Chairul Tanjung dan Politik Jokowi

Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Konten dari Pengguna
11 Juni 2018 11:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arya Fernandes tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Chairul Tanjung (Foto: flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Chairul Tanjung (Foto: flickr)
ADVERTISEMENT
Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS
Posisi Jokowi yang belum memberikan sinyal politik terkait nama calon wakil presiden, membuat banyak spekulasi dan skenario politik beredar. Politik yang semakin hari, semakin dinamis membuat spekulasi nama calon Jokowi muncul dan hilang. Untuk mengantisipasi banyak kemungkinan, partai politik menyiapkan banyak skenario cadangan.
ADVERTISEMENT
Di internal partai koalisi sendiri, hingga kini belum ada gelagat akan menyepakati satu nama pendamping Jokowi. Masing-masing partai berusaha menarik perhatian Jokowi dan publik. Berbagai trik dan intrik serta manuver dilakukan agar bisa mendapatkan peluang menjadi RI 2.
Dugaan saya, Jokowi memang sengaja menyimpan rapat nama calon wakil presiden hingga beberapa hari menjelang masa pendaftaran. Dari sisi politik kepartaian, Jokowi tidak ingin dipersepsikan berada di bawah pengaruh dan tekanan salah satu partai politik koalisi.
Jokowi sadar bahwa menjelang masa pendaftaran, perubahan dukungan partai bisa saja terjadi dengan begitu cepat. Partai koalisi pemerintahan bisa saja mengalihkan dukungannya ke calon lain bila mendapatkan penawaran yang menggiurkan. Selain itu, posisi Jokowi juga dapat dipahami karena ia ingin menjaga keseimbangan politik diantara partai koalisi. Sehingga tidak ada partai yang merasa di atas angin dan merasa spesial.
ADVERTISEMENT
Menghadapi perilaku politik Jokowi, sejumlah partai menyiapkan beberapa skenario politik. PKB misalnya membangun komunikasi dua kaki dengan Jokowi dan Prabowo Subianto. Begitu juga Demokrat yang masih belum memberikan kepastian: apakah akan menginisiasi Poros Ketiga atau merapat ke Jokowi.
Perilaku politik Jokowi itu juga membuka peluang bagi tokoh-tokoh bermanuver agar menarik perhatian Jokowi. Mulai dari Airlangga Hartato, Muhaimin Iskandar, Romahurmuziy, dan sejumlah nama lainnya. Nama teranyar yang dispekulasikan akan mendampingi Jokowi adalah pemilik Trans Corp, Chairul Tanjung (CT). CT bisa menjadi alternatif bila pembahasan mengenai calon di antara partai koalisi jika buntu dan tidak menemui kata sepakat.
Variabel Pendukung
Sebagai pengusaha, CT memiliki kemampuan lobi dan jaringan yang luas. Dengan kemampuan tersebut ia dapat membangun komunikasi lintas partai di koalisi pemerintahan Jokowi. Namun, kedekatan dengan Cikeas (Demokrat) bisa jadi akan menyulitkannya membangun komunikasi dengan Teuku Umar (PDIP).
ADVERTISEMENT
CT juga harus bertarung dengan nama-nama lainnya, yang juga tengah berusaha mendapatkan dukungan Jokowi. Namun, kedekatan dengan Demokrat bisa juga menjadi nilai tambah bila CT berhasil mendapatkan tiket pencalonan dari Demokrat. Bila berhasil, kalkulasi politik Jokowi bisa saja akan berubah.
Dari sisi personal, nama CT bisa saja menjadi opsi menarik bagi Jokowi.
Pertama, penerimaan elit dan tokoh publik. Kemampuan personal seperti rekam jejak, pengalaman dan kemampuan lobi menjadi keunggulan CT untuk bermanuver dengan lincah.
Kedua, kemampuan manajerial dan penerimaan dunia usaha. Latar belakang CT sebagai pengusaha bisa menjadi nilai plus bagi dunia usaha. Dukungan dan optimisme dunia usaha menjadi faktor penting, terutama bagi kandidat petahana. Dalam tiga pemilu terakhir, tiga wakil presiden memiliki kemampuan dalam mengelola perekonomian nasional, seperti Jusuf Kalla dan Boediono. Pengalaman manajerial dan kemampuan CT mengelola dunia usaha tentu akan menjadi faktor pendukung dalam mengelola perekonomian nasional.
ADVERTISEMENT
Variabel Penghambat
Dari sisi personal, relatif tidak terdapat faktor yang melemahkan figur CT. Ia dapat menjadi salah satu opsi yang bisa dilirik Jokowi. Faktor penghambat CT sebagian besar berasal dari luar.
Pertama, dukungan partai politik. Posisi CT sebagai tokoh non-partai bisa jadi penghambat untuk berduet dengan Jokowi. Apalagi bila CT tidak berhasil mendapatkan dukungan dari salah satu partai menengah-besar. Partai seperti Golkar dan PDIP tentu tak mudah memberikan tiket pencalonan gratis kepada CT. Tetapi posisi sebagai tokoh non-partai juga bisa menjadi faktor plus, karena bisa menjadi jalan tengah bila terjadi deadlock.
Kedua, posisi elektoral CT. Bila tingkat kompetisi politik mengeras, Jokowi tentu butuh pendamping yang dapat memberikan tambahan suara baginya. Sejauh ini dugaan saya tingkat elektabilitas CT belum sampai 3% dengan tingkat popularitas yang juga masih rendah. Dengan waktu yang terbatas menjelang pemilu mendatang, butuh usaha keras untuk mengenjot suara dan pengenalan terhadap CT. Namun, posisinya sebagai pemilik jaringan media besar, tentu akan membantu.
ADVERTISEMENT
Ketiga, penolakan politik partai koalisi Jokowi. Pelaksanaan pemilu serentak secara nasional, baik pemilu presiden dan pemilu legislatif membuat elit partai politik berkepentingan untuk mendapatkan tiket sebagai calon wakil presiden. Dalam logika pemilu yang serentak, pilihan terhadap partai politik akan dipengaruhi oleh pilihan terhadap calon presiden. Posisi sebagai calon presiden dan wakil presiden, berpotensi akan mengerek suara partai politik pendukung utama. Bila CT tidak berhasil mengelolanya dengan baik, penolakan partai koalisi bisa jadi akan menghambat langkah CT.
Keberhasilan CT menjadi pendamping Jokowi akan sangat ditentukan oleh suasana psikologis di internal partai koalisi dan kemampuan CT mengelola perbedaan pandangan politik di internal koalisi. Faktor chemistry dan kesamaan platform politik dengan Jokowi saya kira adalah faktor paling utama.
ADVERTISEMENT
Kemampuan Jokowi mendapatkan banyak tiket pencalonan sebenarnya membuat Jokowi akan fleksibel menentukan calon wakil. Namun, hingga kini, sepertinya masih sangat sulit bagi Jokowi menentukan calon wakil. Banyak pertimbangan yang dilakukan. Mulai dari kualitas personal calon, posisi elektoral calon, penerimaan koalisi dan penerimaan publik.***