Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pemulangan 7 Anak Pekerja Migran Indonesia Overstayer (PMIO) dari Taiwan
31 Juli 2023 8:59 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Arya Daru Pangayunan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari ini adalah hari Senin, 24 Juli 2023 dan waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Saatnya berangkat! Kerja? Apa tidak terlambat? Umm, saya tidak ke kantor hari ini, namun saya akan berangkat ke Taiwan untuk urusan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan apa? Saya adalah seorang Fungsional Diplomat Ahli Muda di Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia (PWNI), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan hari ini saya ditugaskan untuk memimpin Tim untuk memulangkan 7 orang anak Pekerja Migran Indonesia Overstayer (PMIO) berusia 3-7 tahun dari Taiwan ke Indonesia.
Mengapa mereka harus dipulangkan? Ketujuh anak tersebut ditinggalkan orang tua mereka di sebuah panti di Taipei dengan berbagai alasan, entah karena malu karena anak tersebut adalah hasil dari hubungan gelap, nikah siri yang tidak didaftarkan, atau sekadar tidak mampu dan tidak mau bertanggung jawab mengurus anak.
Karenanya, ketujuh anak tersebut tidak memiliki dokumen yang lengkap yang tidak memungkinkan mereka untuk mengenyam pendidikan formal di Taiwan. Direktorat PWNI bekerja sama dengan Direktorat Rehabilitasi Sosial (Rehabsos) Anak, Kementerian Sosial (Kemensos), serta Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei memiliki program untuk memulangkan anak-anak tersebut ke Indonesia agar mereka dapat memperoleh hak pendidikan yang layak.
ADVERTISEMENT
Pesawat saya hari ini pukul 14.20, sehingga pagi ini saya masih sempat untuk pergi ke tempat penukaran uang untuk membeli New Taiwan Dollar atau NTD dengan nilai Rp 480 per NTD. Saya menukarkan NTD yang sekadar cukup untuk jajan dan membeli oleh-oleh, karena saya memperoleh informasi bahwa hotel di sana dapat menerima kartu kredit Indonesia.
Selesai menukarkan uang, saya menuju kantor saya di Kemenlu di Jalan Taman Pejambon No. 6 dan memarkirkan mobil saya di basement kantor selama saya bertugas di Taiwan. Dari kantor, saya langsung berangkat ke bandara menggunakan taksi online.
Setibanya di bandara, saya bertemu dengan rekan-rekan satu Tim yang akan berangkat ke Taiwan: Mbak Dian, senior saya di Direktorat PWNI; Mbak Ariska, staf di Direktorat PWNI; Bu Ipeh, Pekerja Sosial Kemensos; Bu Isni, Psikolog di Kemensos; dan Dokter Nova, Dokter di Kemensos.
ADVERTISEMENT
Dinas ke Taiwan menjadi pengalaman yang cukup unik bagi kami yang bekerja di pemerintahan. Diplomat di Kemenlu biasa berdinas dengan paspor diplomatik (hitam) dan rekan-rekan di kementerian lain termasuk Kemensos biasa berdinas dengan paspor dinas (biru).
Namun kali ini ke Taiwan, kami tidak menggunakan paspor diplomatik atau dinas, melainkan paspor biasa (hijau). Kenapa? Karena Indonesia berpegang pada prinsip One China Policy – mengakui satu negara Tiongkok yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan tidak mengakui negara Taiwan secara resmi, sehingga secara politik Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan.
Agar bisa terbang ke Taiwan, beberapa hari sebelum keberangkatan, kami harus mengurus visa melalui Taipei Economic and Trade Office (TETO) di Jakarta. Keberangkatan kami pun harus memperoleh clearance dari Direktorat Keamanan Diplomatik, Kemenlu di mana kami diingatkan agar tidak membawa atribut kenegaraan, serta menjaga sifat kunjungan ke Taiwan sebagai kunjungan yang tidak resmi dan tidak dalam kerangka kerja sama G to G.
ADVERTISEMENT
Setelah selesai melakukan check in dan melalui proses imigrasi, kami pun menuju gate menunggu boarding. Kami menggunakan maskapai EVA Air. Penerbangan dari Jakarta ke Taipei memakan waktu 5,5 jam. Penerbangan cukup lancar dan kami mendarat pukul 20.45 waktu setempat. Perbedaan waktu Taipei dengan Jakarta adalah 1 jam lebih cepat di Taipei.
