Konten dari Pengguna

Evaluasi NPT: Tantangan & Peluang atas Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara

Arigato Dimitri Batistuta
Mahasiswa program studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
15 September 2024 14:38 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arigato Dimitri Batistuta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Senjata Nuklir Korea Utara -- sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Senjata Nuklir Korea Utara -- sumber: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selama beberapa dekade terakhir, kehadiran senjata nuklir telah menjadi salah satu isu yang krusial dalam keamanan global. Untuk mengatasi isu tersebut, Traktat Non-Proliferasi atau Non-Proliferation Treaty (NPT) pun diberlakukan sejak tahun 1970, yang memiliki peran penting sebagai instrumen utama dalam menghambat penyebaran senjata nuklir di negara-negara berdaulat, demi menjaga stabilitas dan keamanan global. Meskipun demikian, Korea Utara menjadi negara yang berbeda dibanding 190 negara lain yang memutuskan untuk mematuhi traktat ini. Setelah Korea Utara memilih untuk menarik diri dari NPT di tahun 2003, mereka mulai secara aktif mengembangkan senjata nuklir, yang kemudian menimbulkan ketegangan geopolitik dan kondisi krisis bagi keamanan global. Situasi ini lantas mendatangkan pertanyaan mengenai bagaimana efektivitas Traktat Non-Proliferasi dalam menghadapi dinamika kontemporer yang terjadi, sementara Korea Utara sejak tahun 2006 hingga kini terus mengembangkan dan melakukan uji coba senjata nuklir mereka. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, kita akan melihat mengenai evaluasi sejauh mana Traktat Non-Proliferasi atau NPT dalam mengatur pengembangan senjata nuklir Korea Utara, sembari mengidentifikasi tantangan dan peluang apa saja yang ada di tengah krisis keamanan global yang sedang berlangsung.
ADVERTISEMENT

Awal Mula Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara dan Relasinya dengan NPT

Ilustrasi Reaktor Nuklir -- sumber: shutterstock.com
Pengembangan senjata nuklir Korea Utara berangkat pada era pasca Perang Dunia ke-2 sekitar tahun 1950, di mana kala itu mereka didukung oleh Uni Soviet untuk mulai membangun kemampuan nuklirnya demi tujuan damai. Namun kemudian, ketegangan yang terjadi di era Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Rusia menimbulkan potensi ancaman bagi Korea Utara, mengingat beberapa negara di sekitarnya seperti Jepang dan Korea Selatan adalah sekutu Amerika Serikat. Situasi ini mendorong Korea Utara untuk mengambil tindakan pencegahan dengan cara melakukan pengembangan senjata nuklir yang dimulai pada sekitar tahun 1980. Setelah itu, Korea Utara pernah ikut menandatangani Traktat Non-Proliferasi di tahun 1985, sehingga mengarahkan mereka untuk tunduk pada kesepakatan yang ditetapkan dan menjadikan mereka sebagai “non-nuclear weapon state” atau “negara tanpa senjata nuklir”. Saat itu, keputusan Korea Utara dalam mengikuti NPT didorong oleh Uni Soviet yang menjanjikan akan memberi imbalan berupa membangun empat reaktor air ringan (light water reactor), yang dibutuhkan Korea Utara untuk mengembangkan teknologi nuklirnya.
ADVERTISEMENT
Peristiwa tersebut kemudian melahirkan momentum di mana Korea Utara mengikuti perjanjian pengamanan bersama International Atomic Energy Agency (IAEA) di tahun 1992, sebagai syarat dari keikutsertaannya dalam NPT. Atas perjanjian pengamanan bersama IAEA, Korea Utara harus memberikan deklarasi awal mengenai fasilitas dan material nuklir yang mereka kembangkan, serta memberikan akses bagi inspektur IAEA agar dapat memverifikasi kelengkapan dan kebenaran deklarasi tersebut. Pada tahun 1994, melalui pertemuan antara mantan presiden Amerika Serikat Jimmy Carter dengan pemimpin Korea Utara Kim Il Sung, lahirlah Agreed Framework yang diterima Korea Utara serta Amerika Serikat dan Jepang. Korea Utara setuju untuk membekukan fasilitas reaktor nuklirnya dan mengizinkan pemantauan reaktor tersebut kepada IAEA. Sebagai gantinya, Amerika Serikat dan Jepang setuju untuk membangun dua reaktor tenaga air ringan dan menyediakan 500.000 ton bahan bakar minyak. Namun pada akhirnya kesepakatan ini tidak bertahan lama, sehingga Korea Utara memutuskan untuk menarik diri dari NPT di tahun 2003 dan terus melakukan pengembangan senjata nuklir, sebagai upaya menjaga keberlangsungan rezim dalam menghadapi potensi ancaman dari negara lain.
ADVERTISEMENT

