Konten dari Pengguna

Siapa Cawapres Prabowo?

Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
6 Agustus 2018 11:29 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arya Fernandes tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prabowo Subianto ketika ia menyampaikan pidato di hadapan Dewan Urusan Dunia Indonesia di Jakarta pada 30 Juni 2014. (Foto: AFP/Romeo Gacad)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto ketika ia menyampaikan pidato di hadapan Dewan Urusan Dunia Indonesia di Jakarta pada 30 Juni 2014. (Foto: AFP/Romeo Gacad)
ADVERTISEMENT
Nama cawapres Prabowo Subianto hingga kini masih belum pasti. Meskipun sudah mendapatkan pernyataan dukungan dari PKS, PAN, dan menyusul Demokrat, namun tidak mudah bagi Prabowo menentukan sikap. Prabowo dihadapkan pada kondisi yang dilematis: menerima tawaran Demokrat atau tetap pada skenario awal pencapresan.
ADVERTISEMENT
Dalam minggu lalu, Demokrat yang awalnya belum tegas menentukan posisi dalam pencapresan dan sempat membangun komunikasi dengan Jokowi, dengan tegas menyatakan dukungan kepada Prabowo. Pernyataan tersebut disampaikan secara langsung oleh Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhohono, setelah bertemu dengan Prabowo.
Di internal koalisi Prabowo, masuknya Demokrat dalam Koalisi Kertanegara membawa perubahan dalam peta penentuan cawapres. Posisi PKS yang sempat menguat sebagai cawapres Prabowo bisa saja berpotensi digeser Demokrat.
Kini, Prabowo memang harus segera harus memilih. Memilih nama yang diajukan PKS-PAN atau memilih nama dari Demokrat. Di internal PKS-PAN, nama Salim Segaf Al Jufri dan Zulkifli Hasan sepertinya calon terkuat. Sementara, Demokrat menyodorkan nama Agus Harimurti Yudhoyono.
Hubungan Segitiga
ADVERTISEMENT
Dibandingkan PAN, PKS sepertinya lebih agresif menyodorkan nama kadernya sebagai cawapres Prabowo. Tak tanggung-tanggung, pada medio Februari lalu, partai dakwah itu menyodorkan sembilan nama sebagai calon pendamping Prabowo yang berasal dari penjaringan internal partai. Sembilan nama tersebut di antaranya, Ahmad Heryawan, Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Irwan Prayitno, M. Sohibul Iman, Salim Segaf Al Jufri, Tifatul Sembiring, Al Muzammbil Yusuf, dan Mardani Ali Sera.
ADVERTISEMENT
Namun, sejak keluarnya hasil ijtima Ulama Gerakan Nasional Penjaga Fatwa (GNPF), nama Salim yang direkomendasikan GNPF sepertinya menggguat di antara nama-nama lain dari internal PKS.
Selain karena pengalaman berkoalisi, hubungan Gerindra, PKS, dan PAN juga ditopang karena adanya hubungan baik (chemistry) antara elite masing-masing partai. Ketiga partai ini juga diperkuat dengan adanya kesamaan dari sisi isu politik melalui gerakan tagar #2019GantiPresiden.
PKS/PAN yang awalnya mempunyai daya tawar yang cukup kuat karena mempunyai pengalaman berkoalisi dengan Gerindra di di tingkat lokal, bisa saja akan tergeser bila calon dari Demokrat menguat.
Menyadari adanya perubahan politik di internal kubu Prabowo sejak masuknya Demokrat, PKS buru-buru memberi warning dan lebih agresif mendesak Gerindra/Prabowo dibandingkan PAN. PKS misalnya membuka opsi abstain bila calon dari PKS tidak diterima. Tak heran bila PKS mengunci Prabowo dengan adanya rekomendasi hasil ijtima Ulama GNP.
ADVERTISEMENT
Mungkinkah PAN dan PKS berpindah ke koalisi Jokowi atau membentuk blok koalisi baru? Perpindahan dukungan PKS ke gerbong koalisi Jokowi sepertinya peluangnya kecil.
PAN sepertinya masih ada peluang untuk bermigrasi bila negosiasi antara partai mengalami deadlock. Apalagi PAN sudah mempunyai hubungan baik dengan koalisi pemerintahan dengan bergabung dalam Kabinet Kerja.
Meskipun potensi migrasi PKS kecil, Prabowo tentu juga harus mewaspadai ancaman PKS untuk abstain dalam pilpres dan adanya potensi gugus baru yang bisa saja terjadi bila PKS dan PAN atau Demokrat tidak happy dengan pilihan cawapres Prabowo.
ADVERTISEMENT
Apakah calon Demokrat bisa menguat? Demokrat bisa saja mendapatkan tiket pencalonan sebagai cawapres bila SBY bisa melunakkan hati PKS atau PAN. Tentu perlu adanya insentif politik bagi PKS dan PAN bila menerima AHY. Apalagi, tentu tak mudah bagi PKS dan PAN memberikan tiket gratis bagi Demokrat sebagai pendatang baru di koalisi bila tidak mendapatkan insentif yang seimbang.
Inilah yang menjadi dilema besar bagi Prabowo. PKS dan PAN punya pengalaman bersama dalam beberapa tahun terakhir. Soliditas dan militansi anggota cukup solid dalam beberapa pilkada di sejumlah daerah. Sementara, Demokrat mempunyai suara elektoral Demokrat di atas 10 persen dan figur AHY yang bisa menggerek suara dari kelompok pemilih milenial, perempuan, dan ibu rumah tangga.
ADVERTISEMENT