Di bandara Taipei, kami dijemput oleh rekan-rekan dari KDEI Taipei: ada Mas Mike, junior kami yang bertugas di sana; Mas Reza, Petugas Komunikasi KDEI; dan Mas Ronny, staf KDEI – yang mengantarkan kami ke Hotel S Aura Taipei, tempat kami menginap.
Setelah check in dan beristirahat malam, pagi harinya kami menuju ke KDEI untuk rapat bersama Pak Novrizal, Kepala Bidang PWNI dan Penerangan Sosial Budaya (Pensosbud) KDEI Taipei, serta Mas Mike, dan Mas Ronny.
ADVERTISEMENT
Kami berdiskusi terkait agenda Tim selama berada di Taipei yaitu kegiatan bonding dengan ketujuh anak sebelum mereka dipulangkan pada tanggal 28 Juli 2023. Kami tidak ingin anak-anak di hari-H pemulangan merasa tidak nyaman dan merasa “diculik” oleh orang-orang yang belum mereka kenal sebelumnya.
Dalam rapat tersebut, kami memperoleh informasi bahwa selain 7 anak yang akan dipulangkan, saat ini masih terdapat sekitar 130 anak PMIO yang tersebar di berbagai panti di berbagai kota di Taiwan yang harus mulai dirancang pemulangannya.
Dalam pemulangan ini, KDEI membantu untuk menerbitkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) dan Direktorat PWNI membantu pembiayaan tiket pemulangan bagi anak-anak tersebut.
Usai rapat, kami didampingi oleh rekan-rekan dari KDEI menuju ke Panti Harmoni, sebuah panti swasta di Taipei, tempat ketujuh anak PMIO tersebut diasuh selama ini. Sebelum bertemu dengan anak-anak yang akan dipulangkan, Tim bertemu dengan Zheng Wen Hui, Deputy Director Dinas Sosial Kota Taipei; Nicole Yang, Direktur sekaligus pendiri Panti Harmoni; serta jajaran pengurus dan pekerja sosial Panti Harmoni.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan tersebut, baik Deputy Director Dinas Sosial Kota Taipei dan Direktur Panti Harmoni menyampaikan apresiasi mereka atas program pemulangan anak-anak PMIO oleh Direkorat PWNI, Kemenlu dan Direktorat Rehabsos Anak, Kemensos, serta berharap program ini ke depannya dapat terus dilanjutkan sehingga seluruh anak-anak PMIO dapat kembali ke Indonesia untuk memperoleh hak pendidikan, mendapatkan pengasuhan keluarga, dan menjalani kehidupan yang lebih baik.
Saat pertemuan masih berlangsung, beberapa anak mulai mengintip pertemuan kami dari kaca luar ruangan. Kami pun mengakhiri pertemuan dan langsung bertemu dengan anak-anak. Ada seorang anak laki-laki berusia 6 tahun yang langsung menghampiri saya bernama Rafi alias Cao Cao – panggilan Mandarinnya.
Anggota Tim yang lain pun rupanya telah dihampiri oleh masing-masing 1 anak: Mbak Dian dengan Davin (4 tahun); Mbak Ariska dengan Dzaki alias Piao Piao (6 tahun); Bu Ipeh dengan Wahati alias Lulu (3 tahun); Bu Isni dengan Chelsea alias Ing Ke (5 tahun); Dokter Nova dengan Daffa alias Mang Kuo (7 tahun); dan Mas Ronny dengan Gibran alias Siao Mao – Mas Ronny dari KDEI juga ditugaskan untuk membantu kegiatan pemulangan dan menjadi penerjemah bagi kami selama kegiatan bonding serta perjalanan ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Rupanya biodata Tim penjemput telah disampaikan kepada anak-anak oleh para pengasuh di panti 1 minggu sebelum kegiatan pemulangan ini, sehingga mereka sudah sedikit mengenal kami melalui foto. Kegiatan bonding dimulai dengan aneka permainan dan kegiatan menggambar bersama.
Kendala utama yang kami hadapi adalah bahasa, di mana anak-anak tersebut tidak ada yang dapat berbahasa Indonesia, hanya bahasa Mandarin.
Kami pun berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, namun saya selalu berusaha berbicara dengan bahasa Indonesia ke Rafi, toh nanti setibanya di tanah air anak-anak ini harus menggunakan bahasa Indonesia. Namun demikian, jika dibutuhkan penerjemah, Mas Ronny dari KDEI siap untuk membantu kami.
