ketat dan budaya perusahaan yang menuntut jam kerja panjang, sehingga sulit bagi mereka untuk lebih terlibat dalam urusan rumah tangga. Oleh karena itu, meskipun perubahan menuju kesetaraan mulai terjadi, diperlukan waktu dan perubahan budaya yang lebih luas agar pembagian tugas domestik di Jepang benar-benar merata antara pria dan wanita.
ADVERTISEMENT