Respons dari Masyarakat Global

Ilustrasi Sanski Perdagangan Korea Utara -- sumber: shutterstock.com
Pengembangan senjata nuklir yang terus dilakukan oleh Korea Utara dalam beberapa dekade ini telah menimbulkan kekhawatiran yang meluas di tengah masyarakat global. Amerika Serikat selaku negara adidaya mulai meningkatkan pasukan militernya di Jepang dan Korea Selatan, dengan tujuan untuk menjaga kestabilan kawasan. Sebagai respons dari situasi yang ada, beberapa inisiasi pun telah dilakukan melalui berbagai cara. Salah satu inisiasi yang pernah diberlakukan yaitu berupa sanksi. Sejak tahun 2006, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Dewan Keamanan telah menerapkan beberapa sanksi yang utamanya melibatkan sektor ekonomi atau perdagangan. Beberapa sanksi tersebut misalnya larangan perdagangan senjata dan peralatan militer; larangan ekspor peralatan listrik, produk mineral, dan produk pertanian; pembatasan impor minyak; larangan impor gas alam; dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Selain sanksi, perundingan diplomatik juga pernah dilakukan sebagai inisiasi untuk menyelesaikan isu melalui cara yang lebih “halus”. Salah satu perundingan diplomatik yang telah dilakukan yaitu Perundingan Enam Pihak atau the Six-Party Talks, yang meliputi Tiongkok, Jepang, Rusia, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Korea Utara. Di tahun 2005, salah satu hasil dari perundingan tersebut melahirkan penandatanganan Pernyataan Prinsip atau Statement of Principles, yang menyatakan bahwa Korea Utara akan menghentikan pengembangan senjata nuklirnya dan kembali ke NPT dan rezim pengamanan IAEA. Namun terjadi ketidaksepakatan di mana Korea Utara menegaskan bahwa bila sanksi-sanksi yang pernah diberlakukan tidak terlebih dulu dicabut, maka mereka tidak akan melaksanakan bagiannya pada Pernyataan Prinsip tersebut. Pada akhirnya, Perundingan Enam Pihak tidak dapat menyelesaikan masalah yang terjadi.
ADVERTISEMENT

Evaluasi NPT: Keberhasilan dan Kegagalan

Ilustrasi Perundingan NPT -- sumber: shutterstock.com
Melihat pada situasi yang terjadi di lapangan, PBB sebagai organisasi internasional yang memberlakukan Traktat Non-Proliferasi atau NPT dinilai belum cukup berhasil dalam mengatasi ketegangan akibat pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Keluarnya Korea Utara dari NPT pada tahun 2003 mengindikasikan salah satu kegagalan terburuk bagi PBB dan NPT, yang mempertanyakan bagaimana sebenarnya legitimasi dan kapasitas traktat tersebut dalam mempertahankan upaya penghambatan penyebaran senjata nuklir di tengah krisis keamanan global. Selain itu, upaya diplomatik untuk mengembalikan Korea Utara dalam NPT seperti yang dilakukan pada Pembicaraan Enam Pihak juga tidak menunjukkan adanya kemajuan. Hal ini menggambarkan permasalahan efektivitas kerangka diplomatik PBB sebagai forum internasional dalam mengupayakan kesepakatan bersama. Terlepas dari kegagalan yang terjadi, masih terdapat sedikit keberhasilan yang tercapai melalui diplomasi multilateral, misalnya pada Agreed Framework yang disetujui pada tahun 1994. Meskipun Agreed Framework tidak bertahan lama, kesepakatan tersebut sempat menunda pengembangan senjata nuklir Korea Utara selama kurang lebih satu dekade.
ADVERTISEMENT

Tantangan dan Peluang di tengah Krisis Keamanan Global

Ilustrasi Tantangan di tengah Krisis Keamanan Global -- sumber: shutterstock.com
Kemampuan Traktat Non-Proliferasi sebagai “produk” PBB yang dikerahkan untuk mengatur penyebaran senjata nuklir akan menghadapi tantangan maupun peluang di masa depan. Keluarnya Korea Utara dari NPT menunjukkan adanya celah untuk dapat terlepas dari kesepakatan, sehingga berpotensi dicontoh oleh negara lain yang ingin melakukan hal yang sama. Hal ini menjadi tantangan bagi rezim non-proliferasi. Selain itu, dilema sekuritas yang berlangsung akibat peningkatan kesiapan militer oleh Amerika Serikat dan sekutunya atas respons pengembangan senjata nuklir Korea Utara, justru dapat menimbulkan ketegangan yang berpotensi terjadinya eskalasi. Meskipun demikian, penghambatan senjata nuklir harus tetap dilakukan, melalui berbagai upaya seperti pendekatan diplomatik yang diperbarui. Melihat kepada terhambatnya Korea Utara akibat Agreed Framework di tahun 1994, dapat dianggap sebagai peluang bagi terciptanya model kesepakatan lainnya untuk mampu meredam pengembangan senjata nuklir di masa depan. Selanjutnya, peningkatan dialog di kawasan juga dapat menjadi cara untuk mengatgasi isu yang terjadi. Melalui forum diskusi bagi Korea Utara dan Amerika Serikat serta negara-negara di kawasan, dapat mendorong negosiasi strategis lebih lanjut demi menjaga perdamaian di tengah krisis global yang berlangsung.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Ilustrasi Ketegangan Nuklir Korea Utara -- sumber: shutterstock.com
Pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara menjadi tantangan terbesar bagi Traktat Non-Proliferasi. Berbagai sanksi dan upaya diplomasi yang telah dilakukan pun tidak dapat melunturkan kegigihan Korea Utara dalam memenuhi kepentingannya. Situasi ini kemudian menunjukkan adanya keterbatasan pada rezim NPT yang gagal dalam membatasi pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Meskipun demikian, masih ada peluang untuk mengatasi isu yang terjadi. Melalui pendekatan diplomatik yang diperbarui dan peningkatan dialog di kawasan dapat membuka jalan bagi pihak yang terlibat untuk mencapai kesepakatan bersama. Hal ini dinilai penting untuk dilakukan di tengah krisis keamanan global yang sedang berlangsung, untuk menjaga perdamaian dunia.