Setelah kegiatan bonding di dalam panti, agenda selanjutnya adalah bermain bersama di taman bermain outdoor. Taipei saat ini sedang mengalami musim panas sehingga cuaca di luar sangatlah terik, sehingga kami baru dapat memulai kegiatan outdoor setelah pukul 5 sore. Kami jalan lebih dari 2 kilometer dari panti menuju taman bermain.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri merasa cukup lelah karena saya jarang berjalan jauh, namun sepertinya anak-anak ini sudah terbiasa jalan kaki karena tidak ada satu pun dari mereka yang mengeluh. Sampai taman bermain, anak-anak berlarian naik turun slide.
Setelah puas bermain di luar, kami masuk ke Citylink Mall dimana kami mendampingi anak-anak bermain permainan arcade. Rafi sangat suka bermain game balap mobil dan balap motor. Sepanjang jalan Rafi selalu menggandeng tangan saya seakan-akan saya adalah ayahnya atau seperti orang yang sudah dia kenal lama. Setelah puas bermain arcade, kami jalan kembali ke panti dan santap malam bersama.
Di hari berikutnya, kami menggunakan bus bersama anak-anak menuju tempat bernama XPark di Taoyuan, 45 menit dari Taipei. XPark adalah semacam Seaworld yang menampilkan exhibisi berbagai hewan laut dengan akuarium besar.
Anak-anak tampak sangat antusias melihat hewan-hewan laut di akuarium. Selama kunjungan ke XPark, anak-anak cukup mudah diatur dan tidak ada yang rewel sehingga kegiatan bonding dapat dikatakan cukup berhasil.
ADVERTISEMENT
Di hari berikutnya pun demikian, pada saat kami bersama anak-anak melakukan kunjungan ke Taipei 101 yang merupakan gedung tertinggi di Taipei.
Dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut, diharapkan anak-anak memiliki memori yang indah akan Taipei dan kepindahan ke Indonesia tidak menimbulkan memori yang buruk bagi mereka.
Di hari-H keberangkatan, saya bangun pukul 4 pagi, karena pada pukul 5 bus sudah siap menjemput kami untuk menuju panti kemudian ke bandara untuk mengejar pesawat kami yang akan take off pukul 9 pagi.
Pagi itu saya cukup terkejut karena setibanya di panti, Rafi sama sekali tidak mau dengan saya. Asumsi saya karena selama saya mendampingi dia selama ini, saya selalu menolak ketika dia meminta gendong. Bukan karena saya tidak ingin dekat dengan dia, tapi karena dia sudah berusia 6 tahun dan berat badannya cukup membuat saya kewalahan.
ADVERTISEMENT
Rafi akhirnya duduk sendiri di bus dan tidak ingin ditemani siapa-siapa. Namun ketika saya akan duduk sendiri di bus, tiba-tiba Gibran, anak berusia 3 tahun yang selama ini didampingi oleh Mas Ronny, meminta untuk duduk di sebelah saya. Saya dan Mas Ronny kemudian sepakat untuk bertukar anak dan saya meminta Mas Ronny untuk mengawasi Rafi.
Mendampingi anak umur 6 tahun kemudian beralih ke anak umur 3 tahun ternyata sangat berbeda penanganannya. Selama ini, meski tidak menggunakan bahasa Mandarin, saya tidak mengalami kesulitan mengarahkan Rafi.
Lain halnya dengan Gibran. Anak umur 3 tahun lebih sulit untuk diatur, terlebih Gibran memiliki watak yang sedikit emosional dan suka memukul jika keinginannya tidak terpenuhi. Gibran selalu meminta untuk digendong.
ADVERTISEMENT
Selama proses check in, imigrasi hingga masuk pesawat, saya selalu menggendong Gibran. Hal ini tidak dapat dihindarkan, terlebih Gibran sama sekali tidak mau didudukkan di troli dan jarak ke gate pesawat sangatlah jauh.
Tidak mungkin anak umur 3 tahun harus jalan sejauh itu. Meski demikian, proses hingga boarding berjalan lancar, berkat koordinasi erat sebelumnya antara KDEI dengan pihak imigrasi bandara dan pihak maskapai.
