Konten dari Pengguna

Eksistensi Laut Natuna Utara: Antara Kedaulatan Indonesia & Konflik LCS

Arigato Dimitri Batistuta
Mahasiswa program studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
17 Juni 2024 10:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arigato Dimitri Batistuta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Laut Natuna Utara -- Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Laut Natuna Utara -- Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Laut Natuna Utara, hadir secara resmi sejak bulan Juli 2017, sebagai upaya untuk menunjukkan kedaulatan yang dimiliki Indonesia terhadap wilayahnya. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk merespon terhadap konflik berkepanjangan yang lokasinya berada dekat pada Laut Natuna Utara, yaitu LCS atau juga disebut Laut China Selatan. Konflik Laut China Selatan diawali dengan klaim yang dilakukan China terhadap wilayah Kepulauan Spartly, Kepulauan Paracel, serta wilayah perairan yang berada di sekitar pulau tersebut, dengan didasari oleh landasan historis China sendiri, yaitu “Nine-Dash Line”. Kehadiran “Nine-Dash Line” ini otomatis memantik protes dari negara-negara yang berada di sekitar wilayah garis tersebut, yaitu Filipina, Malaysia, Taiwan, Brunei dan Vietnam. Meskipun pada awalnya Indonesia tidaklah terlibat dalam perebutan wilayah tersebut, namun hal ini berubah setelah kembali terjadinya klaim China terhadap seluruh wilayah Laut China Selatan, termasuk wilayah yang berada pada Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia, yang kini dikenal dengan Laut Natuna Utara. Lantas kemudian bagaimana eksistensi dari Laut Natuna Utara, dengan kedaulatan negara Indonesia sebagai taruhannya?
ADVERTISEMENT

Sejarah Klaim China atas Laut China Selatan (LCS)

Ilustrasi Sejarah Laut China Selatan (LCS) -- Sumber: maritimeindia.org
Bila ditarik kembali, awal mula terjadinya klaim China atas Laut China Selatan berkisar pada kehadiran peta dan catatan sejarah sejak era Dinasti Song, di mana petualang China banyak berlayar keluar Asia melalui jalur laut, yang kemudian kini diklaim China untuk menunjukkan adanya hak bersejarah atas wilayah tersebut. Namun demikian, pernyataan tersebut bertentangan dengan UNCLOS yang menetapkan batas laut berdasarkan penghitungan jarak yang telah ditetapkan bersama melalui zona ekonomi eksklusif (ZEE). Benturan antara kepercayaan historis dan norma-norma hukum yang diakui secara global akhirnya menimbulkan kebingungan. Meskipun China cenderung mengedepankan kesinambungan sejarah, komunitas internasional lebih memprioritaskan batasan yang jelas dan kontemporer serta diakui secara hukum internasional di bawah UNCLOS, sehingga hal ini kemudian menimbulkan ketidaksepakatan yang berdampak pada semua pemain di kawasan, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT

Nilai-nilai pada Laut Natuna Utara

Ilustrasi Nelayan Ikan di Laut Natuna Utara -- Sumber: Samantha Hawley at abc.net.au
Melihat kepada Laut Natuna Utara sendiri, ia memiliki nilai ekonomi dan strategis yang sangat besar bagi Indonesia. Secara ekonomi, Laut Natuna Utara memiliki nilai yang besar dalam sumber perikanan dan diperkirakan mengandung sumber daya minyak dan gas bawah laut yang besar. Dari segi geografi, wilayah ini terletak secara strategis di perbatasan selatan Laut China Selatan, sehingga berperan sebagai garis depan yang penting bagi keamanan nasional dan dominasi teritorial Indonesia. Kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara ini kemudian menjadi hal yang sangat penting tidak hanya karena alasan untuk ekstraksi sumber daya saja, tetapi juga untuk menjaga keberadaan strategis di wilayah yang disengketakan, menjaga keamanan laut, dan mencegah perambahan.
ADVERTISEMENT

