Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Buat Apa Bersusah Payah Memilih Pimpinan KPK?
28 Agustus 2024 13:35 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ary Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kamis, 8 Agustus 2024 lalu, Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan 40 nama yang lolos seleksi tertulis sebagai Capim KPK periode 2024-2029 sebelum mengikuti tahapan selanjutnya yaitu profil assessment yang dijadwalkan pada akhir bulan Agustus ini. Akhir dari proses tersebut adalah terpilihnya 5 orang yang akan memimpin KPK selama 5 tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Ada satu pertanyaan besar dari masyarakat yang masih berharap kepada KPK, mampukah KPKmelakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan sebagaimana amanat Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
Dari hasil kajian yang dilakukan oleh penulis serta beberapa diskusi dengan Bertrand deSpeville, mantan Komisioner ICAC (Independent Commission Against Commission) Hong Kong sekaligus legenda antikorupsi dunia yang memimpin Kajian Pembentukan Komisi Tindak Pidana Korupsi yang akhirnya dikenal sebagai KPK, beberapa tahun silam saat berkunjung ke Indonesia, efektifitas kerja KPK akan tercapai apabila 7 (tujuh) prasyarat berikut ini terpenuhi, yaitu:
1. Adanya Leadership dan Komitmen dari Kepala Negara
Leadership (kepemimpinan) dan komitmen dalam konteks negara sering disebut sebagai kemauan politik atau political will. Political will adalah prasyarat utama dalam pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Kita semua dapat melihat ketika political will rapuh maka akan sulit untuk dicapainya pemberantasan korupsi yang efektif. Sebaik apa pun strategi pemberantasan korupsi dan sebagus apa pun kelembagaan Badan Anti Korupsi yang dibentuk akan tidak efektif jika political will nya rapuh, karena pemberantasan korupsi memerlukan nafas yang panjang, biaya yang besar dan melelahkan yang tentunya memerlukan dorongan dan dukungan politik yang kuat.
2. Terartikulasinya Kemauan Politik untuk Melakukan Pemberantasan Korupsi dalam Undang-undang
Ada dua undang-undang (UU) penting di sin; yaitu UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU tentang KPK.
UU Tipikor yaitu UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah lama tidak direvisi, bahkan semenjak Indonesia menandatangani United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003 dan meratifikasinya pada tahun 2006 melalui UU No.7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
ADVERTISEMENT
Ada banyak poin penting dalam UNCAC yang belum diadaptasi ke dalam UU Tipikor, di antaranya adalah mengatur hukuman untuk perdagangan pengaruh (trading in influence), menjerat penyuapan di sektor swasta (antar swasta ke swasta), menjerat peningkatan kekayaan yang asal-usulnya tidak sah dan mencurigakan (illicit enrichment), dan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.
RUU Perubahan Kedua atas UU Tipikor sebenarnya sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024, namun tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas dan tidak ada kabarnya kembali hingga tulisan ini dibuat.
3. Independensi Komisi Antikorupsi
Alih-alih memperkuat KPK dengan merevisi UU Tipikor dengan strategi pemberantasan korupsi terkini baik yang tertuang dalam UNCAC maupun Jakarta Principles, pada tanggal 17 September 2019 diundangkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU baru ini malah memperlemah KPK.
ADVERTISEMENT
Poin-poin pelemahan dalam UU tersebut selain menghilangkan independensi KPK dengan memasukkan KPK ke dalam rumpun eksekutif dan pegawai KPK adalah ASN (Aparatur Sipil Negara), juga KPK dapat menghentikan penanganan perkara dengan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), KPK tidak dapat mengangkat Penyidik Independen dan hilangnya independensi perekrutan Penyelidik, Kewenangan Penyadapan KPK terganggu karena perlu izin dari Dewan Pengawas, hilangnya pasal yang mengatur KPK yang dapat membuka kantor perwakilan di daerah.
4. Adanya Strategi Nasional
Kegagalan Reformasi 1998 salah satunya disebabkan oleh kealpaan dalam mereformasi Partai Politik yang berujung kepada pelemahan pemberantasan korupsi melalui legislasi. Reformasi Parpol ini sebenarnya disadari dalam Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi dengan memasukkan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) secara mandatory melalui revisi Undang-Undang No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. RUU ini masih jauh untuk dicapai bahkan pembahasan naskah akademis pun belum dilakukan mengingat revisi undang-undang parpol ini belum juga masuk dalam Prolegnas. Poin penting dalam reformasi Parpol adalah pengaturan tentang Pendanaan Parpol dan Dana Kampanye.