Tempat duduk Tim dan anak-anak sudah kami atur sedemikian rupa di pesawat sehingga kami duduk berderet dan bersebelahan di row 36-38 pesawat Airbus A330-300 EVA Air. Saat proses take off, Gibran cukup mudah diatur dan mau mengenakan sabuk pengaman.
Suasana mulai agak tegang bagi saya ketika snack dan minuman mulai disajikan oleh pramugari. Saya memesankan air putih untuk Gibran dengan pertimbangan akan aman jika tidak sengaja tumpah. Namun ternyata Gibran tidak mau air putih dan meminta jus apel.
ADVERTISEMENT
Segelas penuh jus apel pun dipegang oleh Gibran. Kami dibagikan snack berupa mixed nuts. Ketika saya sedang membukakan bungkus mixed nuts tersebut, benar saja, Gibran menumpahkan jus apel yang dia pegang sehingga bangkunya menjadi basah.
Saya dengan sigap mengangkat Gibran agar tidak basah terkena tumpahan jus apel. Saya menitipkan Gibran sebentar ke Mbak Dian sementara saya membersihkan tumpahan jus apel di bangku Gibran. Tidak dapat dihindarkan, tempat duduk berikut sabuk pengaman di bangku Gibran menjadi lengket karena tumpahan jus apel.
Drama berlanjut ketika makan siang disajikan. Gibran tidak mau makan main course yang disajikan dan hanya mau makan makanan penutup berupa kue coklat.
Ketika Gibran sedang makan, saya cepat-cepat makan makanan saya agar bisa lekas kembali fokus pada Gibran. Namun ketika saya sedang makan, tiba-tiba, braakkk!!! Gibran menumpahkan seluruh tray makanan ke lantai.
ADVERTISEMENT
Ya Tuhan, dalam hati saya mau menangis. Untung Mbak Dian dengan sigap kembali membawa Gibran sementara saya membersihkan tumpahan makanan di lantai. Beruntung setelah kejadian itu Gibran bisa tidur meski kurang dari 2 jam.
Drama terakhir muncul ketika akan mendarat. Gibran meminta untuk dipangku dan tidak mau mengenakan sabuk pengaman hingga saya ditegur oleh pramugari.
Sontak saya paksa Gibran untuk duduk di bangkunya dan dengan paksa saya pasang sabuk pengamannya. Gibran pun berteriak histeris dan memukul-mukul saya. Itu adalah 10 menit terlama saya di dalam pesawat, harus memegangi anak kecil ini hingga pesawat merapat ke gate.
Walaupun sempat marah dan memukul-mukul saya, ketika turun dari pesawat, Gibran tetap meminta saya untuk menggendongnya. Beruntung rekan Tim yang lain tidak mengalami permasalahan yang berarti dengan anak yang didampinginya selama perjalanan. Hanya Daffa yang sempat muntah karena mengalami mabuk udara.
Setelah menginjakkan kaki di Bandara Soekarno Hatta, saya baru merasa lega ketika selesai melewati pemeriksaan imigrasi menuju tempat pengambilan bagasi dan disambut oleh rekan-rekan saya dari Direktorat PWNI, Mbak Ratih dan Mbak Rima yang kemudian membantu membawakan tas saya dan mengambilkan bagasi Tim dan anak-anak, sementara saya bisa duduk dan memangku Gibran.
ADVERTISEMENT
Setelah seluruh bagasi Tim dan anak-anak sudah keluar, kami keluar terminal bandara dan di luar sudah dijemput oleh petugas dari Sentra Handayani, Kemensos.
Sesampainya di Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta Timur, saya menyerahterimakan anak-anak tersebut kepada rekan-rekan di Sentra Handayani.
Setelah beberapa hari anak-anak tersebut berada di Sentra Handayani, saya dikirimkan foto anak-anak tersebut dengan wajah ceria yang membuat saya lega mengetahui bahwa anak-anak tersebut diperlakukan dengan penuh kasih sayang selama berada di Sentra Handayani.
Demikian tugas kami dari Kementerian Luar Negeri dalam melakukan pemulangan terhadap ketujuh anak-anak PMIO telah selesai. Kegiatan pemulangan ini dapat memberikan gambaran bahwa tugas seorang diplomat tidak hanya duduk di ruang sidang bernegosiasi dengan counter part dari negara-negara lain, namun harus dapat terjun ke lapangan melakukan kerja nyata pelindungan WNI.
ADVERTISEMENT