Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
GBHN, Amandemen Konstitusi, dan Demokrasi Indonesia
19 Agustus 2019 16:17 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Arya Fernandes tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Amandemen konstitusi bukanlah sesuatu yang baru dilakukan MPR. Setelah reformasi, MPR telah melakukan empat kali amandemen, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Semangat keempat amandemen tersebut salah satunya--menurut saya--adalah cara memperkuat demokratisasi melalui penguatan sistem presidensial dan otonomi daerah. Namun, bila kini wacana untuk melakukan amandemen ditujukan untuk memperlemah sistem presidensial dan mengembalikan fungsi MPR seperti era sebelum reformasi, sepertinya harus ditolak dengan keras.
Proses demokratisasi di Indonesia ditandai dengan beberapa perubahan penting dalam UUD 1945. Pertama, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat dengan adanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, seperti tercantum dalam Pasal 1 UUD 1945 dan Pasal 6A, seperti hasil perubahan ketiga UUD. Melalui amandemen ketiga, presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR, tetapi menjadi bertanggung jawab kepada rakyat.
ADVERTISEMENT
Dalam pasal 1 disebutkan, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sementara Pasal 6A disebutkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebelum amandemen ketiga, kedaulatan rakyat sepenuhnya berada di MPR, serta Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR.
Pada pasal UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Setelah amandemen UUD, Presiden SBY adalah Presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Sementara, dua presiden setelah reformasi, yaitu Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri masih dipilih oleh MPR.
Kedua, adanya otonomi daerah pada level provinsi, kabupaten/kota yang dapat menyelenggarakan pemerintahan daerah. Demokratisasi pada level daerah juga ditandai dengan adanya pemilihan kepala daerah secara demokratis dan langsung oleh masyarakat. Sebelum amandemen, penyelenggaraan pemerintah bersifat terpusat dan kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Amandemen yang dilakukan pascareformasi, dapat dilihat sebagai cara untuk memperkuat sistem presidensial. Hal tersebut tampak dari adanya periodesasi jabatan presiden dan adanya penambahan pasal-pasal terkait pemakzulan presiden.
ADVERTISEMENT
Perubahan masa jabatan Presiden terlihat dalam amandemen pertama tanggal 19 Oktober 1999. Dalam pasal 7 disebutkan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Sementara dalam UUD asli sebelum amandemen, disebutkan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Tidak adanya pembatasan jabatan Presiden, membuat Presiden pada masa Orde Baru dapat bertahan sangat lama asalkan mendapatkan dukungan dari MPR.
Dalam UUD hasil amandemen ketiga, ditambahkan pasal 7A dan 7B yang mengatur tentang mekanisme pemberhentian Presiden (pemakzulan). Dari sisi persyaratan, pemakzulan cukup sulit dilakukan karena melalui prosedur yang ketat. Di antaranya, tahap pertama, adanya persetujuan DPR bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum, dengan dukungan sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota DPR. Sikap DPR terhadap pelanggaran hukum Presiden tersebut diajukan ke MK.
Tahap kedua, MK memeriksa, mengadili, dan memutus paling lama 90 hari setelah permintaan DPR diterima oleh MK. Tahap ketiga, bila MK menilai Presiden telah melakukan pelanggaran, DPR melaksanakan sidang paripurna untuk meneruskan putusan MK ke MPR. Tahap keempat, MPR melakukan sidang yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga per empat dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
ADVERTISEMENT
Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, UUD tidak mengatur mengenai mekanisme pemakzulan. Nasib Presiden sebenarnya lemah, karena ia bergantung dengan kekuatan politik di MPR. Tidak heran bila selama kepemimpinan Orde Baru, Presiden Soeharto mengendalikan betul kekuatan di MPR, dengan memperkuat basisnya melalui Golkar dan utusan golongan/ABRI.
Usulan untuk mengembalikan GBHN seperti pada era sebelum reformasi akan memperlemah sistem presidensial, karena Presiden tidak lagi mempunyai otoritas penuh sebagai Chief Executive, untuk merumuskan rencana kerja pemerintahan. Posisi Presiden sebagai Chief Executive salah satunya tampak melalui ditetapkannya UU Nomor 17 tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 – 2025.
RPJP nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 20 (dua puluh) tahun, yang terhitung sejak 2005 sampai 2025. RPJP juga berada di level daerah yang disebut dengan RPJP Daerah. RPJP dilaksanakan dalam RPJM periode 5 (lima) tahunan, yaitu RPJM Nasional I Tahun 2005-2009, RPJM Nasional II Tahun 2010-2014, RPJM Nasional III Tahun 2015-2019, dan RPJM Nasional IV Tahun 2020-2024.
ADVERTISEMENT
Saat ini RPJP sudah berjalan 15 tahun, dan sudah memasuki fase keempat. Bila ada usulan terkait arah pembangunan nasional, saya kira pintu masuknya bisa dengan merevisi UU 17 tahun 2007, bukan ingin menghidupkan kembali GBHN yang membuat MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, yang menjadi tidak relevan dalam sistem pemilihan langsung.
Jalan Berliku
Amandemen 'kelima' UUD 1945 masih melalui jalan berliku. Tidak mudah untuk mengajukan amandemen bila semangatnya adalah untuk menghidupkan kembali GBHN. Pertama, sudah ada penolakan yang tegas dari Presiden Jokowi. Posisi Presiden Jokowi yang tegas menolak menghidupkan kembali GBHN patut kita acungi jempol. Bagaimanapun Jokowi adalah generasi pertama otonomi daerah saat kepala daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat pada tahun 2005.
ADVERTISEMENT
Kedua, adanya persyaratan yang cukup ketat dalam Pasal 37 UUD 1945, di mana usul perubahan pasal-pasal dalam UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1 per 3 dari jumlah anggota MPR, dan sidang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 per 3 dari jumlah anggota MPR. Sementara persetujuan terhadap amandemen harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 50 persen plus 1 dari seluruh anggota MPR.
Bila mengacu dari jumlah anggota MPR sebesar 711 orang (yang terdiri dari 575 anggota DPR dan 136 anggota DPD) usul amandemen harus diajukan oleh 237 anggota MPR, dan sidang terkait amandemen harus dihadiri 474 anggota MPR. Serta, amandemen pasal harus disetujui oleh minimal 357 anggota MPR.
ADVERTISEMENT
Ketiga, usul terkait amandemen bisa mengalami kegagalan bila terjadi perubahan peta politik partai-partai menjelang pemilihan pimpinan MPR. Apalagi semangat perubahan UUD seperti yang disampaikan oleh PDIP adalah prasyarat dukungan menjelang pemilihan pimpinan MPR.
Usul perubahan UUD bukanlah sesuatu yang tabu dibicarakan. DPD misalnya, dapat mendorong amandemen konstitusi untuk memperkuat perannya. Namun, bila semangat partai-partai dalam mengamandemen konsitusi untuk memperlemah sistem presidensial dan menjadi alat barter politik, jelas itu motivasi yang salah kaprah dan harus ditolak.
Oleh Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS.