Informasi Hoaks dan Pemilu 2019

Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Konten dari Pengguna
5 Oktober 2018 18:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arya Fernandes tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ratna Sarumpaet menangis saat konferensi pers terkait kebohongannya, Rabu (3/10/2018). (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ratna Sarumpaet menangis saat konferensi pers terkait kebohongannya, Rabu (3/10/2018). (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
Masyarakat dibuat heboh karena ulah Ratna Sarumpaet menyebarkan berita bohong (hoaks). Tidak tanggung-tanggung, sejumlah tokoh politik nasional seperti Prabowo Subianto dan Amien Rais menggelar konferensi pers menyikapi kabar dari Ratna. Dalam konferensi persnya, Prabowo meminta kepolisian menyusut tuntas pengeroyokan kepada Ratna.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, beredar informasi bahwa Ratna mengaku dikeroyok sejumlah orang tak dikenal di Bandara Husein Sastranegara di Bandung pada tanggal 21 September 2018. Di media sosial, netizen terbelah. Ada yang menelan mentah-mentah informasi tersebut dan mengaitkannya dengan kepentingan politik tertentu. Ada juga yang meragukan validitas informasi itu. Akibat informasi yang disebar Ratna, banyak berseliweran sejumlah analisis. Sebagian orang termakan hoaks tersebut dan mengaitkannya dengan kompetisi politik dan Pemilu 2019.
Kebenaran apakah Ratna dikeroyok sejumlah orang atau melakukan operasi plastik mengalami titik terang ketika beredar sebuah hasil investigasi di media sosial dan grup-grup chatting. Dalam sejumlah informasi yang beredar, Ratna kedapatan melakukan operasi plastik di sebuah klinik kecantikan di bilangan Jakarta. Namanya juga ter-register sebagai pasien di klinik tersebut.
ADVERTISEMENT
Tak sampai di situ, menurut informasi tersebut, nomor telepon seluler Ratna juga aktif pada 21 September dan terdeteksi berada di wilayah Jakarta.
Ratna akhirnya buka suara setelah kedoknya terungkap.
Pengakuan Ratna melalui konferensi pers ia gelar di rumahnya. Dalam pertemuan tersebut, ia mengaku telah menyebarkan berita hoaks dan juga mengakui telah melakukan operasi plastik. Ia mengaku mendapatkan bisikan dari setan untuk menyebarkan berita hoaks pengeroyokan.
Ratna yang dulu dikenal sebagai aktivis HAM dan kebudayaan, kini harus menerima kenyataan dianggap sebagai penyebar hoaks ulung. Bahkan, hari di saat ia mengelar konferensi pers pada 3 Oktober 2018, diusulkan sejumlah netizen di media sosial sebagai Hari Anti-Hoax Nasional.
ADVERTISEMENT
Implikasi Politik
Kebohongan Ratna Sarumpaet masih menyisakan tanda tanya: mengapa ia begitu berani mengumbar berita hoaks di tengah kompetisi politik yang keras antara masing-masing kandidat? Dan apa pula motivasinya menyebar berita hoaks tersebut?
Dua pertanyaan tersebut, tentu hanya Ratna yang bisa menjawabnya dengan pasti. Namun, berita hoaks yang terlanjur tersebar menimbulkan implikasi ke banyak hal.
Pertama, menimbulkan perpecah-belahan di tengah masyarakat, terutama antara pendukung pasangan calon presiden/wakil presiden. Kedua, hoaks berpotensi akan menimbulkan kegaduhan di tengah masyakarat dan bisa menciptakan disharmoni antar lapisan masyarakat. Ketiga, informasi hoaks juga bisa menimbulkan ketidakpercayaan kepada institusi-institusi politik, seperti eksekutif dan legislatif atau institusi publik lainnya.
ADVERTISEMENT
Musuh Demokrasi
Hoaks adalah musuh demokrasi yang kita harus perangi bersama. Hoaks menjadi musuh demokrasi karena ia memiliki kecenderungan untuk menciptakan ketidakpercayaan di antara masyarakat. Padahal kepercayaan di antara masyarakat dan kepercayaan kepada lembaga publik adalah salah satu hal yang memperkuat demokrasi.
Dengan pertumbuhan penggunaan internet dan media sosial yang setiap tahun mengalami peningkatan akses dengan cepat, informasi hoaks akan mudah menyebar dengan cepat.
Survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2017, menunjukkan sekitar 30,9% dari populasi pemilih Indonesia terkoneksi atau memiliki akun Facebook, WhatsApp (31%), BBM (21,2%), Instagram (15,5%), Twitter (6,1%), dan Path (3,2%).
Angka penetrasi sosial media tersebut perkiraan saya akan mengalami peningkatan cukup masif pada setiap tahunnya. Di tengah peningkatan arus informasi, pendidikan literasi media menjadi yang sangat relevan menjadi perhatian bersama.
ADVERTISEMENT
Saat ini, akses media sudah menyebar dengan cepat ke semua segmen masyarakat. Masyarakat baik yang berada di urban maupun masyarakat rural, baik generasi milenial atau non-milenial, atau pada masyarakat dengan pendidikan tinggi atau rendah: sekarang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses internet dan media sosial.
Tingginya kesempatan untuk mengakses internet dan media sosial, tanpa dibarengi dengan pendidikan literasi media, bisa menimbulkan efek negatif jika pengguna tidak mempunyai perilaku bermedia yang positif. Seperti membiasakan diri untuk memvalidasi dan memverifikasi kembali informasi yang diterima sebelum menyebarkannya.
ADVERTISEMENT
Melalui sosial media, orang akan dengan sangat mudah menyebar informasi, hanya dengan satu kali klik, informasi akan segera menyebar bak air bah. Celakanya, bila informasi yang disebar adalah informasi hoaks, tentu akan membahayakan bagi relasi sosial di tengah masyarakat.
Informasi hoaks biasanya memiliki kecenderungan menyasar psikologi masyarakat--sehingga orang akan dengan cepat mudah percaya. Padahal dengan sedikit meluangkan waktu untuk melakukan verifikasi dan membandingkan dengan informasi lain, informasi hoaks akan mudah diungkap.
Kompetisi pilpres yang ketat pada 2019 mendatang, bisa saja akan menciptakan peningkatan informasi hoaks. Kedewasaan dan literasi media penting untuk mengatasi hoaks tersebut. Kita semua mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memerangi hoaks agar kampanye pilpres ke depan bisa menyajikan pertarungan ide dan gagasan.
ADVERTISEMENT