Konten dari Pengguna

Kejutan Cawapres di Menit Akhir

Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
13 Agustus 2018 14:49 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arya Fernandes tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi-Ma'aruf dan Prabowo-Sandi. (Foto: Antarafoto dan kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi-Ma'aruf dan Prabowo-Sandi. (Foto: Antarafoto dan kumparan)
ADVERTISEMENT
Teka teki nama calon pendamping Joko Widodo dan Prabowo Subianto masih terjadi hingga menjelang penutupan pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dua kejutan terjadi sekaligus. Petahana Joko Widodo akhirnya memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin, sebagai calon wakil presiden dan menggeser nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD.
ADVERTISEMENT
Pergantian nama tersebut cukup dramatis. Mahfud MD diganti beberapa jam sebelum Jokowi dan partai koalisinya mengumumkan nama Kiai Ma’ruf. Padahal saat itu, Mahfud sudah menunggu beberapa meter dari restoran Plataran, tempat Jokowi dan para ketua umum bertemu.
Drama juga tersaji dari kubu Prabowo Subianto. Ia mengumumkan nama Sandiaga Salahuddin Uno sebagai cawapres pada Jumat dini hari. Nama Sandi yang tak pernah terdengar sebelumnya di internal koalisi menguat sekitar tiga hari menjelang pendaftaran. Demokrat yang awalnya tidak hadir dalam deklarasi koalisi, akhirnya memutuskan mengusung Prabowo. Bagaimana pertarungan politik ke depan pascapenetapan pasangan calon?
Pilihan Cawapres
Pilihan Jokowi terhadap Ma’ruf menunjukkan strategi Jokowi untuk mencari jalan tengah di antara partai koalisi pendukung. Penolakan beberapa partai terhadap nama Mahfud membuat Jokowi harus berpikir ulang. Tetap bertahan pada nama Mahfud bisa jadi akan membahayakan bagi suara Jokowi.
ADVERTISEMENT
Apalagi beberapa hari sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberikan pernyataan bahwa Mahfud bukanlah kader struktural NU. NU juga memberikan warning bagi Jokowi agar memilih kader NU.
Kondisi yang terdesak itu membuat Jokowi tak punya kesempatan untuk melakukan negosiasi panjang. Apalagi Jokowi juga khawatir bila tetap memilih Mahfud akan memicu beralihnya dukungan partai pendukung. Waktu yang terbatas membuat posisi Jokowi terjepit. Jokowi tak punya pilihan banyak selain menerima ‘tekanan’ partai koalisi.
Pilihan Jokowi kepada Ma’ruf juga menunjukkan tingginya pengaruh partai politik dalam menentukan pendamping Jokowi. Di periode kedua dengan kekuatan dominan di parlemen, Jokowi seharusnya dapat mempunyai pengaruh yang lebih besar kepada partai politik.
Apalagi pada saat yang sama tingkat kepuasan dan kepercayaan publik terhadap Jokowi masih cukup tinggi. Begitu juga tingkat keterpilihan Jokowi yang sudah cukup tinggi.
ADVERTISEMENT
Dari sisi Prabowo, kebuntuan koalisi menunjukkan kelihaian Sandiaga sebagai deal-maker politik. Dalam situasi yang krusial ia mampu meyakinkan PAN dan PKS untuk menerimanya sebagai cawapres. Padahal sejak lama PKS sudah sangat percaya diri akan dipinang Prabowo sebagai cawapres.
Perubahan
Perubahan strategi politik saya kira akan dilakukan oleh kedua pasangan. Dengan memilih Ma’ruf sebagai pendamping, Jokowi bisa terjebak (hanya) akan memposisikan Ma’ruf sebagai tokoh agama. Jokowi diperkirakan juga akan memfokuskan strategi mobilisasi kepada komunitas pemilih muslim.
Pilihan terhadap Sandiaga menunjukkan posisi Prabowo Subianto yang mulai bergeser dengan memfokuskan strategi pada segmen pemilih milenial, pemuda dan pemilih perempuan. Sepertinya masih berat bagi Prabowo bisa mendekati suara Jokowi bila masih menggunakan narasi lama, seperti narasi agama atau kekayaan alam, investasi asing, atau hutang.
ADVERTISEMENT
Bila Prabowo mengubah narasinya menjadi lebih pro-market, pro-investasi, dan pro-pertumbuhan, bisa saja akan merepotkan bagi Jokowi. Bila menggunakan narasi agama, sulit bagi Prabowo untuk berkontestasi dengan Kiai Ma’ruf yang sudah mempunyai kredibilitas sebagai tokoh Islam.
Perubahan juga terjadi pada partai politik. Pelaksanaan pemilu serentak membuat partai politik juga berhitung. Meskipun mendukung capres tertentu, mereka bisa saja terancam tidak lolos angka parliamentary threshold (PT) sebesar 4%--bila tidak membuat strategi teritorial berbasis daerah pemilihan.
Mengingat angka PT yang mengalami kenaikan dari pemilu sebelumnya serta tingginya kompetisi politik yang ditandai dengan munculnya partai baru, konsentrasi partai saya kira akan terbelah. Partai dihadapkan pada dua kondisi antara memenangkan presiden atau kebutuhan untuk bertahan dalam pemilu mendatang.
ADVERTISEMENT
Selain kompetisi yang ketat, tantangan pemilu ke depan memang tidak mudah, terutama di sosial media. Dua pasangan calon presiden mempunyai segmen dan karakterisktik pemilih yang berbeda. ‘Perang’ pendukung di media sosial diperkirakan akan semakin masif. Apalagi keduanya memiliki cyber-army yang sudah terlatih dalam sejumlah kompetisi politik.