ADVERTISEMENT
5. Sumber Daya yang Kuat dan Memadai
Ada 2 (dua) sumber daya yang penting dalam Komisi Antikorupsi yaitu Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Keuangan. Sebagai bentuk implementasi dari Pasal 6 dan 36 UNCAC terkait dengan independensi Komisi Antikorupsi, maka diadakan pertemuan di Jakarta yang menghasilkan Jakarta Principles. Jakarta Principles adalah prinsip-prinsip pemberantasan korupsi yang dirumuskan dan disepakati bersama oleh Komisi Antikorupsi seluruh dunia di Jakarta pada tanggal 27 November 2012.
Kesepakatan tersebut tersebut menegaskan bahwa negara harus menjaga independensi Komisi Antikorupsi, salah satunya lewat prinsip Authority Over Human Resource, yaitu Komisi Antikorupsi harus punya kewenangan untuk merekrut dan memberhentikan pegawainya sendiri dengan mengacu kepada prosedur internal yang jelas dan transparan. Kewenangan tersebut hilang tatkala KPK masuk ke dalam rumpun eksekutif dan pegawai KPK adalah ASN.
ADVERTISEMENT
Komisi Antikorupsi juga harus memiliki sumber daya keuangan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok daan fungsinya dengan mempertimbangkan anggaran negara, jumlah penduduk, dan luas wilayah. Best practices proporsi anggaran Komisi Antikorupsi adalah sebesar 0,5% dari APBN, saat ini anggaran KPK dalam APBN tahun 2024 sebesar 0,039% dari APBN atau diperlukan 12 kali lebih anggaran yang diperlukan untuk membangun kapasitas kelembagaan maupun kapasitas sumber daya manusia jika ingin mendapatkan sebuah Komisi Antikorupsi yang kuat.
6. Dukungan Publik
Korupsi yang telah mengakar ke setiap sendi kemasyarakatan tentunya membutuhkan partisipasi dari masyarakat untuk membasminya. Sehebat apa pun lembaga antikorupsi seperti KPK tidak akan mampu melakukan pemberantasan korupsi tanpa dukungan dari Masyarakat. Revisi UU KPK pada tahun 2019 yang berdampak dengan memasukkan KPK ke dalam rumpun eksekutif dan status pegawai KPK adalah ASN berhasil menjauhkan KPK dari gerakan masyarakat sipil tidak seperti bagaimana hubungan KPK dengan masyarakat sipil seperti saat KPK masih menjadi lembaga yang independen. Revisi UU KPK tersebut pun sedari awal minim dari pelibatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
7. Daya Tahan
Pemberantasan korupsi memerlukan stamina, napas panjang, biaya yang besar dan melelahkan. Hong kong membutuhkan waktu lebih dari 30 tahun untuk mengubah dari sebuah kota yang corrupt dan penuh mafia dan korupsi menuju negara yang menjadi contoh terbaik upaya pemberantasan korupsinya. Ketidaksabaran dalam perjalanan pemberantasan korupsi tersebut bahkan menyebabkan ada Pejabat Tinggi Negara yang berkomentar “KPK menghambat upaya investasi” padahal jika berkaca kepada
Hong Kong mereka mengkampanyekan “Silakan berinvestasi di Hong Kong karena kami memiliki ICAC (Independent Commission Against Corruption).”
Kembali kepada pernyataan di awal tulisan ini, mampukah Pimpinan KPK terpilih nantinya dapat mengembalikan marwah KPK untuk dapat melaksanakan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan sementara 7 (tujuh) prasyarat pemberantasan korupsi tersebut rasanya masih jauh dan semakin melemah?
ADVERTISEMENT
Kita tentunya berharap, Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024 mampu dan memiliki komitmen untuk memutar balik arah pemberantasan korupsi ke dalam track semula di mana dalam periode tahun 2004 sejak pembentukan KPK hingga tahun 2019 Corruption Perception Index (CPI) Indonesia naik secara tajam sebanyak 20 poin dari skor 20 menjadi 40 sebelum mengalami pelemahan yang luar biasa.