Gatot dan Pemilu Presiden 2019

Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Konten dari Pengguna
23 April 2018 21:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arya Fernandes tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Panglima TNI Gatot Nurmantyo (Foto: AP/Achmad Ibrahim)
zoom-in-whitePerbesar
Panglima TNI Gatot Nurmantyo (Foto: AP/Achmad Ibrahim)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh Arya Fernandes Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
ADVERTISEMENT
Pensiun sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) membuat nama Gatot turut meramaikan bursa calon presiden menjelang Pemilu Presiden 2019. Meskipun sampai saat ini, belum ada satu partai politik yang mendeklarasikan dukungan politik kepada Gatot, namun Gatot sudah melakukan sejumlah manuver politik.
Beberapa waktu yang lalu, Gatot menemui Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai Gerindra. Manuver bawah tanah juga dilakukan dengan menemui sejumlah tokoh kunci partai politik atau publik figur lainnya.
Perubahan mekanisme pelaksanaan pemilu dan tingginya dukungan terhadap petahana Jokowi dan Prabowo Subianto, membuat langkah Gatot untuk mendapatkan tiket pencalonan menjadi tidak mudah. Dengan kondisi tersebut, bagaimanakah peluang Gatot maju dalam Pilpres 2019?
Ada beberapa dimensi untuk mengukur peluang Gatot maju dalam pemilu mendatang. Pertama, posisi dan arah kebijakan partai politik dalam Pilpres. Pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden yang dilaksanakan secara serentak mengubah perilaku partai politik dan pemilih.
ADVERTISEMENT
Dengan keserentakan waktu pemilu tersebut, membuat tokoh kunci di internal partai politik berlomba-lomba untuk mendapatkan tiket pencalonan koalisi. Pasalnya, posisi sebagai calon presiden, diperkirakan akan mempengaruhi peningkatan suara partai politik dalam pemilu. Survei CSIS pada 2017 menemukan adanya hubungan yang linear antara pilihan masyarakat dalam pemilu presiden dengan pilihan dalam pemilu legislatif. Sederhananya, dukungan kepada Joko Widodo akan memberikan efek positif bagi suara PDI Perjuangan dan pilihan kepada Prabowo Subianto akan memberikan efek positif bagi suara Gerindra.
Dari sisi pemilih, keserentakan waktu pemilu juga mengubah perilaku pemilih. Fokus perhatian pemilih diperkirakan akan lebih tersedot kepada pemilu presiden dibandingkan pemilu legislatif. Bagi pemilih, pemilu presiden dianggap lebih ‘seksi’ dibandingkan pemilu legislatif. Pada level isu, isu-isu yang digunakan calon presiden di tingkat nasional diperkirakan akan diduplikasi calon legislatif di tingkat lokal.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi seperti ini, sepertinya akan sulit bagi partai untuk memberikan tiket kepada tokoh non-partai. Karena dikhawatirkan tidak akan membawa insentif politik bagi suara partai.
Dimensi kedua adalah posisi dan proyeksi elektoral calon presiden. Bila mengacu pada sejumlah hasil survei oleh lembaga survei yang kredibel, kekuatan Gatot masih lemah. Tingkat elektabilitas Gatot belum berhasil menyentuh angka 5 persen. Padahal, nama Gatot sudah digadang-gadang sejak 6 bulan terakhir. Masih rendahnya posisi elektoral Gatot tentu membuat partai politik berpikir panjang untuk mencalonkan Gatot.
Dengan daya tawar elektoral yang rendah, Gatot diprediksi akan sulit melobi partai agar memberikan tiket pencalonan. Dengan kondisi tersebut, partai akan sangat berhitung. Bila Gatot tidak mampu memberikan insentif suara bagi partai, dugaan saya partai akan memilih dua nama antara Jokowi atau Prabowo. Sejauh ini, dalam banyak survei sekitar 75 persen suara terbagi dalam dua kandidat. Sekitar 50-50 persen suara memilih Joko Widodo, dan 20-25 persen suara memilih Prabowo Subianto. Survei terakhir CSIS, pada Agustus 2017 tingkat keterpilihan Joko Widodo mencapai 50,9 persen dan Prabowo Subianto 25,8 persen.
