Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Krisis Energi 2021 Tiongkok: Tantangan dalam Implementasi Renewable Energy Law
3 Maret 2025 16:35 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Aryasatya Gavrila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tiongkok memberlakukan Renewable Energy Law sebagai bagian dari strategi nasional pada tahun 2005 dengan tujuan untuk mempercepat transisi energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan pemanfaatan energi bersih seperti angin, matahari, dan biomassa, sekaligus mendukung keberlanjutan lingkungan serta pertumbuhan ekonomi. Walaupun kebijakan ini telah diperbarui beberapa kali, tetapi Tiongkok tetap mengalami krisis energi yang signifikan pada tahun 2021. Krisis ini melanda lebih dari 20 provinsi dan menyebabkan pemadaman listrik yang berdampak luas terhadap sektor industri hingga berbagai kerugian yang dirasakan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hal ini menciptakan suatu pertanyaan yaitu, bagaimana mungkin sebuah negara yang telah berinvestasi besar dalam energi terbarukan masih mengalami kekurangan pasokan listrik? Disamping itu pertumbuhan akan permintaan listrik disertai dengan meningkatnya permintaan batu bara dapat menjelaskan bahwa penggunaan listrik masih bergantung pada batu bara. Artinya, ketidakseimbangan antara kebijakan dan kenyataan yang terjadi mencerminkan kompleksitas transisi energi yang dihadapi negara dengan skala ekonomi sebesar Tiongkok.
Seperti yang telah diketahui bahwa pemerintah Tiongkok mulai mengadopsi berbagai kebijakan yang mendorong penggunaan energi bersih, salah satunya melalui Renewable Energy Law yang pertama kali diberlakukan pada tahun 2005. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Tiongkok untuk menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan kebutuhan energi yang terus meningkat dengan upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Dengan kebijakan yang telah diperbarui pada 2009 dan 2019 untuk memperkuat implementasinya, Tiongkok sudah membangun banyak pembangkit listrik dengan energi yang terbarukan. Namun, listrik yang benar-benar digunakan sehari-hari masih lebih banyak berasal dari batu bara. Ini seperti seseorang yang sudah berjanji hidup sehat dengan makan sayur dan buah, tapi tetap nggak bisa lepas dari gorengan dan minuman manis setiap hari. Niatnya ada, tapi kebiasaan lama sulit ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
Tampak jelas bahwa ketimpangan ini menunjukkan bahwa Renewable Energy Law belum cukup kuat untuk mengubah kebiasaan lama Tiongkok yang sangat bergantung pada batu bara. Seperti pada daerah Mongolia Dalam di Tiongkok Utara yang memproduksi batu bara lebih banyak dibandingkan pada tahun 2020. Situasi ini menunjukkan bahwa Renewable Energy Law ada untuk mendorong energi bersih. Namun, kebutuhan sehari-hari masih mendorong Tiongkok kembali ke batu bara.
Untuk memahami lebih dalam mengapa krisis energi tetap terjadi perlunya kerangka analisis yang dapat melihat permasalahan ini dari berbagai sudut. Dalam hal ini, Trilemma Energy menjadi konsep yang relevan untuk menganalisis hubungan antara keamanan pasokan energi, keterjangkauan harga, dan keberlanjutan lingkungan di Tiongkok. Melalui konsep ini, Trilemma Energy membantu membedah bagaimana ketidakseimbangan dalam tiga pilar utama tersebut berkontribusi terhadap krisis energi yang terjadi pada 2021.
Dimulai dengan melihat pada salah satu pilar Trilemma Energy yaitu pilar keamanan pasokan energi yang menekankan pentingnya ketersediaan energi yang stabil dan aman untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri. Namun, pada tahun 2021 kekurangan pasokan batu bara akibat banjir di wilayah Shanxi dapat menjelaskan bahwa keamanan pasokan energi pada Tiongkok kurang terjamin hingga menyebabkan kekurangan pasokan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pilar keterjangkauan menyoroti akses energi yang mengalami lonjakan harga dengan kenaikan sebanyak 12% pada tahun 2021 menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi domestik yang terganggu. Dengan menaiknya harga batu bara, membuat masyarakat kesulitan untuk menjangkaunya karena keterbatasan ekonomi.
Sedangkan pilar keberlanjutan lingkungan menuntut pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan, Namun, yang terjadi pada kenyataannya berbeda dengan karbon dioksida yang dilepas ke udara meningkat pada awal tahun 2021 seiring dengan bertambahnya produksi batu bara. ini menunjukkan bahwa ketergantungan atas batu bara semakin terlihat. Ini jelas tidak sejalan dengan pilar keberlanjutan lingkungan sehingga, usaha untuk mengurangi dampak negatif tetap kalah oleh ketergantungan pada cara lama yang merusak.
Krisis energi ini tidak hanya berdampak pada domestik Tiongkok, tetapi juga memberikan efek yang lebih luas di tingkat global. Sebagai salah satu negara dengan konsumsi energi terbesar di dunia, ketidakseimbangan yang terjadi dalam penggunaan energi oleh Tiongkok berkontribusi terhadap perubahan nilai yang tajam pada pasar energi internasional. Seperti lonjakan harga batu bara yang terjadi selama krisis energi 2021, tidak hanya memengaruhi biaya produksi domestik, tetapi juga mendorong kenaikan harga energi di berbagai negara seperti Jepang yang mengalami kenaikan harga pada batu bara hingga tingkat paling tinggi selama beberapa tahun terakhir. Dengan dampak yang meluas hingga ke berbagai sektor dan negara, krisis energi Tiongkok pada 2021 menjadi salah satu faktor yang memperburuk ketidakpastian ekonomi global. Gangguan pada rantai pasok, lonjakan harga energi, serta dampak terhadap sektor industri menunjukkan bahwa krisis ini tidak hanya menjadi persoalan domestik, tetapi juga memengaruhi dinamika perdagangan dan investasi di banyak negara.
Krisis energi Tiongkok pada 2021 membuktikan bahwa meskipun investasi besar telah dilakukan dalam energi terbarukan, ketergantungan pada batu bara tetap dominan. Bahkan dengan Renewable Energy Law yang diberlakukan sejak 2005 untuk mempercepat transisi energi hal ini tak sesuai dengan realita yang terjadi pada kebijakan ini yang belum cukup kuat untuk menggeser dominasi batu bara dalam pasokan listrik nasional. Ketidakseimbangan antara kebijakan dan lonjakan permintaan energi membuat Tiongkok tetap bergantung pada batu bara, terutama pada saat terjadinya krisis.
Ditambah dengan analisis Trilemma Energy, dapat dilihat bahwa kurangnya keamanan pasokan, kenaikan harga, dan dampak lingkungan menjadi hambatan utama dalam transisi energi. Krisis energi 2021 di Tiongkok menunjukkan bahwa kebijakan saja tidak cukup tanpa kesiapan sistem dan strategi yang lebih matang. Tanpa langkah yang bijak, Renewable Energy Law hanya akan menjadi kebijakan tanpa hasil yang sesuai.
ADVERTISEMENT