Keterbatasan UNCLOS dalam Menentang Klaim China melalui Nine Dash Line

Ilustrasi Nine Dash Line, Wilayah yang Diklaim oleh China -- Sumber: David Choi at businessinsider.com
Klaim yang berpijak pada kisah historis yang dilakukan China diberi nama Nine Dash Line. Klaim ini kemudian secara langsung menentang UNCLOS, sebagai hukum internasional yang salah satunya mengatur tentang wilayah maritim oleh setiap negara berdaulat. China pun pada dasarnya merupakan salah satu negara yang menandatangani dan meratifikasi UNCLOS pada Juni 1996 silam. Meskipun UNCLOS menawarkan landasan hukum yang terpadu bagi tata kelola kelautan, tetapi UNCLOS hanya memiliki sedikit keterlibatan terhadap penegakan hukum. Hal ini dikarenakan tidak adanya otoritas yang utuh dan ultimate di seluruh dunia untuk dapat melaksanakan penilaian, sehingga partisipasi pemerintah terhadap UNCLOS sepenuhnya bersifat sukarela. Hal ini kemudian terlihat pada peristiwa penentangan China terhadap putusan Pengadilan Arbitrase Permanen tahun 2016, yang saat itu menolak sebagian besar klaim China terhadap Laut China Selatan, tetapi tidak diindahkan oleh China. Peristiwa tersebut menunjukkan adanya keterbatasan sistem internasional dalam menyelesaikan konflik semacam itu. Di lain sisi, sebagai upaya melindungi kedaulatannya pada Laut Natuna Utara, Indonesia telah melakukan berbagai macam langkah diplomasi, yang mencakup penolakan resmi dan partisipasi dalam organisasi regional seperti ASEAN, kemudian menunjukkan komitmen Indonesia untuk menghormati prinsip-prinsip internasional pada UNCLOS dan juga menyoroti keberanian dalam menentang adanya penegakkan kepatuhan kepada negara-negara super power.
ADVERTISEMENT

Konflik Wilayah antara Laut Natuna Utara dan LCS

Ilustrasi Ketegangan antara Kapal Penangkap Ikan milik China dan TNI AL -- Sumber: tempo.co
Konflik Laut Cina Selatan mempunyai dampak luas bagi Indonesia, terutama bagi Laut Natuna Utara. Pada beberapa waktu silam, misalnya, didapati kapal penangkap ikan milik China memasuki wilayah Laut Natuna Utara, yang diduga melakukan penangkapan ikan secara ilegal, sehingga kemudian menimbulkan ketegangan antar kedua negara. Bila dilihat dari sisi ekonomi, konflik yang berkepanjangan ini dapat menghambat aktivitas penangkapan ikan, pengembangan minyak, dan jalur perdagangan, sehingga mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan bagi Indonesia. Selain itu, kedaulatan nasional juga terancam, di mana kegagalan untuk mengendalikan wilayah maritimnya dapat mendorong lebih banyak invasi dan melemahkan status regional Indonesia. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap kemampuan Indonesia dalam mempertahankan perbatasannya, sehingga berdampak pada hubungan diplomatik dan ekonomi.
ADVERTISEMENT

Upaya Penanganan Konflik melalui Kolaborasi Multilateral

Oleh karena itu, menjadi hal yang penting bagi negara-negara yang terlibat konflik, termasuk Indonesia pada Laut Natuna Utara, untuk mencari solusi dalam upaya penyelesaian persengketaan. Hal ini bisa dimulai dari adanya keterlibatan organisasi regional dalam menjadi wadah untuk bermediasi, seperti ASEAN misalnya. Partisipasi ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan saat ini diperkirakan masih terbatas karena beragamnya kepentingan nasional di negara-negara anggota. Namun, bila terjadi kesatuan oleh negara anggota ASEAN, hal ini dapat meningkatkan probabilitas dalam inisiatif diplomatik dan memberikan tekanan pada Tiongkok untuk berpartisipasi secara lebih konstruktif. Selain dengan negara anggota ASEAN, aliansi dan kolaborasi internasional dengan negara lain di luar kawasan juga penting untuk dilakukan. Hal ini misalnya bisa dimulai melalui kemitraan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia, yang dapat memberikan dukungan strategis, terutama bagi kedaulatan Indonesia pada Laut Natuna Utara, sekaligus mencegah ancaman di masa depan. Inisiasi tersebut dapat diimplementasikan terhadap China, walaupun ia adalah negara super power, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang terlibat, yang memiliki posisi strategis di kawasan ini, untuk kemudian didengar suaranya.
Ilustrasi TNI AL dalam Mempertahankan Laut Natuna Utara -- Sumber: Aaron Connelly at maritime-executive.com
Selain itu, Indonesia harus mengkaji banyak pilihan strategis. Meningkatkan kemampuan pertahanan maritim, termasuk investasi pada aset angkatan laut dan penerbangan, sangat penting untuk pencegahan dan keamanan. Peningkatan kolaborasi regional, baik melalui ASEAN atau lembaga lain, dapat mendorong keamanan dan stabilitas kolektif. Di bidang hukum dan diplomatik, Indonesia harus melanjutkan upayanya untuk membahas konflik ini dalam arbitrase internasional dan mempertahankan kehadiran diplomatik secara teratur untuk menunjukkan komitmennya terhadap hukum internasional. Lebih daripada itu, pembangunan ekonomi di Kepulauan Natuna juga dapat memperkuat dominasi Indonesia terhadap wilayahnya, termasuk Laut Natuna Utara.
ADVERTISEMENT