ADVERTISEMENT
Dimensi ketiga adalah tingkat penerimaan partai dan publik. Dari dimensi ini, tingkat penerimaan partai terhadap Gatot tidak terlalu mengembirakan. Sejauh ini belum ada partai yang dengan jelas mendeklarasikan dukungan atau berafiliasi kepada Gatot. Sementara, dari sisi publik, tingkat elektabilitas Gatot, belum mampu menyentuh level 5 persen--padahal waktu pendaftaran sudah dekat.
Dimensi keempat adalah pilihan politik Prabowo. Dimensi ini juga menentukan apakah Gatot dapat maju atau tidak. Bagaimana bila Prabowo tidak maju? Sejauh ini kecil kemungkinan Prabowo tidak maju. Bila Prabowo tidak maju tentu akan merugikan posisi Gerindra dalam pemilu mendatang. Pasalnya suara Gerindra cukup bergantung pada sosok Prabowo.
ADVERTISEMENT
Memang Prabowo menghadapi dilema, antara stagnasi elektoral yang terjadi dalam tiga tahun terakhir dan kebutuhan untuk menjaga suara Gerindra. Pada saat Prabowo mengalami stagnasi pada kisaran 20-25 persen, rivalnya, Joko Widodo justru mengalami kenaikan cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir. Namun, bila Prabowo tidak maju, belum tentu suara pemilih Prabowo akan berpindah ke Gatot. Karena basis pemilih loyal Prabowo sudah dibangun sejak lama, sejak Pemilu 2009 dan 2014. Berbeda dengan Gatot yang menjadi pendatang baru dalam politik.
Dimensi kelima adalah skenario Poros Ketiga. Mungkinkah Gatot berpeluang menggagas Poros Ketiga? Saya rasa cukup kecil peluang Gatot menjadi motor Poros Ketiga. Selain tingkat keterpilihan yang masih rendah, afiliasi politik Gatot dengan partai-partai juga rendah.
ADVERTISEMENT
Saat ini, salah satu partai yang mempunyai peluang besar untuk membuat Poros Ketiga adalah Partai Demokrat. Dengan 10 persen suara, Demokrat tinggal melobi dua atau tiga partai menengah-bawah untuk dapat membuat poros baru. Demokrat juga mempunyai ikon baru yang dapat menarik segmen pemilih Ibu Rumah Tangga dan pemilih muda dan milenial.
Dimensi lainnya adalah jaringan dan modal sosial Gatot. Dari sisi jaringan politik, Gatot tidak mempunyai kesempatan yang banyak untuk membangun jaringan politik dalam waktu yang terbatas menjelang masa pendaftaran pasangan calon presiden, pada Agustus 2018 mendatang. Dari sisi modal sosial juga seperti itu. Asosiasi Gatot sebagai figur yang dekat dengan organisasi kemasyarakat tertentu tidak terlalu kuat, baik dari Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama (NU). Dari dimensi image dan citra juga tidak banyak yang membedakan sosok Gatot Nurmantyo dengan Prabowo Subianto. Baik dari sisi karakter maupun basis massa.
ADVERTISEMENT
Selera Publik
Dari sisi kesukaan, masyarakat memiliki selera yang berbeda pada setiap pemilu. Pada pemilu 2004 dan 2009 pilihan terhadap SBY dipengaruhi oleh karakter dan sosok SBY yang berwibawa dan tegas. Juga kemampuan komunikasi dan citra yang posisif SBY sebagai pemimpin. Di 2014, pemilih memilih karakter yang berbeda dengan SBY, yakni dengan memilih Jokowi yang sederhana dan merakyat. Pemilu 2019 adalah pertarungan tentang evaluasi terhadap pemerintahan terutama isu-isu ekonomi.
Bila melihat peluang Gatot, sepertinya untuk saat ini cukup sulit bagi Gatot untuk dapat mencalonkan diri menjadi RI 1. Apalagi Gatot belum berhasil membuat image sebagai calon alternatif baru bagi publik. Pilhan yang masuk akal bagi Gatot adalah menjadi RI 2, itupun bila Gatot bisa meyakinkan pimpinan partai politik dan mengalami tren kenaikan suara, paling tidak menjelang masa pendaftaran nanti.
ADVERTISEMENT